LIMA BELAS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[ 22.11 - 22.33 ]

Riani menunjukkan ekspresi terkejut setelah aku mengatakan apa yang orang tua Arestia katakan padaku. Kuhelanapas merasa lega. Seperti inilah aku. Pria yang menyerah.

"Dia tahu tentang ini?" Aku menggeleng. Riani mengusap lenganku. "Kamu nanti harus bilang ke Arestia tentang semuanya. Jangan buat dia seperti orang bodoh yang tiba-tiba kamu putuskan begitu saja."

"Buat apa?" Kutoleh Riani dia menatap ke luar mobil. "Aku tadi sudah bilang kalau kita di sana cuma menyapa semua orang terus pulang."

"Kamu sama saja menyakiti Arestia, Danu." Riani sedikit membentak. "Itu sama seperti Danu yang mendadak bilang, 'Aku ceraikan kamu.' Lalu dia mengajukan surat cerai."

Riani terus saja menceritakan tentang Danu, mantan suaminya. Sedangkan yang kudengar tadi sebelum berangkat, dia berdebat dengan suaminya. Aku merasa bahwa ada ruang kosong antara Danu dan suaminya sekarang. Aku tidak ingin mendesak Riani. Dia pernah bilang padaku bahwa tidak ingin aku membenci suaminya.

Kami sama-sama diam. Kucoba untuk menyalakan radio selagi mobil terus kulajukan mengikuti arahan Google Maps. Pernah terbesit di pikiranku mengenai pascapernikahan. Aku tahu dan itulah kenapa kuharus selesaikan sebelum akhirnya terlambat. Hingga perceraian sebagai ujung tombak.

"Perceraian tidak termasuk solusi untuk mengakhiri masalah," kataku. Riani seakan tidak mendengarku. Dia tidak melakukan apapun selain diam menatap ke luar mobil. "Sama halnya berlari untuk menyerah. Pasti lelah dan akhirnya kalah."

"Itu kamu, tidak untuk aku!" Riani mendesis. "Karena jika Danu menginginkan itu, aku pun juga."

Kuusap tengkukku karena terasa tidak nyaman. Tinggal beberapa menit lagi kami akan sampai ke tujuan. Jantungku memompa dahsyat. Tadi pagi, saat aku melihat Chris memeluk Arestia aku merasa mencelus. Dunia melahapku habis-habisan. Dan pastinya Kalista yang akan membuatku semakin masygul.

"Danu tepikan mobil sekarang." Aku langsung melihat spion tengah dan menyalakan lampu sein ke kiri. Untung saja jalanan sudah sepi. "Ada apa?"

Riani tidak sabaran ingin membuka pintu mobil. Posisi duduknya tidak tenang. Hingga mobil berhasil menepi dia membuka sabuk pengaman dan langsung berlari melewati trotoar. Aku juga ikut keluar sampai akhirnya aku tahu Riani mengejar seorang pria. Kumelihat sampai akhirnya mereka saling berhadap-hadapan. Riani langsung memeluk pria itu jangkung itu. Aku kembali masuk untuk melihat mereka dari dalam mobil.

Mereka saling berbicara juga meluapkan emosinya. Aku tidak bisa membaca bibir mereka. Mata pria itu berkaca-kaca sedangkan Riani sudah berkali-kali berusaha mengusap pipinya. Aku sebenarnya ingin berada di samping Riani, bukan untuk mengetahui apa yang mereka bicarakan melainkan untuk menenangkan Riani. Pria itu mengeluarkan sesuatu di dalam dompet dan memberikan ke Riani. Riani hanya melihat benda putih kecil seperti lipatan kertas itu, hingga akhirnya tangannya terulur untuk menerimanya. Riani juga memberikan sebuah kunci ke pria itu. Untuk bagian akhir dari pertemuan, mereka berpelukan, hingga akhirnya berjalan menjauh berlainan arah.

Riani kembali ke mobil dengan batinnya bergelut. Lipatan kertas putih itu dipengganya dengan hati-hati. Ditatapnya dengan mata berkaca-kaca. Yang aku lakukan menunggu sampai Riani masuk.

Aku menurunkan kaca mobil. "Kamu tidak apa?" Riani hanya berdiri di depan pintu dan tidak bergerak. Tangannya terangkat dan tubuhnya sedikit condong. Aku membuka sabuk pengaman.

Aku turun dari mobil dan segera kumelihat ke atap mobil. Riani sedang membaca isi kertas tadi. "Riani?" kataku lemah.

Sebagian wajahnya tertutupi oleh bentangan kertas. Tapi sejauh ini dia merasa tenang. Baru kemudian Riani melihatku. Dia menghembuskan napas, lalu membuka pintu dan masuk. Aku juga melakukan hal yang sama.

Suara pintu mobil tertutup terdengar bersautan. "Dia tadi pacarnya Susan," kata Riani setelah itu sambil mengenakan sabuk pengaman.

Aku menunggu Riani mengatakan hal lain selagi memasang sabuk, air matanya lebih dahulu jatuh. Dia melipat kertas yang dipegangnya lalu kemudian dia menyimpannya di laci dashbor besama dia menyimpan maskaranya.

"Kamu tidak apa?" Kuulurkan tisu padanya yang baru aku ambil dari kantong di belakang kursi Riani. "Apa kita pulang saja?"

Dia menggeleng saat aku memulai menyalakan mesin. "Kamu harus selesaikan masalah kamu." Dia mengambil tisu di tangan lalu menurunkan sun visor untuk bercermin memeriksa rias. "Make-up-ku baik-baik saja."

"Tapi mata kamu merah," jawabku sambil menarik rem tangan. Dan kami langsung melaju aku hendak mencari tempat untuk berputar arah. "Kita pulang saja. Aku tidak bisa lihat kamu seperti ini."

"Danu, aku mohon." Riani menghadapku. Dia menggoyang-goyang lenganku. Aku sudah menemukan tempat yang pas untuk berputar arah. Riani menyadari niatku. "Apa kamu bisa membuat aku merasa baik-baik saja saat kita pulang? Aku butuh bersenang-senang, Danu. Kamu kira aku pulang akan merasa tenang begitu?"

Aku menghembuskan napas. Kami tidak jadi berputar arah melainkan terus mengikuti petunjuk Google Maps, kurang dua menit lagi sampai ke tujuan. Kami masuk ke gerbang perumahan. Hingga masuk ke gang dan mendapati mobil-mobil terparkir paralel di sepanjang jalan menuju rumah Chris.

"Damn!" umpatku. "Aku benci parkir paralel."

Mobil melaju pelan untuk mencari di antara mobil-mobil yang berbaris memenuhi tepian jalan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Tapi semuanya masih penuh. Aku sempat merasa gusar.

"Kamu punya masalah dengan parkir paralel?" Riani ikut membantuku mencari cela yang cukup untuk memakirkan mobil  Suzuki Ignis.

"Punya," jawabku saat sudah menemukan satu cela yang cukup. "Cerita yang waktu itu."

"Maaf, aku tidak berniat bersikap kasar dan aku tidak seharusnya seperti itu." Riani menunjuk ke sisi kanan.

Aku segera menyalakan lampu sein. Dan segera beralih jalur kanan. Riani menggigit bibir melihatku sibuk memutar stir kemudi dan berkali-kali mengubah tuas transmisi untuk maju dan mundur. Aku mematikan mesin, mencabut kunci mobil lalu mengubah tuas transmisi dengan menekan tombol shift lock dari P menjadi N.

"Kamu bisa mengemudi karena ikut kursus atau bagaimana?" Kami sama-sama melepas sabuk pengaman. Riani sibuk memandang wajahnya di depan cermin sun visor sedangkan aku menaikkan kaca jendela. Setelah semua selesai kami langsung keluar. Aku sempat menyambar ponselku di speedometer.

Aku menekan tombol kunci. "Dari SMA sudah belajar. Kakakku yang ajari." Sambil menunggu Riani berputar menghampiriku. Rumah Chris berada di kanan jalan. Hanya beberapa meter dari posisi kami memarkirkan mobil. Kami mengetahui itu karena di depan rumah berpagar tinggi itu tengah dikerumuni banyak orang. Aku menawarkan lengan ke Riani dan dia segera memasukkan tangan ke lenganku.

"Aku kira kamu menyerempet orang itu pakai motor terus kabur," kata Riani. Aku bisa membayangkan saat itu Qiara yang masih berumur empat tahu.

"Aku penumpang saat itu."

Kami berhasil memasuki kerumunan orang yang sama-sama tidak kami kenal. Semua orang di sini mungkin adalah teman-teman Chris. Aku terus masuk sampai berada di teras. Di sanalah aku bisa menemukan Kalista sedang berbincang-bincang dengan teman semasa kuliahku.

"DANU!" teriak Kalista saat pandangan kami bertemu. Riani meremas lenganku. Aku langsung mengusap tangannya, mungkin dia merasa terancam.

"Dia Kalista," bisikku. Riani akhirnya melonggarkan remasan tangannya.

Kalista berdiri di depanku setelah menyibak beberapa orang. "Kamu datang!" katanya.

Aku hanya tersenyum dan memperkanalkan Riani. "Ini Riani."

Riani menurunkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Kalista. Mereka bertukar senyum dan menyebutkan nama satu sama lain. Baru kemudian Kalista membisikkan sesuatu ke Riani dan mereka lansung masuk. Aku hanya mengerutkan dahi memperhatikan mereka menjauhiku.

Tidak lama Arestia datang menemuiku. Aku sudah tidak dapat melihat Riani dan Kalista di dalam sana. Sudah pasti kali ini aku merasa terancam. Rasanya terlalu canggung untuk memulai pembicaraan.

"Hai, Danu." Aku terkesima dengan rias wajah Arestia. Orang tua Chris pasti mengeluarkan banyak biaya untuk acara ini.

"Apa kabar?" Aku tersenyum. Arestia mencium pipiku. "Aneh aku tanya seperti itu padahal tadi pagi kita baru bertemu."

Arestia tertawa. "Aku baik-baik saja." Dia menoleh kebelakang. "Tadi Kalista kenalkan aku sama Riani. Dia pacar kamu?"

Aku mengangguk.

"Terima kasih sudah sempatkan datang." Arestia mengajakku masuk. Dia menarik lenganku dan kami berjalan bersisian. "Kita ngobrol di dapur saja."

Aku terdiam mengikuti arah langkahnya. Selebihnya aku memikirkan apakah aku bisa menceritakan semuanya untuknya kenapa aku harus mengakhiri hubungan. Kalimat Riani terus terngiang di kepalaku. Sedangkan aku sudah tidaj berdaya.

"Mau minum apa?" tanyanya. Aku menelan ludah ternyata tenggorokanku terasa kering. Mungkin karena terlalu banyak bicara saat perjalanan menuju ke sini.

"Teh panas."

Arestia langsung tertawa. "Kebiasaan lama." Dia langsung berjalan menuju konter.

Aku duduk di kursi tinggi di depan konter. Sedangkan Arestia tersibukkan menyiapkan minum untukku. Dia mengambil cangkir di rak piring, mengambil teh celup di lemari atas, juga mengeluarkan gula di lemari lain. Kemudian berjalan menuju dispenser. Untuk menuangkan air panas ke cangkir yang sudah diberi teh celup.

"Aku tidak tahu berapa takaran gulanya." Dia menyajikan gula batu di dalam cawan, cangkir teh, dan juga sendok kecil. Aku mengambil alas gelas dari sudut konter dan Arestai membantuku memindahkan cangkir ke atasnya.

Aku mengangguk selagi memasukkan dua balok gula batu ke dalam cangkir. "Maaf merepotkan kamu." Mengaduknya sedikit hingga gulanya larut.

Tidak masalah. Arestia berdiri di depanku selagi kusesap teh dengan hati-hati. Kuletakkan cangkir di konter lalu berdeham. Suara alunan musik EDM terdengar sayup di dapur. Dan suaranya sepertinya berasal dari halaman belakang.

Areatia tersenyum padaku.

Aku lagi-lagi berdeham. "Aku ingin bicara sesuatu."

Arestia mengangkat alis. Kuharap dia masih ingin tahu penjelasanku. Atau semua yang kusampaikan adalah percuma.

"Tentang kenapa aku memutus hubungan kita." Ekspresi wajah Arestia langsung berubah tegang ketika aku mengatakan itu.

"Kamu tidak apa?" tanyaku meraih tangannya yang berada di atas meja konter.

"Lanjutkan." Suara Arestia tertahan menyebabkan suaranya terdengar serak.

Aku menghembuskan napas perlahan. "Kamu ingat saat kita makan malam di sini." Arestia mengangguk. "Saat aku hendak pulang. Ayah kamu sempat membisikkan sesuatu padaku. Kamu ingat?"

"Aku ingat itu," sahut Arestia.

"Ayah kamu tanya padaku apakah aku yakin menjadikan kamu istriku nantinya...," Aku memberi jeda pada poin terpentingnya. "Dengan gaji satu juta perbulan," tambahku.

Arestia menggeleng. "Danu, dua tahun setelahnya kita masih menjalani hubungan tapi kenapa kamu bilang itu sekarang." Air mata Arestia jatuh. Aku menahan diri.

"Aku terus memikirkan itu, hingga aku sadar bahwa aku tidak akan pernah layak."

"Tidak Danu. Kamu layak untuk aku," kata Arestia tegas. "Ayah aku salah menilai kamu."

Aku merasakan gejolak ingin memeluknya. Tapi rasanya itu tidak mungkin. Aku bukan lagi milik Arestia. Takdir kami sudah berakhir.

"Kenapa kamu baru bilang saat aku sudah menikah. Seharusnya kamu tidak menanggung beban ini sendiri. Kita bisa biacarakan ini, Danu." Suara Arestia terdengar yakin. "Kita bisa lewati ini. Dan asal kamu tahu aku tidak pernah peduli gaji kamu berapa."

Aku terdiam. Tidak ada yang bisa diperbaiki. Semua sudah berlalu. Kehadiranku di sini hanya menceritakan bukan untuk memperbaikinya. Biarpun mungkin bisa diperbaiki, aku tetap belum siap menikahinya.

"Setelah kamu sarjana situasinya tidak seperti itu, bukan?" Arastia mengitari meja konter untuk berdiri di sampingku. "Danu aku minta maaf kalau Ayah aku sempat bilang seperti itu."

Aku mengangguk.

"Danu, harusnya aku sadar perasaan kamu di hubungan kita. Pasti kita tidak akan seperti ini jadinya." Arestia meraih kedua tanganku. "Aku minta maaf." Air mata Arestia menetes.

Arestia memelukku. Aku tidak kuasa membalas pelukan itu. Jadi aku memilih berdiri tegak dengan tangan menggantung membiarkannya terisak.

"Aku baik-baik saja," kataku. "Selamat atas pernikahan kamu."

Tiba-tiba, suara sesenggukan Arestia teralihkan dengan semua orang yang berbondong-bondong menuju halaman belakang. Aku berusaha agar Arestia melepas pelukannya. Hingga akhirnya aku dan Arestia saling pandang.

"Ada apa?" tanyaku.

Arestia menggelengkan kepala. Aku dan Arestia menyadari ada seorang berbadan tegap datang mendekat. Buru-buru menghapus sisa air matanya.

Chris yang datang menghampiri kami. "Tante Ningsih dan Om Rifan," seru Chis dengan wajah panik. Mereka langsung pergi. Aku menyusul di belakangnya.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro