DUA PULUH DUA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[ 01.37 -- 01.58 ]

Film berdurasi dua jam ini sudah berjalan 12 menit.  Kalau aku menghitung saat Danu masuk kamar mandi itu berarti sudah 16 menit dia di dalam sana. Aku menjeda filmnya saat April sedang menyeret tong sampah. "Danu, aman di dalam sana?" teriakku.

Danu mendesah lalu mendesis. "Yah, semua baik." Napasnya terengah ketika berteriak.

"Tangan kanan kamu tidak apa?" Aku memekakan telinga dari atas tempat tidur, memangku bantal yang di atas aku letakkan laptop, bersandar pada sandaran tempat tidur.

"Berhenti bertanya, aku akan keluar," sergah Danu. "Ini sulit karena hanya beberapa jam lalu dia keluar."

"Aku bisa bantu." Aku mengigit bibir bawah. Semoga Danu tidak sungguh meminta aku masuk ke sana. Pasti aku jadi kikuk dan salah tingkah.

Memang salah aku melakukan itu padanya. Aku bingung mencari cara bagaimana mempertahankan Danu tetap berada di dalam rumah. Satu sisi aku merasa tidak puas dengan pertaruhan kami di dapur lantaran Danu menghentikan saat aku belum melihat tubuhnya. Dan sekarang aku merasa sedikit puas biarpun Danu menjaga jarak karena dia tahu masalah pernikahan aku dengan Mas Agastya.

Aku kembali melanjutkan filmnya. Pikiranku semakin tidak tenang. Jadi aku berjalan menuju dapur untuk mengambil minum. Sampai di depan kulkas aku ingat bahwa Danu tadi memberiku minum yang aku taruh di nakas. Aku kembali ke kamar. Langkah aku terhenti melihat pintu kamar mandi masih tertutup. Aku berniat mengetuk tapi takut imajinasi Danu buyar ketika dia harusnya berada di puncak.

"Danu?" Panggilku ragu-ragu. "Apa perlu aku carikan video porno."

"Ide bagus." Danu lebih tenang sekarang. "Tapi aku baik-baik saja. Sungguh."

"Aku ambilkan handuk piama." Aku langsung bergerak menuju kamar Susan dan membuka lemari kedua. Saat aku kembali aku mengetuk kamar mandi. Terdengar suara flush toilet. Di susul suara gemericik air.

Danu membuka pintu dan hanya kepalanya yang keluar. Aku mengernyit meminta jawaban. "Selesai. Mana piamanya."

Aku mengulurkan piama padanya. "Maaf."

Danu menerima itu dengan mengangkat alis. "Tidak masalah. Aku tahu kamu berusaha menahanku untuk tetap di sini."

Aku meringis. Saat dia keluar dari kamar mandi sambil mengikat kedua tali piama ke depan. "Aku heran kenapa kita selalu bertengkar."

"Itu karena kamu merahasiakan sejak awal. Padahal aku sudah meminta kamu bercerita tadi sore. Tapi kamu malah menceritakan soal Danu." Bibir Danu berwarna lebih merah dari terakhir aku melihatnya. Wajahnya juga lesu. "Kamu masih nonton?"

Aku sudah merangkak ke tampat tidur sedangkan dia berhenti di depan meja rias untuk mengambil ponselnya di dalam tas. Aku kembali memutar filmnya. Danu mendesis ketika menakan-nekan layar ponselnya. Cukup lama dia sibuk di sana juga aku yang semakin terhanyut dalam film. Wajahnya bersinar karena layar ponsel. Tidak lama Danu meletakkan ponselnya di meja rias lalu berjalan keluar.

Danu kembali membawa air minum dalam gelas juga penutup gelas. Dia meletakkan di nakas. Lalu menyelinap masuk ke dalam selimut. Dia posisi tidurnya memunggungi aku. Berkali-kali dia mendesah dan bergerak untuk mencari posisi nyaman dalam tidur.

"Kamu mau tidur?" tanyaku selagi aku menjeda filmnya. "Tidak mau menemani aku menonton?"

"Aku besok pagi..."

"Aku tahu," sergahku. "Danu, jangan buat situasi kita jadi seperti ini."

"Aku baik-baik saja. Jangan pedulikan aku jadi situasinya juga akan membaik. Aku mau tidur." Danu memandangku sekilas lalu kembali keposisinya semula. "Selamat malam." Dia mematikan lampu tidur.

Aku menghela napas. Ini tidak baik. Aku tidak bisa menahanya jika memang harus seperti ini jadinya. Aku hanya ingin menghabiskan waktu sampai matahari terbit, sampai aku benar-benar harus melupakan jika aku harus pergi ke Pelabuhan Ketapang pukul tiga pagi. Jika Danu memilih tidur maka sama saja aku membiarkannya pergi dari rumah ini. Sama saja aku harus memikirkan bagimana caraku untuk tidak memikirkan pergi ke Bali pagi ini.

Aku mengeluarkan filmnya dan mematikan laptop lalu membawanya ke meja kerja. Aku berjalan menuju pintu untuk menyalakan lampu. Danu terkesiap melihatku berdiri di depannya.

"Kenapa?" tanyanya. "Kamu mau berangkat?"

"Berangkat ke mana?" Aku menghela napas. "Kamu mendengarkan aku bicara di telepon dengan suamiku?"

"Tidak disengaja." Dia bangkit mengambil posisi duduk di tepian ranjang. "Jam berapa sekarang." Aku melihatnya seolah sudah terlelap beberapa jam yang lalu padahal dia hanya memejamkan mata dua-tiga menit yang lalu.

"Kamu kenapa?" Aku berkecak pinggang. Aku baru tahu Danu bisa bersikap dingin denganku. Dua hanya bergeming menatap ke lantai. "Danu, aku bukam Arestia yang harus berupaya mencari tahu sendiri bagaimana perasaanmu sekarang. Jadi jangan paksa aku melakukan itu. Sekarang katakan padaku. Kamu kenapa?"

"Kamu harus berisap berangkat ke Bali," katanya. "Aku sudah siapkan e-money untuk biaya naik kapal."

"Astaga, Danu. Kamu pikir aku akan pergi ke sana?" Aku berjalan menjauh darinya keluar kamar. Dia menyusulku. "Aku tidak akan pergi. Aku besok masih bekerja." Aku duduk di kursi meja makan sedangkan Danu berdiri di ambang pintu.

"Kenapa?" Danu memberikan tatapan tidak menyenangkan yang lebih buruk dari yang pernah dia berikan. "Bukannya kamu dapat cuti kematian?"

"Siapa bilang? aku belum mendapatkan kabar mengenai itu." Aku sampai menggebrak meja saking tidak sabaran. Setelah berdebat dengan Mas Agastya sekarang Danu mengungkitnya. "Danu aku tidak akan berangkat ke sana."

"Terus saat matahari terbit apa yang akan kamu lakukan?" Danu melipat tangannya di dada dan menyandarkan lengan di kusen pintu. "Apa kamu membiarkan Suami kamu melakukan yang ingin dia lakukan kepadamu. Terhadap pernikahan kalian."

"Danu...," lirihku. Aku tiba-tiba merasa sangat emosional. Tapi air mataku tidak bisa jatuh. Aku harap Danu tahu bagaimana aku sekarang. Alu harap dia tidak memaksakan lagi untuk aku pergi ke Bali. Biar aku yang putuskan sendiri kapan aku harus ke sana. "Aku tidak akan...." Air mata pertama telah jatuh. Disusul air mata kedua dan wajahku terasa tertarik dan basah.

"Uh, Riani maaf." Danu langsung bergerak mengambil kotak tisu di atas bufet. Dia memberikan kota tisu itu tapi tanganku terlalu tidak bersemangat mengambilnya. Danu meletakkan di meja dan aku mendekap di perutnya. "Aku minta maaf, oke. Sungguh. Aku janji tidak akan melakukannya lagi." Suaranya lemah dan dia mengusap rambutku berkali-kali. Tapi tangisku sudah pecah. "Aku janji," tambahnya.

Dia merengangkan pelukannya dan bersimpuh di depanku. "Kita tidak akan membahas soal suamimu lagi? Setuju?" Aku mengangguk. Dia meremas tangaku dengan tangan kirinya. Sedangkan lengan kanannya menggantung lemah.

Dia menyusupkan tangan ke belakang kepalaku dan mendekatkan tubuhnya. Dia mengusap kepalaku dan itu cukup memberikan kenyamanan. Aku menyandarkan dagu ke bahunya. "Aku menyesal Riani. Maaf."

Aku masih tersedu-sedu, karena bayangan yang akan dilakukan Mas Agastya padaku terus saja menghantui. Itu tidak akan pernah pergi sebelum aku benar-benar merasa itu nyata aku hadapi. Dan aku akan siap menghadapi itu. Aku yakin karena Danu akan membantu agar aku menegakkan badan dan mengangkat dagu dengan perasaan yang siap dan percaya diri.

Danu merenggangkan tubuhnya. Dia mengusap pipiku. Tapi aku tidak ingin dia mengakhiri pelukannya. Jadi aku mendekapnya sekali lagi. Aku menciumi pelipisnya. Hanya ini yang aku butuhkan. Danu masih tidam berbicara aku pun juga. Hingga akhirnya aku teringat akan tangannya.

"Aku akan bantu obati pergelangan tangan kamu." Aku merenggangkan pelukan dan memintanya untuk duduk. Aku bangkit dan berjalan menuju kamar Susan untuk mengambil kotak obat di lemari kedua.

Saat aku kembali Danu memandangku dengan ekspresi wajahnya yang tenang dan dia tampaknya tidak ingin memutus dan mengakhiri. Saat aku duduk tangannya mengarah ke wajahku. "Lihat wajahmu bengkak karena terlalu sering menangis."

Aku meletakkan kotak obat di meja dan ikut memegangi wajah. "Tidak lagi."

Danu mengangguk. Dia mengulurkan tangan kanan di pangkuanku. "Kamu pernah melakukan ini?" Aku bersiap mengambil salep pereda rasa nyeri. "Pernah ini terjadi dan aku tidak bisa berbuat banyak di indekos. Jadi aku meminta Arestia dan Kalista untuk membantuku. Mereka datang ke indekosku setiap pagi memberiku sarapan. Juga saat malam mereka memasak untukku."

"Jika, kita mengenal sejak lama. Aku juga pasti akan melakukannya untukmu." Sebelum aku memoleskan salep aku berusaha memijat tangan Danu. Ada beberapa ruam dari pangkal jari sampai pergelangan tangan. Danu tidak menunjukkan wajah kesakitan selain napasnya yang tertahan. "Harusnya ini sakit sekali."

"Memang. Kamu kira ruam ini hasil visual efek?" protesnya. Ternyata dia bisa bawel juga. "Terus aku harusnya berteriak kesakitan begitu?"

Aku tertawa. "Baiklah kalau kamu bisa menahannya. Ini akan lebih sakit. Aku pernah ikut pelatihan pertolongan pertama pada cidera." Aku memulai memijat. Aku melihat ekspresinya setebal baja. Dia hanya mengernyit melihat tangannya. "Aku mendapatkan nilai cukup baik."

"Cukup baik. Terdengar seperti mengerikan." Tubuh Danu terkesiap mungkin aku menyentuh bagian rasa sakitnya. Jadi aku beralih memberikan salep pereda nyeri. "Aku harap ini baik-baik saja."

"Harusnya, karena aku mau minta tolong ke kamu angkat barang-barang Susan di mobil." Setelah selesai mengoleskan salep aku menyiapkan perban kain  gulung. "Aku rasa ini sepadan."

Danu mengangguk. "Dari mana kamu dapatkan semua peralatan ini."

"Mas Agastya yang membelikannya." Aku meletakkan perban itu di meja. "Harusnya di sini ada kondom." Danu tertawa geli sedangkan aku berusaha mencari. Dan aku mendapatkan tiga saset kondom.

Aku mengangkatnya ke udara. Tawa Danu meledak. "Ada di mana lagi kamu menyimpannya."

"Di kolong meja makan." Aku mengangkat bahu. Aku merasa terancam. Lantaran aku yang memintanya tidak melakukannya di meja makan.

Dia menatap ke arah mataku seakan meminta pertanggungjawaban. Sedangkan aku berusaha menghindari sorotan mata tajam itu dengan mempersiapkan perban untuk membalut tangannya.

"Kamu serius? Di bawah sini." Danu menunjuk ke bawah dari atas meja makan dengan tangan kirinya yang bebas. "Untuk apa kalian melakukan itu."

"Aku hanya berjaga-jaga." Aku sudah mulai membalut tangan Danu. "Kita sudah sepakat untuk tidak membahas suami aku."

"Oke, lupakan soal kondom." Nada bicara Danu terlihat kesal. "Padahal bermain di meja makan sangat menyenangkan. Daripada di meja dapur kepalaku sering terbentur lemari atas. Juga kita tidak bisa banyak gaya."

"Danu, aku sungguh ingin melanjutkan topik ini." Aku menghentikan gerakan yang baru setengah berjalan. "Kita baru saja mendebatkan masalah ini dan kamu membahasnya."

"Aku hanya ingin meringankan beban pikiran." Danu menumpu wajahnya. "Tidak apa. Mungkin terlalu krusial jika kita membahasnya."

Aku memutar bola mataku dan kembali memulai.

"Kita menganggapnya menganggapnya seperti sebuah permainan sepak bola tapi lebih intens." Danu terus saja berbicara mengingatkan aku pada Kalista. "Yang ada dipikiran kita hanyalah untuk menang dan saat permainan itu berakhir tidak ada yang berubah. Kita tetap menjadi diri kita dan tidak ada perasaan untuk saling melawan atau mencintai."

Aku mengakhiri balutan dengan ciuman di pipu Danu. Dia tampak tercengang dan sedetik kemudian menyunggingkan senyum. "Terima kasih." Dia membalas dengan mencium dahi.

Aku mengehela napas. Dia tidak lagi bicara. "Apa yang kamu lakukan?" omelku. "Segera ganti baju pria perkasa. Kita akan mengambil barang-barang Susan di mobil. Kamu akan memakai piama di luar sana?"

"Kamu juga," serunya seraya bangkit dari kursi.

"Tolong ambilkan sweter di pengait belakang pintu." Danu bergerak dan dia melepakannya padaku. "Terima kasih."

"Kamu hanya memakai celana pendek itu?" tanya Danu sebelum akhirnya dia mengambil celananya.

"Kenapa memang?" Saat itu aku sedang memakai sweter. "Ini tidak akan meningkatkan berahi pria seperti Joko."

Danu tertawa. "Kamu yang bilang." Dia langsung mengambil celana dan kaosnya, bersiap. Sedangkan aku mengembalikan kotak obat ke kamar Susan.

"Butuh bantuan pria perkasa," teriakku.

"Aku bisa atasi ini," sahutnya.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro