SEMBILAN BELAS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[ 00.03 -- 00.24 ]

Riani tidak kunjung keluar dari kamar. Bahkan saat aku menyajikan saus di meja makan dan aromanya menyeruak ke seluruh ruangan, dia tetap mengunci diri di dalam sana.  Aku sudah mencoba memanggilnya saat membuat saus barbeku. Mulanya dia menyahut memintaku untuk menunggum

Aku melepas celemek dan menyampirkan pada sandaran kursi meja makan. Setelah itu aku berjalan menuju pintu kamarmya mencoba untuk mengetuk. Dia tidak menyahut. Aku memegang gagang pintu dan membuka pintu. Riani tidak menguncinya lagi. Kapan itu terjadi aku tidak menyadarinya.

Saat aku masuk tidak melihat keberadaan Riani. Baru akhirnya aku menyadari jika sesuatu dia atas tempat tidur yang tertutupi kain selimut. Aku merangkak ke atas tempat tidur dan menemukan bahu Riani. "Kamu tidur?" Tubuh Riani menegang saat aku berusaha untuk membuatnya menatapku.

Posisi tidurnya miring ke kanan, menjadikan tangan kanannya sebagai bantalan tambahan. Dan dia menahan isakan tangis. "Hei, kenapa?" bisikku. Riani masih bergeming dan melawanku untuk membuatnya melihat wajahku.

Aku masuk ke dalam selimut. Tidur di belakangnya.  Wajahku berada di tengkuknya sedangkan tangan  kirimu merangkulnya. Kucoba tangan kananku untuk masuk ke sela-sela tubuhnya dan bantal agar dia menggunakan tanganku untuk penambah bantalan. Riani bergerak menyamnkan posisinya untuk merapat ke tubuhku. "Kenapa? Kok tiba-tiba mau tidur? Tadi katanya lapar?"

Aku mendengar isakan yang seikit lebih keras dari sebelunya. "Apa ini tentang kita?" Aku merasa kagok  ketika mengatakannya. "Makanan sudah siap."

"Ceritakan sesuatu tentang apapun yang kamu ingin ceritakan padaku." Suara Riani terdengar serak. "Sesuatu yang kamu pikirkan sekarang."

Aku menghela napas menghadap ke langit-langit. "Kamu pernah menonton film yang berjudul 'Before Sunrise'?"

"Belum, film mana?" tanya Riani. Dia berbalik badan untuk menghadapku. Tapi tetap dia tidak mau menunjukkan wajahnya. Jadi dia membenampan wajahnya di ketiak dan dadaku. Tangan Riani menyentuh badanku.

"Austria." Tubuh Riani terasa hangat. Aku baru menyadari jika dia hanya mengenakan kaos dan celana pendek. "Ada ungkapan yang membuatku berpikir. Bahwa semesta membagikan porsi emosional yang terus berputar dan berulang."

Tangan Riani berkelana di perutku. Aku merasakan kehangatan dan bukan hanya karena selimut yang menyelubungi tubuh kami yang menempel tanpa jarak. Aku membiarkan tangannya yang menyetuh bagian klimaks tubuhku, biar pun aku sempat terkesiap pada sentuhan pertamanya.

"Lanjutkan Danu." Riani mencium dadaku. Aku menggelenyar.

"Ukapan itu kurang lebihnya seperti ini." Aku menarik napas juga menjauhkan tangan Riani dari bagian rawan itu. Aku mulai merasa sedikit tidak nyaman. Memindahkannya untuk menyentuh dadaku. "Besok dan semua hari yang tersisa untukmu akan persis seperti hari ini. Itu terasa sangat membosankan, tidak memiliki gairah baru, tidak ada pikiran baru, tidak ada perjalanan baru. Dan ketika kamu mati, kamu bernar-benar terlupakan." Aku menghela napas juga mengusap punggung tangan Riani.

Riani mendesah dan menatap langit-langit. "Apa aku tidak dapat berharap lebih baik dari hal yang membongakkan itu?"

"Sangat disayangkan." Aku mengusap rambut Riani yang terasa sedikit lembab. "Lagi pula untuk apa menyia-nyiakan waktu 24 jam hanya untuk berharap?"

Riani tidak merespon. Mungkin dia berpikir tentang apa pun itu yang mengganggu pikirannya saat ini. Aku tidak ingin mendesaknya. Terbesit dipikiranku aku tidak ingin menjadikan diriku sebagai pria pengkhayal, berupaya menjadi pahlawan yang mampu mengatasi semua masalah.

Dia menghela napas. "Harusnya memang tidak. Tapi bagaimana lagi caraku untuk melawan?"

"Jika kamu berpikir bahwa menggunakan bantalan bra sebagai kamuflase ukuran payudara. Itu terlalu sederhana, buddy." Riani bangkit dan dia menampar bibirku. Aku awalnya tersenyum tapi alu tidak bisa menahannya dan malah berubah jadi tawa.

"Kita tadi bicara serius loh." Aku menarik tubuhnya agar kembali merebahkan kepalanya di dadaku. Dia langsung menurut juga menggerutu. "Aku ragu  kalau kamu sebenarnya ingin mengejek. Kalau yang aku punya tidak sebesar milik Arestia."

Aku tertawa. Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan ukuran tapi karena Riani menyinggung itu, dia salah besar. "Menurut kamu?" ledekku.

Riani bangkit memanjat tubuhku. Memosisikan lututnya berada di kanan-kiri tubuhku. Dia menarik tanganku ke samping, merentangkannya. Wajahnya sangat dekat dengan hidungku. Saat aku hendak memagut bibirnya dia menjauh. "Ayo makan," tangannya mengusap dadaku lalu dia turun dari ranjang.

Aku melihatnya berjalan keluar kamar juga menghapus sisa air matanya. "Ayo Danu," serunya melihatku masih terpaku di balik selimut sebelum akhirnya dia menutup pintu dari luar.

Hingga beberapa detik kemudian aku berusaha menenangkan diri dari ketegangan singkat. Aku pun menyibakkan selimut lalu berjalan keluar. Saat itu keluar kamar Riani sedang di dapur untuk mengambil nasi untukku dan untuknya yang dia pindahkan di piring. Dia sempat memanggil sebelum aku akhirnya duduk di kursi meja makan, sekadar bertanya mengenai porsi makanku.

Tidak lama Riani bergabung. Dia duduk dan langsung menatapku dengan tatapan aneh dan mencurigakan. "Apa yang salah?" tanyaku.

"Kamu pikir aku lebih nafsu memakan masakan kamu daripada dada kamu yang terbuka itu?" seru Riani menghidangkan sepiring nasi di depanku.

Aku menunduk untuk melihat tubuhku. Aku mengusap lengan merasa tidak kikuk. Aku mendesis sebelum akhirnya bangkit menuju kamar susan untuk mengambil kaos dan juga menyempatkan mencuci tangan di wastafel cuci piring. "Aku suka lukisan kamu." Aku tiba-tiba teringat pada lukisan yang di simpannya di dalam kamar yang baru dia lukis tadi sore.

"Oh, iya aku lupa itu ingin membicarakanya padaku." Aku berbalik dan mendapati Riani sudah mulai untuk makan. Melihat betapa lahapnya dia makan membuatku menyunggingkan senyum. "Mengerikan tapi masih bisa dimakan."

"Aku mengakui itu, Kalista juga memujiku dengan ungkapan negatif." Aku langsung duduk. Dan mengambil satu ayam untuk dipindahkan ke piring juga menuangkan saus barbeku di atas ayamnya. "Seharusnya untuk ayam goreng tepung lebih nikmat jika pakai ayam segar daripada ayam beku. Tapi karena adanya cuma ayam beku ya jadinya seperti ini."

"Mas Agastya juga pernah memasak untukku." Dia berhenti mengunyah ketika mengatakannya. Aku teringat untuk mengambil minum. Aku langsung bergerak dan Riani melanjutkan ceritanya. "Rasanya jauh lebih baik daripada masakan kamu, biar itu hanya olahan mie. Tapi setelah dia bilang bahan yang dia masak aku langsung menyesal memakannya dan perutku merasa mencelus."

Aku kembali dengan membawa dua gelas dan satu botol air minum dingin. "Maksudnya?"

Aku menunggu sampai Riani berhenti mengunyah. Aku gunakan jeda itu utnuk menuangkan minum ke dalam gelasnya, lalu melanjutkan makan.

"Chapaguri. Kamu tahu? Mie instan Korea." katanya. "Masakan olahan mie instan yang terkenal di film Parasite. Tapi suamiku mencampurkan mie goreng instan Indonesia dengan potongan dadu daging sapi yang dia beli seharga dua ratus ribu."

Aku tertawa. Riani membirakn wajahnya yang masih tercengang membayangkan mie instan yang hanya 2.500 rupiah dicampurkan dengan daging sapi seharga dua ratus ribu itu. Tapi dari cerita itu aku tersadar satu hal. "Kamu sadar tidak kalau selama kita bertemu kamu membicarakan tentang suamimu sekarang berbeda dengan ketika membicarakan Danu."

Ekspresi Riani langsung berubah seketika. Senyunya merosot dan tatapannya melemah. Jujur aku merasa menyesal telah mengatakan itu. "Kamu ingin tahu apa yang aku pelajari selama menjalani pernikahan?"

Aku mengangguk. "Dengan Mas Agastya?"

Riani menghela napas. "Dia pria yang sempurna. Bahkan aku tidak melihat itu pada Danu. Mas Agastya adalah orang yang membuatku memilih bahwa dirinyalah yang membuatku memilh untuk berjuang bersamanya menjalankan roda pernikahan."

Aku makan sesuap nasi lalu menggigit ayam saus barbeku dalam diam dan tidak berani menatap Riani. "Sekarang kamu membuatku kacau." Setelah aku menelan makanan dari mulutku. "Kamu berusaha keras untuk tidak membicarakan itu. Kamu berusaha menyingkirkan agar kita tidak membahasnya. Sedangkan aku berusaha mendesakmu untuk mengatakannya padaku. Maksudku, aku minta maaf Riani."

Riani mendesis. Gerakannya terhenti ketika hendak menggigit ayam goreng. "Aku juga berpikir begitu, Danu. Tapi kita bertemu di waktu yang salah. Dan aku tidak ingin salah memosisikannya."

Kami terdiam untuk beberapa saat hingga akhirnya Riani melanjutkan. "Cukup satu menit untuk bisa melakukan sebuah kesalahan besar."

"Yah, aku setuju. Tapi, apa itu?" Aku menggeleng. "Kita bisa bicarakan ini nanti. Aku tidak ingin makan tengah malam ini menjadi sedu sedan."

"Yah, aku setuju. Persetan dengan semua itu." Sunyi sejena kemudian Riani tertawa dan aku juga. "Kalau begitu, aku ingin tahu film favoritmu. Maksud aku, dari ungkapan yang tadi kutip menandakan bahwa kamu suka menonton film."

"Untuk mengisi waktu luang di indekos. Kadang aku menyewa film dan berlangganan beberapa situs reami streaming film." Kemudiam aku berpikir. "Waktu kecil aku menyukai film Harry Potter."

"Berarti waktu itu kamu gay." Aku mengernyit. Riani melanjutkan makannya kembali. "Pantas saja aku merasa janggal dengan kamu."

"Maksud kamu?" Aku sampai berhenti untuk mengunyah. "Kamu pikir aku gay?"

Riani mengangguk. "Akui saja Danu. Aku tidak masalah kalau sudah melakukan pertaruhan dengan pria gay."

"Astaga, dari mana teori ini muncul." Kuleetakkan ayam di atas piring karena sudah tidak berselera lagi.

"Susan," ujarnya, wajah Riani terlihat tenang dan dia masih terus melanjutkan makan.

"Menyukai film Harry Potter tidak akan membuatku jadi gay," protesku. "Semua serial filmnya sama sekali tidak menyinggung soal LGBT."

"Aku dan Susan percaya." Riani menyantap satu suapan nasi terakhirnya. Kemudian aku harus menunggu dia melanjutkan saat dia mengunyah. Dia mengambil minum setelah berhasil menelan makanannya. "Susan pernah punya teman laki-laki dan di kamarnya tertempel foto Daniel Radcliffe. Maksud aku kenapa bukan Emma Watson."

"Terus jika aku memasang foto Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, atau pembalap Motor GP di kamarku, kamu akan menganggapku gay?" Tanganku terbuka di atas meja. Aku bahkan tidak menyangka Riani menyangkaku gay hanya karena film Harry Potter. Aku harus membela harga diriku. Seban Riani menyinggung tentang pertaruhan kami.

"Baiklah, terserah." Riani meletakkan tulang ayam di piring dan dia mengambil satu ayam terakhir. "Kamu tetap gay."

"Siapa lagi yang setuju dengan teroi murahan itu?" Aku menghembuskan napas. Karena sudah pasti argumenku tidak ada pengaruhnya. Semakin aku membela maka semakin aku terperosok.

"Waktu aku tanya Mas Agastya dia juga setuju." Aku memutar bola mata. Sedangkan Riani masih bersikap santai seperti tidak bersalah jika aku tersudutkan saat ini. "Aku tanya ke dia apakah dia suka film Harry Potter. Dia bilang, 'aku bukan gay." Terbukti bukan?"

Aku menyerah dan tidak mau melanjutkan perdebatan yang tidak masuk akal ini. "Kalau kamu suka film apa?"

"Mr. And Mrs. Smith." Dia mencocolkan ke saus barbeku. Aku sudah selesai makan biarpun nasi dan ayamku masih bersisa sedikit. "Film yang bertema perselisihan suami-istri. Aku juga suka Marriage Story."

"Revolutionary Road?" Riani mengernyit. "Itu film apa?"

"Kamu bilang yang bertema perselisihan suami- istri?" Aku berjalan ke wastafel untuk membawa piring kotor. "Itu juga sama." Aku membuang sisa makanan ke kantong sampah.

"Oke aku masukkan ke dalam daftar." Riani sudah menyelesaikan makannya dan bergabung denganku. "Bagimana dengan 'Serial Spinning Out'." Riani kembali untuk mengambil piring kotor yang lain.

"Aku sudah menonton. Aku kan sudah bilang berlangganan situs resmi." Saat setelah aku mencuci tangan, sebenarnya aku tidak suka serial. Secara subjektif. "Ada sikat gigi baru?"

"Di tempat di mana kamu menemukan bantalan bra." Riani tesibukkan untuk mencuci piring.

Aku tertawa geli dengan respon dia. Sebelum dia naik pitam aku masuk ke dalam kamar. Setelah sikat gigi aku langsung keluar. Aku melihat Riani sedang mencuci wajan penggorengan.

Menoleh saat aku membuka pintu kamar mandi. "Kamu mau tidur?" tanyanya.

"Belum ada niat untuk tidur. Hanya ingin gosok gigi," jawabku. "Tapi kalau kamu mau tidur setelah ini aku tidak masalah."

"Bagaimana kalau kita menonton film?"

"Setuju. Kamu yang pilih filmnya." Aku langsung masuk ke kamar mandi.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro