Bab 42 Tertawan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Refami tahu semua tentang sakit yang Joel derita. Dia memiliki penyakit auto imun, membawa banyak virus CMV (Cytomegalovirus) dan rubella. Beberapa kali dia pernah mengungkitnya semasa sakit. Dua virus itu tidak akan pernah bisa punah dalam tubuh, mereka hanya nonaktif. Pun bisa aktif kapan pun saat daya tahan tubuh lemah. Jika memiliki anak bersama Joel, resiko sangat berat. Batin Refami berkecamuk.

Janin keguguran, jika pun selamat akan lahir tidak sempurna. Refami mengingat semua bacaan di internet. Isinya mengerikan. Meski rasanya besar sekali untuk Joel, resiko lainnya pun … ah, sudahlah.

Setelah Joel tersenyum agak lama di atas kursi presentasi, dia melanjutkan, "Sebelum saya melanjutkan, ada pertanyaan?" tanyanya pada audiens.

Dari sebelah barat, wanita paruh baya--bibi Refami mengangkat tangan. "Menurut Mas, apa sifat paling baik dan sifat paling buruk yang melekat pada diri? Terima kasih." Bibinya lekas duduk kembali. Pertanyaannya seperti pemilihan ketua angkatan saat kuliah. 

Refami menggelengkan kepala, tersenyum. Dia tahu semuanya. Mungkin.

Joel tersenyum sangat manis. Matanya berkeliling ke setiap sudut ruangan, nampak berpikir sesaat untuk merangkai kalimat.

"Paling baik ... saya jarang, bahkan nyaris tak pernah marah saat sehat." Joel mengalihkan pandangan pada si penanya. Keluarga Refami tentu memerhatikan setiap kata demi kata untuk penilaian. Mereka sesekali mengangguk, kemudian memberi isyarat untuk Joel melanjutkan kalimat.

"Dan paling buruk." Kalimatnya tertahan, wajahnya menunduk menatap lembaran karpet, "Saya mudah tersulut emosi jika sedang sakit parah." Memang begitu. 

Seperti dua mata koin yang berbeda. Dia bisa menjadi dua pribadi yang benar-benar berbeda seratus delapan puluh derajat. 

Semua orang dalam ruangan bertepuk tangan pelan, memberi semangat dan apresiasi terhadap pengakuan Joel yang sangat berani.

"Marco?" Tiba-tiba Pak Abdullah memanggil Marco persis setelah Joel duduk dengan sempurna di samping kedua orang tuanya.

Laki-laki itu berdiri, tubuhnya berjalan perlahan ke samping Pak Abdullah untuk bergantian duduk di kursi panas. Benar-benar masih panas bekas bokong Joel.

Berbeda dengan Joel yang berwajah teduh dan berpenampilan rapi. Marco memiliki wajah lumayan sangar dengan penampilan urakan. Dia duduk dengan senyum aneh. Mungkin di antara gugup atau menahan mules. Refami ingin melemparinya air mineral karena tak tahan melihat ekspresi wajah laki-laki satu itu.

"Selamat siang keluarga Refami dan keluarga Mas Joel." Kepala Marco meliuk-liuk bagai pohon kelapa di pinggiran pantai yang tersapu angin. Ya Tuhan, kenapa ada cowok modelan gini, sih? Batin Refami menutup setengah wajah.

"Saya datang ke sini untuk melamar Refami secara resmi," Dengan sengaja, Marco membuat penekanan nada dalam kata 'resmi', membuat Refami menahan tawa di ujung sana.

Kepala audiens, tepatnya Joel, Pak Darmawan dan Bu Khadijah berputar ke kiri dan ke kanan, bertanya pada orang sebelahnya. 

“Melamar resmi gimana?” Joel setengah berbisik pada Bu Khadijah. Bingung. “Pernah lamar nggak resmi gitu?” Kepala Joel menoleh ke sekitar, mencari jawaban.

"Coba jelaskan, Mas." Pak Abdullah menengahi. Melempar pandangan serius pada Marco.

Sedang Marco menarik napas pendek, "Dua pekan lalu, saya sudah melamar Refami secara pribadi di tempat jajanan es kelapa di pinggir jalan," jelasnya dengan senyum lebar. Padahal cerita aslinya sedikit mengenaskan, hanya Refami yang tahu. Perempuan itu menepuk keningnya berkali-kali melihat Marco sangat bangga membagikan momen tersebut. Cowok edan!

"Jadi, sama dengan Mas Joel. Saya ke sini untuk melamar Refami yang kedua kalinya. Bedanya, saya tidak putus, karena tidak pernah jadian." Marco, dia malah membuka acara lawak di depan keluarga Refami. Semua orang tertawa karena merasa terhibur. Bodoh! Batin Refami geli.

"Saya belum memiliki rumah seperti Mas Joel. Tapi, saya sudah memiliki tabungan dan mas kawin dari hasil kerja saya dan ..., " Kalimatnya terhenti, matanya sedikit berkaca, " ... dan pemberian almarhumah Ibu saya untuk istri kelak." Kalimatnya benar-benar berhenti.

Hati Refami sedikit pedih, pasti tak mudah mengingat hal paling menyakitkan di saat acara seperti ini. Apa lagi melihat orang tua Joel yang kentara dengan Marco. Bahkan dia sudah kehilangan separuh semangat hidup. Atau mungkin semuanya.

Refami tersenyum di sudut sana, memberi isyarat bahwa Marco harus terus melanjutkan pembicaraannya.

"Kesehatanmu bagaimana, Mas?" Seseorang berteriak di ujung sana, memecah suasana sedih yang dipaksa usai. Bibi Refami lagi.

Marco menghapus titik bening di area tulang pipi dengan lengan bajunya secara kilat, "Kesehatan, ya? In-insyaallah sehat," jawabnya sedikit terbata karena selesai berkabung singkat.

"Tapi saya punya buta warna parsial," lanjutnya.

Orang-orang dalam ruangan kembali agak gaduh. Refami yakin keluarganya tak begitu paham dengan penyakit yang dimaksud Marco.

"Bahaya nggak, ya, Mas? Apa itu mempengaruhi saat memiliki keturunan?" Refami mengangkat tangan, mencoba mengurai kegelisahan yang dirasa keluarga besarnya.

"Oh, itu tidak bahaya sama sekali. Pun insyaallah tidak diturunkan pada anak," jawab Marco menangkap sinyal dari Refami.

Seluruh keluarganya ber "oh" ria saat mendengar jawaban Marco.

"Meski saya tidak memiliki sistem pendukung sebaik Mas Joel. Tapi, saya akan berusaha sebaik mungkin." Marco menerbitkan senyum di ujung kalimat.

Bu Dina mengangkat tangan, "Maksudnya gimana, Mas? Mama nggak ngerti."

Marco bergeser sedikit, membenarkan posisi duduknya.

"Saya sudah biasa hidup mandiri dan sendiri. Ibu saya sudah meninggal tahun 2013 lalu dan Bapak tak bisa diharapkan lebih. Tapi, untuk urusan mengurus anak saya bisa handle, karena biasa mengurus keponakan. Untuk memasak, saya bisa handle karena sudah biasa memasak. Untuk urusan rumah, saya sudah biasa beberes sejak kecil karena ditinggal kedua orang tua bekerja. Terakhir, untuk urusan pertukangan seperti membenarkan perabot atau atap bocor ..., " Marco menghela napas singkat, "... saya pun sudah biasa melakukannya."

Refami terpaku karena kalimat itu. Perbedaan antara Joel dan Marco sangat kentara. Joel sama sekali tidak bisa memasak atau melakukan hal-hal sepele seperti memasang paku. Karena pasti Pak Darmawan akan melakukan semua hal sendiri tanpa melibatkan anak-anaknya dengan dalih kasih sayang.

Sedang Marco, meski badannya lebih cocok menjadi algojo, tapi dia mampu melakukan semua pekerjaan sendiri. Bisa bertahan hidup meski sebatang kara di tengah hutan.

Refami berdecak kagum. Hampir saja dia bertepuk tangan sendirian.

"Jadi, Bapak dan Ibu jangan khawatir, meski suatu saat nanti kami ada di posisi sulit, Refami akan tetap makan enak." Marco masih saja memberi lelucon di akhir presentasinya.

Semua orang tertawa.

Setelah Joel dan Marco presentasi, semua keluarga Refami menuliskan satu nama di atas sobekan kertas kecil. Kemudian dimasukkan ke dalam wadah untuk menjadi bahan voting suara.

"Joel," ucap Pamannya lantang. Lantas segera ditulis oleh Pak Abdullah dalam papan tulis kecil yang sudah digantung di dinding sejak tadi.

"Marco." 

"Joel."

Sampai perolehan suara antara mereka imbang.

Paman dan Bapak Refami menggaruk-garuk kepala tak gatal.

"Gimana ini?" Pak Abdullah bertanya pada keluarganya di sana.

Mereka semua sontak menoleh pada Refami. Hanya dia yang belum memilih.

"Mi, maju." Pak Abdullah memanggil Refami dan memintanya duduk di kursi panas sebagai penentu.

Refami berdiri dari tempat duduknya, dia berjalan perlahan ke arah kursi panas dengan perasaan tak karuan. Pun dalam benaknya, dia tak tahu harus memilih siapa.

Perempuan itu terduduk di kursi dengan wajah agak menunduk, dia sadar semua mata menyorot ke arahnya.

"Bismillah, Mi. Yuk, tentukan pilihan." Pak Abdullah mengusap lembut pangkal kepala putri sulungnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro