Bab 28 Primadona

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hujan turun dengan lebatnya siang ini. Refami baru saja selesai mengecek email-email yang masuk, berharap ada panggilan tes dan interview, tapi nihil.

Saat Refami tengah meneliti satu per satu emailnya lagi, barangkali masuk dalam kotak spam, suara pintu kamarnya terdengar terbuka. Bu Dina berdiri di sana.

"Mi," panggil beliau seraya duduk di pinggiran kasur. Suaranya lembut tak sangar seperti biasa. Sudah satu bulan sejak kejadian ibunya membawa laki-laki ke rumah untuk berkenalan dengan Refami.

Refami hanya berdeham tanpa menoleh, setiap hari pasti kejadian ini berulang. Wanita ini menerebos masuk dan bertanya tentang calon suaminya yang masih abstrak.

"Coba jujur sama ibu," Bu Dina mengawali kalimat, badannya beringsut semakin dekat pada Refami dengan tangan mengelus-elus punggung anak sulungnya yang enggan melihat dirinya. "Kamu sekarang lagi deket sama siapa, Mi?"

Refami dengan cepat menggeleng, "Enggak ada, Ma. Jangan nanya itu tiap hari, bisa enggak?"

Refami bangkit dari tempat tidur, dengan cepat menutup laptop dan keluar dari kamar. Telinganya seakan rontok seperti daki-daki yang kena sabun saat Bu Dina terus menanyakan hal tentang laki-laki selama satu minggu berturut-turut. Boleh dicopot dulu nggak, kuping ini? Tanyanya dalam hati sambil berjalan melihat hujan.

"Mi, coba kamu hubungin cowok-cowok yang pernah nembak kamu dulu. Kan, banyak tuh." Bu Dina mengikuti langkah Refami ke teras rumah melihat hujan. "Siapa tahu mereka masih nyimpen perasaan ke kamu. Semoga aja jodoh. Kita enggak pernah tahu kalo belum coba." Mata wanita itu berbinar seperti lampu jalan di malam hari.

"Ma, tolonglah aku nggak pengen ngomongin hal ini!" Tenggorokan Refami tegang, menahan emosi yang hendak meledak untuk kesekian kali. Perempuan itu masuk ke dalam rumah, membuka pintu kamarnya lagi dan mengunci rapat-rapat. Berharap tak ada siapa pun membicarakan seputar laki-laki atau jodoh untuk beberapa minggu ke depan.

Akhirnya Refami melihat hujan di depan jendela kamarnya, dia ingat betul saat kuliah S1 dulu banyak sekali yang menyatakan perasaan padanya.

Purwokerto, 2012.

Saat itu panas terik, Refami tengah duduk santai bersama Niar, sahabatnya sejak masuk ke kampus ini. Mereka selalu bersama, bahkan menempati kamar bersebelahan di kosan.

Kantin tahun 2012 di kampus teknik tidak semegah kampus hukum, ekonomi, biologi atau lainnya. Hanya kantin sederhana dengan bangunan kecil dan kursi-kursi kayu yang sudah usang. Bangunan itu sebagian alasnya terbuat dari kayu-kayu karena berada di gawir depan gedung--bersatu dengan lahan yang belum di garap, seperti rumah panggung. Jika diinjak akan berderit kencang, apa lagi anak teknik yang notabene memiliki badan seperti pohon palem, selalu khawatir bangunan itu runtuh tiba-tiba.

Ponsel Refami merk nokia 3310 dengan layar monokrom dan dimensi ukuran 113 x 48 x 22 milimeter keluaran tahun 2000 berbunyi sekejap, tanda sms masuk. Layarnya berkedip-kedip beberapa detik. Seseorang di sana menuliskan basa-basi 'Hai, Refami. Inget aku, nggak? Nama aku Antonio, biasa dipanggil Anto.'

Refami yang sedang khusyuk memakan mendoan, ketupat dan bumbu kacang langsung fokus melihat kalimat dalam sms itu.

"Niar," panggil Refami pada sahabatnya, dia tengah menyeruput es kopi.

"Hm?" jawabnya tanpa menoleh.

"Tahu Anto, nggak?" Refami menyelisik ekspresi wajah Niar. Keningnya tampak mengerut, mengingat sesuatu.

"Seangkatan sama kita nggak, sih? Yang kepalanya panjang kayak kentang?" jelas Niar dengan spesifik, kepala panjang seperti kentang.

Refami kemudian menatap layar ponsel lagi dan memasukkannya ke tas, tak penting, pikirnya.

"Kenapa?" Sepertinya Niar ingin membahas kelanjutan pertanyaan Refami.

Perempuan itu mengedikkan bahu spontan, "Nggak tahu, deh. Dia tiba-tiba ngirim sms."

"Penggemar baru, ya?" Niar meledek Refami.

Refami menggelengkan kepala beberapa kali dan mendengkus kesal.

***

Sore hari di hari minggu adalah waktu yang tepat untuk mencuci semua baju. Begitu pikir Refami sambil mengucek-ucek cucian di dalam ember, menyikati mereka satu per satu.

Kosan Refami di tahun pertama kuliah berbentuk rumah, ada dua belas kamar. Kamar nomor satu sampai dua belas memanjang dari utara ke selatan. Ruang tamu berada di antara kamar nomor enam dan tujuh. Kemudian di belakang ruang tamu ada pintu kecil menuju akses kamar mandi yang berjumlah enam ruang toilet dan tempat menjemur pakaian.

Refami menikmati waktu-waktu mencucinya seperti di dunia fantasi. Karena kegiatannya sesudah menjadi anak teknik sangat sibuk. Pukul enam pagi sampai pukul lima sore sudah pasti mendekam di kampus. Pulang sebentar untuk membersihkan diri dan makan malam. Kemudian lanjut lagi memenuhi panggilan alam di kampus sampai pukul tiga pagi.

"Mi, ada yang nyariin di depan, tuh." Niar berjalan cepat ke arah Refami sambil tersenyum geli.

"Siapa?" Refami menoleh dengan rasa curiga. Dia tak merasa memiliki janji dengan siapa pun sore ini. Kini perempuan itu bahkan hanya memakai kaos ketat berwarna biru, celana batik longgar cokelat tua dan rambut panjangnya diikat tinggi-tinggi.

"Lihat aja sendiri." Niar menyembunyikan sesuatu.

Refami mencondongkan tubuhnya ke arah pintu utama, hendak melihat siapa yang datang.

"Nggak akan kelihatan, pintunya aku tutup lagi. Yuk, aku temenin." Niar menarik tangan kanan Refami pelan. Perempuan itu sedikit memaksa.

Hm?

Dengan rasa penasaran yang tinggi, Refami masuk ke kamar, memakai kardigan dan kerudung buluk yang menggantung setia di kapstok hijau. Ada saja kejadian tak terduga selama kuliah. “Hah.” Satu kata itu sudah cukup menggambarkan betapa malasnya kondisi seperti sekarang ini.

Pintu utama perlahan terbuka, kepala Refami muncul paling pertama. Ada sekitar delapan sampai sepuluh orang di sana. Berdiri memanjang menghadapnya. Saat Refami tegak berdiri di hadapan mereka, orang-orang aneh itu--yang ternyata teman seangkatan Refami, bernyanyi kuch-kuch hota hai serempak. Muncul seorang laki-laki berkepala panjang seperti kentang keluar dari barisan membawa bunga sambil berlutut.

Tuhan! Mereka membuatku malu. Batinnya.

Mata Refami melihat ke segala penjuru, takut bapak kosannya tiba-tiba lewat. Takut diusir.

Alis Refami mengerut seperti karet celana dalam, memandang mereka dengan aura kegelapan. Refami paling anti dengan hal-hal berbau romantis atau apa pun itu yang membuat dirinya malu karena ditonton banyak orang.

"Kamu aja yang ngadepin, ya, Niar. Aku mau lanjut nyuci!" Suara Refami meninggi, membuka pintu lalu menutupnya rapat-rapat.

Paduan suara itu otomatis berhenti, padahal mereka memberi variasi nyanyian sambil bergoyang patah-patah. Di luar, Niar seperti didesak oleh sepuluh orang itu untuk kembali menjemput Refami dengan sogokan mie ayam yang lewat nanti. Mereka sepakat.

"Mi, ayolah. Seenggaknya dengerin dulu itu Si Cowok Kentang mau ngomong apaan," bujuk Niar kembali memohon pada Refami yang tengah membasuh baju-baju cucian tadi.

Niar sangat berusaha, sekitar sepuluh kali dia membujuk. Baiklah, demi Niar. Refami bertekad dalam hati.

Refami kembali hadir di tengah-tengah mereka. Dengan tatapan membunuh, dia berkata, "Selesaikan urusan kalian lima menit!"

***

Terima kasih telah setia mengikuti Berkah Rambut Bondol. Kisah ini update setiap pukul 06.00 WIB di Wattpad dan Karya Karsa, ya. ♥️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro