Bab 44 Satu Bulan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Acara lamaran antara Marco dan Refami tidak ada tukar cincin atau sebagainya. Perempuan ini masih memiliki trauma berat masalah cincin.

Umi menatap Marco dengan halus dan tegas, "Mas, yakin sama cucu saya?" Tiba-tiba pertanyaan seperti itu terlontar begitu saja. Hanya memastikan.

Marco yang sejak tadi menunduk memandangi motif karpet berubah balik memandang segan Umi. "Insyaallah ya-yakin, Umi," jawabnya.

Marco menatap lekat-lekat ke arah nenek Refami tersebut. 

"Kalau Mas yakin dengan Refami ..., " Kalimat beliau dipotong secara sengaja. Semua mata sudah memerhatikan Umi, termasuk Refami.

" ... saya kasih waktu satu bulan, sanggup?" Lanjut perempuan tua yang kharismanya tiada dua.

Refami mengerutkan kening, menatap lekat-lekat neneknya. Maksudnya?

Semua orang di sana berusaha mencerna kalimat tersebut.

Marco menggaruk telinga kanannya pelan, ekspresi bingung jelas tergambar dari wajah bulatnya. "Satu bulan untuk?" tanyanya.

"Akad. Sanggup, Nak?" 

Refami benar-benar tercengang. Mulutnya menganga bagai mulut gua. Hah? Ini itu akad kali bukan mau KKN!

"Mi, kok, cepet banget?" Refami tak tahan jika harus terus menganga tanpa bertanya apa-apa.

Tiba-tiba paha gadis itu dicubit oleh Bu Dina. Memberi isyarat untuk diam seperti stupa di candi.

Atau mungkin Umi punya trauma yang sama? Maksudnya, jika jeda terlalu lama, khawatir gagal lagi? Batin Refami bergema sendiri.

Gadis itu menutup mulutnya rapat-rapat. Dia memerhatikan diskusi panas antara Marco dan Umi.

“Umi nggak mau niat baik ditunda-tunda kayak yang sebelumnya.” Tatapan beliau tajam mengarah pada Refami.

Marco, laki-laki itu seperti tak gentar sama sekali. Terlihat dia menarik napas panjang dua kali, Refami benar-benar menghitungnya.

"Insyaallah, sanggup," jawabnya tegas.

"Alhamdulillah." Semua keluarga Refami mengucap syukur.

Refami membisu, bingung. Dia pikir akan ada masa perkenalan dengan laki-laki serampangan di depannya. 

Saat pandangan Refami beradu dengan Marco, laki-laki itu malah menggeleng sambil melemparkan senyum hangat.

Dia pun sama bodohnya dengan wajah Refami sekarang. Antara harga diri dan … entahlah.

Jadi, dia akan menjadi suamiku satu bulan lagi? Ya Tuhan. Batin Refami tak kuasa menahan serangan dadakan seperti ini.

Acara lamaran yang begitu panjang selesai. Benar-benar selesai dengan hasil sangat memuaskan.

Marco melambaikan tangan saat roda mobil mulai melaju perlahan. Refami tersenyum membalas lambaian tangannya. Berjalan mengekori bokong mobil sampai tertelan belokan gang.

"Marco," ucap Refami lirih.

Belum dua puluh menit berlalu, ponsel Refami berdering berkali-kali. Nama Marco jelas terpampang di layar.

"Mi, gimana kalo kita akad tanggal tujuh belas bulan depan?" tanyanya seperti menawari jajan es doger. Nadanya sangat ringan dan santai. Tanpa beban.

"Hm. Boleh," jawab Refami tak ada pilihan. Dengan gerakan cepat, perempuan itu melihat tanggal hari ini di ponsel, tujuh belas Desember.

"Oke." Marco menutup saluran panggilannya.

Refami mematung di kursi depan rumahnya. Hari ini begitu tidak masuk akal. Durasinya panjang sekali.

Baik, aku harus mulai membuka hati untuk Marco.

***

Pagi ini Refami tengah melamun di depan jendela kamarnya. Teringat hari kemarin yang seakan berjalan seperti mimpi.

Wajah Joel melambai dengan memesona dalam benaknya. Dia perlahan mengucapkan selamat tinggal pada ingatan masa lalu. Entah, memilih Joel seakan berjalan menemui luka kembali. 

Kebaikan laki-laki itu memang tiada tara, tapi rasa nyeri yang dia beri pula tidak sedikit. Saat Refami bertahan mati-matian dua tahun untuk menunggunya. Bahkan rela bolak-balik ke Jakarta hanya sekadar melihat sorot matanya secara langsung, tapi laki-laki itu seakan tak acuh dengan hadirnya.

Di seberang sana, Marco tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sudah satu jam dia menunggu bapaknya pulang dari shift kerja malamnya. Beliau sudah berangkat pukul sebelas malam tadi dan sebentar lagi jadwalnya kembali ke rumah. Biasanya pukul setengah tujuh pagi.

Suara motor terdengar masuk ke halaman rumah, Pak Ardianto--bapak dari Marco, terlihat membawa kantong keresek. Biasanya berisi jajanan seperti risoles, kue pukis, bakwan jagung, lontong dan kue cucur.

Dengan buru-buru Marco keluar dari kamar, setengah berlari menuju dapur dan mengambil piring kaca.

Laki-laki baya itu melihat putranya sebentar, lalu membawa tas kerja masuk ke dalam kamar. Berganti baju menjadi setelan kaos dan kolor, kemudian duduk di samping meja makan.

Tak ada sapaan atau sekadar mengucapkan selamat pagi. Sudah biasa.

"Pak," panggil Marco.

Pak Ardi menoleh sambil menyapit risoles dari atas piring dengan tangan kanannya.

"Hm?" jawabnya.

"Aku kemaren ke rumah Refami bareng Mas." Kalimatnya sengaja dijeda. Marco mengambil sepotong kue cucur dari piring lalu melahapnya dengan cepat. "Aku mau nikah sama Refami tanggal tujuh belas bulan depan, Pak." Lanjutnya.

Pria baya itu berhenti mengunyah, matanya membola menatap putra satu-satunya. Pembicaraan barusan cukup menyita perhatian. Kemudian beliau menyergap tisu yang memang tersedia di atas meja. Mengelap bibir atas dan bawah secara bergantian.

"Kok, bapak nggak tahu apa-apa, Mar?" tanya beliau dengan wajah cukup serius.

Marco tersenyum hambar.

"Bapak yang nggak mau dengerin aku, kan?" Marco balik bertanya dengan tatapan tak suka.

Pak Ardianto diam tak peduli. Beliau mengambil secangkir teh yang masih berasap dan meneguknya perlahan-lahan.

"Gimana kamu aja, Mar," timpal Pak Ardianto dengan wajah datar seperti biasanya.

Hari-hari sebelum melamar Refami, Marco bukan satu atau dua kali bercerita pada Pak Ardi.

"Pak, aku mau nikah, ya?" ucap Marco saat dia selesai menjemur pakaian di lantai dua. Sedang Pak Ardi baru keluar dari kamar mandi di lantai atas sambil menjemur handuknya.

Beliau tak menanggapi. Hanya melirik halus ke sumber suara.

"Pak, aku ada perempuan yang pengen aku lamar, deh." Marco berusaha yang kedua kalinya saat Pak Ardi keluar dari kamar dengan menenteng tas kerja, hendak mengawasi produksi beberapa produk di pabrik sebagai supervisor. Nihil, tak ada tanggapan sama sekali.

"Pak, aku mau nikah." Marco sekali lagi memberitahu Pak Ardi. Memberitahu bukan meminta izin. Beliau yang sudah memakai jaket kulit dan menenteng helm--hendak menginap di istri barunya, melewati Marco dengan perasaan ringan.

"Ya, terserah kamu," jawab beliau akhirnya.

Cukup.

Bisa terbayang bagaimana Marco menjalani hari-hari di Jakarta jika hanya berdua dengan Pak Ardi yang begitu dingin nan datar.

Sangat berbeda dengan almarhumah ibunya yang memiliki karakter hangat, peduli, memiliki empati tinggi dan pasti memberikan semangat pada semua tindakan anak-anaknya.

"Bu, doakan aku," tutur Marco di depan foto ibunya di dalam kamar. "Aku akan mengakhiri kesepian dengan menikahi seorang gadis di tanggal tujuh belas bulan depan." Lanjut Marco dengan hati kosong.

Laki-laki itu berjalan gontai membuka lemari. Kemudian di sana ada laci kecil di antara tumpukan baju. Saat perlahan laci itu ditarik, ada beberapa dokumen dan wadah kain kecil berwarna hitam.

Saat ristleting dibuka, ada beberapa emas batangan hasilnya menabung selama bekerja dan kalung pemberian almarhumah ibunya. "Bu, amanat Ibu akan segera aku sampaikan pada orang yang tepat," ucapnya pelan sambil terus menatap kalung itu tanpa henti.

Aku selalu merindukanmu, Bu. Selalu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro