Bab 3 Rencana yang Batal

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Pagi, Joel. Gimana kondisi kamu hari ini?" sapa Refami sesampainya di ruangan tujuh C. Dia berusaha memberikan senyum terbaik pagi itu.

"Kamu bisa liat kan, aku masih tidur di kasur ini?" jawab Joel setengah ketus, wajahnya fokus melihat layar ponsel.

Keinginan Refami menelan ikan paus bulat-bulat, tetapi yang bisa dia lakukan hanyalah menelan ludah saat mendengar jawaban Joel. Bermacam-macam kalimat baik dan asyik, kenapa harus kalimat menyebalkan yang Joel lepaskan?

"Joel, jawab yang baiklah kalo orang nanya tuh." Bu Khadijah memberi petuah sambil memasukkan cucian baju dan celana Joel ke dalam keresek hitam.

Akan tetapi, Joel tak acuh. Dia hanya melirik ke arah Refami dan ibunya bergantian, lalu berganti posisi menjadi duduk sambil memutar engkol di bagian kaki ranjang searah jarum jam. Tak lama berselang, suster masuk membawa nampan berisikan nasi lembek, sayur bayam bening, kukus tahu dengan telur puyuh di tengah, kukus daging ayam, dan tempe goreng.

"Sarapan, Mas." Perawat berkerudung bergo putih dengan name tag hitam memberikan nampan tersebut pada Joel dengan senyum ramah.

"Terima kasih, Mbak," Joel membalas senyuman perawat dengan manis, semanis madu hutan Sumatera.

Kepada orang lain Joel sangat ramah. Seperti kemarin sore, saat tetangga tirai ranjang sebelah meminta korek kuping yang berbentuk stik dengan balutan kapas di dua ujungnya, laki-laki pemilik alis sangat tebal itu menebar senyuman seakan tengah memberikan trofi sebagai simbol kemenangan turnamen sebuah olahraga. Padahal hanya dua buah batang korek kuping. Benar-benar Joel sudah berubah seratus delapan puluh derajat dengan masa dulu saat sehat.

Refami menatap senak ke arah luar jendela, menyamarkan rasa susah hati dengan berpura-pura menghirup udara pagi yang sudah tercemar karbon monoksida. Hatinya kini lunak seperti pastri berisikan daging cincang dan sayuran, mudah robek dan tak mampu berdiri kokoh lama-lama.

"Ami, nanti sore Ibu ke sini lagi, ya? Ibu mau nyuci dulu, udah numpuk soalnya," Bu Khadijah menjawil ujung pundak kiri Refami.

"Iya Bu, hati-hati. Nanti aku juga mau pulang, busnya jam sembilan malam," jawabnya dengan senyum tipis.

Bu Khadijah membalas senyum Refami kemudian mengecup kening putranya dua kali. Perempuan setengah baya itu melambaikan tangan lalu hilang di telan lorong lantai enam. Kini di ruangan tujuh C benar-benar hening. Baik Refami atau Joel enggan berbicara satu sama lain. Hanya suara game dari ponsel saja yang terdengar nyaring meski volumenya rendah.

"Sarapannya dimakan, Joel." Refami berusaha tidak terlalu terbawa suasana seperti biasa. Dia mendekati Joel sambil menyeret kursi ke samping ranjangnya.

"Bentar lagi." Respons Joel begitu datar.

Sebetulnya, Refami sudah sangat payah dengan hubungan ini. Sepasang kekasih yang tak lagi hangat seperti janji bersama kala pertama kali saling jatuh hati. Jika saling berjauhan, pesan Refami bisa direspons tiga sampai lima hari kemudian oleh Joel, padahal di kala sehat pesan itu bisa dibalas dalam hitungan belasan menit saja. Kini perempuan itu seperti menghadapi satu nama dengan dua pribadi berbeda.

"Hei, kamu Joel, bukan sih?" Refami tiba-tiba terpancing pikirannya sendiri. Dia berdiri dan memandang Joel kuat-kuat dalam jarak dua puluh lima sentimeter.

"Kamu kenapa, sih?" Nada Joel terdengar lebih tinggi dari pada Refami. Dia menyingkirkan ponsel lalu menyimpannya di atas laci abu-abu di samping kanan ranjang.

Refami ragu akan melanjutkan kalimat peperangan ini atau mengibarkan bendera damai saja. Sebetulnya hati Refami mudah tersinggung dan rapuh seperti penganan yang terbuat dari tepung, bisa dibentuk hati atau pun dibentuk kepala doraemon. Tergantung siapa lawan bicara dan suasana hati.

***

Matahari mulai berwarna jingga terang, dia hendak bersujud ke arah barat pada Tuhannya, tanda usai menyelesaikan tugas hari ini. Refami, Pak Darmawan, dan Bu Khadijah tengah duduk di teras masjid rumah sakit, mengistirahatkan indra penciuman dari bau obat-obatan.

"Mi, makan dulu sebelum nanti naik bus, ya, mbok nanti mabok lagi kayak kemaren pas dateng." Suara Pak Darmawan sedikit mengejek, membelah hening dan kaku untuk membuka pembicaraan.

Refami mengangguk sambil tersenyum.

"Ibu sama Bapak mau makan di kantin juga sekarang?" tanya Refami sambil membenarkan kerudungnya yang miring.

Tanpa banyak percakapan, mereka bertiga berjalan ke kantin yang jaraknya dekat dengan masjid. Pak Darmawan memesan soto bening, sedang Bu Khadijah dan Refami sepakat memesan mie rebus dengan irisan cabai hijau. Orang tua Joel sudah seperti orang tua kandung sendiri bagi Refami. Mereka perhatian, baik, dan agak berlebihan dalam melindungi anak-anaknya--termasuk Refami, meski pun baru calon menantu.

Saat Refami melamar pekerjaan satu tahun yang lalu di daerah Tangerang dan Jakarta, Pak Darmawan tak memperbolehkan Refami naik kendaraan umum atau ojek online, harus diantar oleh Joel atau pun beliau. Jangan kan diantar, bahkan saat tes dan interview pun beliau setia menunggu, berbincang-bincang dengan tukang parkir atau satpam di depan gedung. Hidup perempuan keras kepala ini jika bersama Pak Darmawan dan Bu Khadijah, seperti dijamin keamanan, kenyamanan, pangan, serta kebahagiaannya. Melebihi tawaran asuransi kesehatan yang selalu digadang-gadang di layar televisi.

"Ami, kamu pengen nikah sama Joel?" Pak Darmawan memecah lamunan Refami yang tengah memandangi mangkok kosong di depannya.

"Iya Pak, mau. Tapi, nggak mungkin sekarang, kan?" Air muka Refami berubah sendu. Sudah berkali-kali Pak Darmawan memberi tahu Refami dan keluarganya, bahwa kondisi anaknya saat ini mustahil untuk melaksanakan pernikahan. Apa lagi mempertanggungjawabkan Refami yang nantinya menjadi istri Joel.

"Ami masih mau nunggu atau mau udahan aja?" Bu Khadijah mengusap-ngusap punggung Refami berkala.

Pikiran Refami kabur entah ke mana. Tak terbayang percakapan serumit ini akan muncul saat dia baru selesai menikmati mie rebus rasa ayam bawang yang nikmat. Padahal, dia hendak memesan beberapa jenis camilan seperti martabak telur spesial atau pangsit goreng rasa cumi balado untuk menemani kesepiannya di atas bus nanti.

"Sampai kapan ya Pak, kalo misalnya aku milih buat nunggu?" Tangan dan kaki Refami mulai dingin, sedingin pancake durian yang baru saja keluar dari freezer.

Untuk sesaat orang tua Joel saling menatap satu sama lain. Bingung merangkai kalimat agar tak menyakiti perasaan Refami.

"Gini," Bu Khadijah menangkap kedua tangan Refami, "kita nggak tau sampai kapan, tapi harapan kita ya, Joel sembuh secepatnya."

Tatapan Refami mulai hilang akal, dia tau pembicaraan dan harapan yang selalu mereka ucapkan adalah sesuatu yang tak pasti. Seperti menebak kapan abang cireng isi akan lewat di depan rumah. Tentunya, semua hal di dunia ini tak memiliki rumus kepastian.

"Aku udah nunggu lama banget, Bu, Pak. Apa aku harus nunggu terus sampai dinosaurus bangkit lagi dari kubur?" Refami sudah tak tahan lagi menahan air mata sejak tadi. Tanpa rambu-rambu, Refami bangkit dari kursi, berjalan keluar barisan.

"Aku pesan martabak sama pangsit goreng dulu ya, Bu, Pak." Refami setengah berlari meninggalkan mereka, dia memilih terisak di depan penjual martabak.

"Neng, jangan sedih. Ini abang diskon lima rebu, deh," ucap penjual martabak yang merasa iba.

Refami menahan lendir yang hendak keluar dari hidungnya dengan sekuat tenaga.

"Makasih banyak ya, Bang," sahutnya sambil merasakan gerimis di dalam hati.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro