Bab 6 Terdesak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo semuanya, aku update lagi. Jangan lupa tinggalkan vote dan komen ya, untuk mendukung karya pertamaku ini! ♥️

Selamat membaca ~

Refami menginjakkan kaki di Ciamis pukul tiga dini hari, setelah dia menaiki bus malam pukul delapan kemarin. Sepanjang perjalanan, perempuan ini hanya melamun tentang masa lalu indah bersama Joel. Sepertinya baru terjadi kemarin. Rasa kantuk Refami tak berkesudahan karena pukul enam dia sudah harus ke kantor untuk mencari bekal masa depan--membeli cimol, cilok, bakwan, lontong, cibay, nasi uduk, nasi kuning dan indomie di pinggir jalan. Nasib baik, magrib belum datang, semua pekerjaan telah beres dia kerjakan.

Pukul lima sore lebih sepuluh menit, bayangan Refami mengenai masa lalu terkikis jalanan kota Ciamis yang mulai padat oleh pedagang-pedagang kaki lima yang hendak berjualan mulai dari petang sampai malam.
Sementara itu, anak-anak sekolah menengah atas dan kejuruan dengan wajah lesu, lalu-lalang motor para pekerja kantoran, mobil angkutan umum dan pribadi, dan muda-mudi yang berpacaran sekadar mencari angin sore yang romantis nan bau asap knalpot. Kepalanya mulai pusing, apa lagi sejak dari Jakarta sampai saat ini, jadwal istirahatnya tidak teratur.

Refami dengan wajah suntuk setengah mengantuk, beberapa kali menginjak pedal rem dan mencengkeram kopling karena akan mengenai gerobak dagangan yang melintas bukan di zebra cross. Masih sore, namun mata Refami tinggal memiliki nyawa lima persen lagi. Seandainya boleh, dia ingin tidur lesehan memakai tikar dengan bahan dasar daun mendong di samping tukang mie ayam yang masih bersiap-siap membuka lapak jualannya. Seperti menantang Malaikat Izrail, perempuan tak waras itu memejamkan mata berkali-kali selama dua sampai tiga detik di jalanan lurus nan kosong bebas hambatan. 

Refami selalu yakin jika nasibnya harus mati, bagaimana pun menghindar maka akan menghadap Tuhan. Tapi jika nasibnya masih hidup, meski tertidur di jalanan, dengan izin Tuhan akan tetap selamat. Tapi yang selalu diingat, di depan itu bukan bakwan jagung, tapi motor dan mobil. 

Di sela-sela kesadarannya yang tinggal setengah, akalnya masih berusaha keras memberitahu Refami yang mulai mengarahkan setang motornya ke samping. 

"Aduh, sakit!" Refami membuka mata lebar-lebar saat sadar dia tengah terbaring di dalam selokan kering, di samping tukang siomai dan tukang batagor yang sedang memangkal.

Tanpa menghitung rumus gerak jatuh bebas dalam fisika, kedua pedagang baik hati yang seperti ibu tiri Cinderella itu, membantu membangunkan motor CB 150 R yang satu setangnya sudah tenggelam di kerak bumi. Mereka berdua menarik motor sekuat tenaga, sampai-sampai salah satu dari mereka memiliki postur tubuh kurus dan yang lainnya gemuk.

"Neng, kalo mau rebahan ya di rumah, jangan di selokan sama motor," ucap tukang batagor sambil membenarkan tas pinggang merah pudar lusuhnya dan mengangkat lemak diperutnya yang terjepit tali tas.

"Lagi berinovasi dong, Mang. Masa rebahan di rumah doang, di selokan nih, biar jadi kenang-kenangan pahit," timpal Refami sambil berusaha bangun dari posisi telentangnya tanpa dibantu dua pedagang tadi.

"Alhamdulillah Neng, motornya aman nggak kenapa-kenapa," ucap penjaja siomay yang sibuk berjongkok memerhatikan bokong motor.

Di mana-mana, kendaraan lebih utama dari pada pemiliknya. Service motor lebih mahal dari pada membeli dua plester di warung. Luka di dalam diri, dapat sembuh seiring waktu. Sedang luka pada motor, akan sama saja meski seratus dekade tidak disentuh mekanik.

***

"Refami, sini. Bapak mau bicara." Pak Abdullah, memanggil anak sulungnya setelah beliau selesai melaksanakan salat Isya berjamaah di masjid dekat rumah.

"Katanya kamu habis jatuh di jalan pas pulang kerja tadi?" tanya Pak Abdullah kembali, padahal Refami belum sampai dan ikut duduk bersamanya di ruang tamu.

"Motornya nggak apa-apa, Mi? Kan sayang ya kalo lecet, aduh," imbuhnya sambil mengangkat sebelah kaki ke atas lemari jati.

"Bapak lentur amat kakinya kayak penari pelet." Akhirnya Refami duduk berhadapan dengan Pak Abdullah di ruang tamu. Sifat kacau Refami adalah warisan genetik dari ayahnya.

Saat suasana sudah mulai hening, rokok ayahnya telah padam dan kondisi keuangan telah kondusif. Laki-laki berusia lima puluh empat tahun itu berjalan meninggalkan Refami sendirian ke arah dapur. Sangat tidak jelas semua tindakannya. Ingin mengumpat, tetapi orang tua sendiri.

"Jadi gini, Mi." Pak Abdullah mengambil posisi duduk bersila di atas kursi kayu motif tahun 2010 sambil menahan piring berisi nasi berkuah cokelat tua.

Mata Refami terbelalak seperti akan keluar dari jalurnya. "Pak, tapi itu bubur kacang, kok pake nasi?" Suara Refami sangat keras sehingga membuat ibunya keluar menyibak gorden dapur.

Secara serempak, Bu Dina dan Refami mengucap istigfar bersama-sama.

"Udahlah, bapak laper. Lagian juga enak, kok. Kalian ini loh terpaku banget sama hal-hal nggak penting kayak gini. Gimana pikiran kalian mau maju?" Pak Abdullah tak mau kalah. Lagi pula, hal tersebut bukan hal yang aneh di keluarga ini.

Dengan mengabaikan Pak Abdullah yang tengah menikmati makan malam dengan menu nasi campur kuah bubur kacang, Refami bercerita mengenai dirinya yang jatuh ke selokan bersama motor dan kejadian-kejadian di rumah sakit saat di Jakarta kemarin.

Gelas kaca bening yang berisikan air putih, diminum setengah oleh Pak Abdullah. Beliau memerhatikan Refami bercerita sambil sesekali mencukil makanan sisa di sela-sela giginya.

Pak Abdullah berdeham, keningnya sedikit mengerut. Beliau sedang memilih kalimat yang pantas didengarkan oleh anaknya. "Menurut Ami gimana?" Sosok ayah itu mencoba menghadapi masalah ini dengan bijak.

Refami menatap ujung meja dengan nanar, hatinya begitu sakit disaat harus menentukan pilihan seberat ini. Lebih baik dia disuruh untuk bersemedi di bawah Gunung Galunggung atau mandi kembang di tumpukan pasir samping rumah tetangga bersama-sama kucing liar, daripada harus memilih berpisah dari Joel.

"Pak, tapi Joel nggak kayak dulu lagi. Sekarang dia gampang marah, bahkan kayaknya nggak mikirin tentang pernikahan." Wajah Refami semakin menunduk, hampir mencium inti bumi.

Pak Abdullah bangkit dari kursi, menelan udara malam yang masuk melalui sela-sela pintu kemudian duduk di samping Refami.

"Pikirin yang mateng, ini masalah pernikahan. Bukan perkara bikin cilok atau cimol yang kalo gagal atau salah adonan tepung bisa diulang." Pak Abdullah sekarang sedang berada di jalan benar, tidak ngawur seperti biasanya.

"Kalo kata ibu sih, udahan ajalah. Nggak ada harapan juga." Bu Dina tiba-tiba duduk di atas kursi kayu di samping suaminya yang menawan hati para nyamuk, kecoak, dan antek-anteknya.

"Terus, kamu cari lelaki sehat yang udah siap nikah aja. Jangan ribet nungguin si Joel yang nggak tau kapan nikahin kamunya. Kalo kelamaan nunggu, ntar keburu si Elma punya cucu sama cicit," komentar Bu Dina panjang lebar, mengalahkan panjang koloseum di Roma.

Seketika ruangan itu hening, Refami tak menyangkal perkataan ibunya barusan. Tangan dan kakinya mulai membeku tanpa harus dilalui balok es. Pikirannya kacau, mulutnya tak mampu menjawab apa-apa sekarang. Baginya, tak akan ada laki-laki yang seperti Joel lagi jika dia melepaskan hubungan ini.

Sudah lima belas menit berlalu, Bu Dina berjalan ke arah kamar untuk meluruskan punggung yang sejak pagi dipaksa kerja rodi. Sedang Pak Abdullah menyalakan sebatang rokok lagi sambil menatap langit-langit rumah yang terdapat bercak genangan air bekas hujan deras kemarin siang, tanda akan segera bocor jika tidak dibenahi.

"Pikirin aja dulu Mi, semaleman ini. Besok kita pikirin bareng-bareng solusinya." Pak Abdullah mengusap rambut anaknya yang sudah mulai licin karena tiga hari tidak keramas.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro