SEPULUH

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[ 20.04 -- 20.41 ]

Aku membanting pintu di depan wajahnya. Lalu aku menyandarkan punggung ke pintu. Semoga itu cukup menampar atas kesalahan yang pernah dia lakukan. Bagaimana bisa Danu menyimpan cerita itu kepadaku. Aku sudah memberikan semua ceritaku untuknya. Agar dia percaya aku bukan wanita rendah. Awalnya memang kami terlalu mengharapkan banyak hal. Agar dia bisa menjalin pertemanan ini bukan karena hasrat. Sekarang aku merasa ini telah usai. Aku dan Danu.

Danu berusaha mengetuk tapi dia tidak mengatakan apapun. Aku mengabaikannya. Sampai akhirnya aku mendengar suara teleponnya berdering. Dia tampaknya menjauh dari pintu. Aku merasa tidak karuan setelah itu. Kejadiannya begitu cepat. Dan aku langsung marah begitu besar kepada dia. Tidak aku sangka aku bisa seperti ini.

Bukan berarti akan muncul gagasan bahwa aku akan jatuh cinta atau sesuatu yang membongak kepada Danu. Aku hanya saja tidak pernah merasa bersama pria begitu nyaman dan menjadi diri sendiri. Sebelum lewat dari itu aku tidak beranggapan bahwa menjadi diri sendiri akan mendatangkan dampak positif. Tetapi bersama Danu menunjukan impresi berbeda. Karena dia memahami setiap perkataanku, dia pendengar sejati, dan dia memahami selera humorku, tidak ada masalah akan itu. Aku merasa jika seluruh hidupku disukai oleh Danu, termasuk kepribadianku, walaupun kata suka itu hanyalah suka, yang katanya secara harfiah. Kata suka tetaplah menjadi kata suka, tidak meminta atau mengharapkan sesuatu.

Aku merosot ke lantai. Satu hal kecil yang telah Danu lakukan telah menyakitiku. Aku tidak bisa merasakan apapun selain kekecewaan. Hal yang aku rasa itu nyaman dan menjadi diri sendiri sekarang telah berakhir. Aku tidak peduli bagaimana dan kenapa itu bisa dilakukan pada Danu. Karena hal yang tidak bertanggung jawab itu telah merenggut putriku, merenggut semua cahaya, dan aku tidak bisa mengatakan bahwa hidupku baik-baik saja setelahnya. Biarpun Danu dan Qiara adalah dua kejadian yang berbeda namun aku tahu siapapun korbannya akan berdampak pada keadaan yang aku alami.

Aku bangkit. Bejalan tertatih-tatih menuju bufet, setelah aku merasa gejolak amarah mereda. Aku membuka setiap laci yang aku ingat menyimpan foto Qiara. Di bufet ruang tamu hasilnya nihil. Aku beralih masuk ke kamar Susan. Aku membuka setiap lemari. Ada tiga lemari di sana. Lemari pertama hanya berisi perlengkapan mandi. Lemari kedua adalah sisa baju Susan, tidak muat untuk dia dibawa ke indekos waktu itu, aku membuka laci yang ada hasilnya hanya perhiasan kecil milik Susan. Aku berganti ke lemari ke tiga, di sana tersimpan pakaian Mas Agastya, semua pakaian yang dia bawa dari Bali dan tidak pernah dia ambil kembali, pakaian yang kesehariannya dia pakai dulu ketika memutuskan tinggal bersamaku, aku membuka laci hanya menemukan bantalan bra yang aku selipkan tadi sore agar Danu tidak menemukannya.

Aku berkeliling berharap menemukan sesuatu yang menunjukan itu milik Qiara, atau sesuatu yang mendorongku untuk berhasil mengingatkan kapan terakhir aku menyimpan foto Qiara. Kamar Susan nyaris tanpa foto yang terpajang di dinding. Hanya ada satu foto berukuran 4R di atas sandaran tempat tidur. Itu adalah foto Susan bersama pacarnya yang waktu itu pernah berkunjung ke rumah. Kata Mas Agastya waktu itu, "Kasanova". Aku mengambil foto itu lalu berlari menuju kamarku. Aku membuka laci nakas sebelah kiri tempat tidur untuk menyimpan foto Susan, dari sanalah aku menemukan foto Qiara. Aku mengambil foto yang terbingkai pigura duduk bermotif boneka beruang dan rerumputan di tepiannya.

Aku merangkak naik ke tempat tidur, terus memandangi foto Qiara. Aku merasa ada benda keras mengganjal di pahaku. Setelah aku sibak selimut ternyata terdapat jam tangan Rolex. Ini milik Danu. Aku mengambilnya. Sekarang foto Qiara di tangan kiri dan jam tangan Danu di tangan kanan. Aku menimbang dengan tanganku. Mereka tidak pernah bertemu satu sama lain tapi aku merasakan bahwa kesalahan Danu yang merenggut Qiara. Apa yang terjadi pada Qiara tak lain adalah orang yang melakukan kesalahan sama seperti Danu pernah lakukan. Aku meletakan kedua benda itu di tempat tidur. Memandangnya secara bergantian.

Beberapa detik kemudian aku menyadari jika keduanya menghilang dari kehidupanku karena kesalahan terbesarku. Aku lalai menjaga Qiara hingga dia jauh dari pandangan, aku terlalu membenci seseorang yang telah merenggut anakku dan aku lampiaskan kepada Danu. Bahkan aku tidak tahu bagaimana kondisi orang yang menjadi korbannya. Aku memutus cerita Danu tadi karena kelewat marah.

Aku menoleh ke arah ruang tamu. Kanvas dan standar lukis membelakangi aku. Mendadak Aku tertarik untuk menyelesaikan lukisanku. Jika mungkin aku bertemu dengan Danu lagi aku akan memberikan kepadanya. Karena lukisan ini untuknya. Aku berjalan menuju ruang tamu membawa dua benda yang tadinya aku letakkan di atas tempat tidur. Aku meletakkan foto Qiara di atas bufet. Lalu aku berjalan menuju kursi. Sebelum bersiap untuk memegang palet dan kuas aku mengusap jam tangan Rolex itu, seolah aku mengusap tangan Danu seperti beberapa menit yang lalu.

Aku meletakkan jam tangan Danu di samping palet di meja ruang tamu. Mataku masih tertuju ke sana saat aku mengambil kuas dan palet. Tatapanku berganti pada kanvas. Mata ini menjelajahi setiap sudut warna yang menempel. Langit jingga, matahari setengah tenggelam yang pantulan cahayanya memenuhi lautan. Mulanya aku ingin melukiskan rerumputan liar pada bagian depan namun kemudian aku berpikir, aku tidak ingin memberikan syarat akan makna dalam di lukisan ini. Aku ingin sesuatu yang mengingatkan bahwa aku dan Danu pernah bertemu. Aku segera memulai.

Aku tidak terlalu mendetailkan setiap guratan yang aku buat, jadi aku memberikan garis tepi pada apapun gambat yang aku buat. Hingga lukisan ini aku nyatakan telah lesai. Aku tidak memberikan judul sampai aku berhasil bertemu dengan Danu kembali. Mungkin aku bisa memperbaiki hubunganku dengannya. Aku teringat kalau aku mendapatkan nomor Danu dari aplikasi ojek. Dia menghubungiku melalui whatsapp. Aku segera masuk ke kamar dan mencari ponsel.

Sama sekali tidak ada ingatan kapan terakhir aku meletkkan ponselku di rumah ini. Bahkan sejak Danu menghalauku dari pinggir jalan menuju rusun, aku tidak mengingat ketika itu aku memegang ponsel atau tidak. Hingga aku mencoba mencari di keranjang pakaian kotor yang terakhir aku pakai di pemakaman. Dan ternyata ponselku ada sana di saku celananya.

Mulanya aku mencoba menyalakan. Tapi layarnya tetap hitam pekat. Aku mengusap lapisan anti gores yang pecah itu berharap ada perubahan, tapi segala usahaku adalah sia-sia. Aku mencoba menghubungkan dengan kabel cas, ponselku tidak menunjukan apapun, layarnya tidak menyala. Aku menghela napas. Aku juga melakukan sedikit pukulan dan tepukkan di bagian depan dan. belakang ponsel, tapi tetap saja.

Aku menyerah lalu meletakkan dengan kasar ke meja kerja. Getarannya membuat foto Susan jadi sedikit merosot. "Maaf," kataku sambil membenarkan posisinya.

Melihat foto susan aku jadi teringat hendak membereskan barang-barangnya. Aku mendatangi kardus-kardus sambil melepas celemek. Aku menyampirkan celemek di atas kursi meja kerja lalu duduk di lantai. Tanganku merogoh seikat kertas bertuliskan 'skripsi' dengan spidol hitam besar yang ditulis tidak rapi. Aku membuka setiap lembarannya, banyak coretan di sana-sini. Semua lembarnya hampir selalu ada coretan bolpoin berwarna merah. Ada sekitar 25 lembar, kalau aku tidak salah hitung.

"Jadi dia sempat mengerjakan skripsi."

Aku mengambil ikatan ketas lainnya. Kali ini hanya berisi makalah dan artikel ilmiah. Setelah selesai aku menumpuknya di atas tumpukkan skripsi. Kemudian aku melihat kertas-kertas lain, aku membacanya sekilas tapi tidak dapat dipahami. Semua bertuliskan dalam bahasa ilmiah di judulnya tertulis faal ada lembaran lain bertuliskan anatomi. Semasa kuliah aku hanya menghitung uang fana. Jurusan yang aku ambil akuntansi sedangkan Susan Kedokteran Hewan. Aku lansung menumpuk ke yang lain. Percuma aku tidak memahami apapun.

Aku menghela napas. Pekerjaan ini pasti membutuhkan waktu lama. Aku tidak mungkin semalaman mencari, jika memang benar perkataan teman-teman Susan stres karena mengerjakan skripsi, nyatanya dia telah melakukannya. Aku juga menemukan buku bimbingan skripsi sudah terisi dengan tanda tangan dosen pembimbing sebanyak dua kali. Jika aku tidak menemukan di sini, lantas kemana lagi aku harus mencari?

Aku beridiri, berjalan menuju pintu kamar untuk menyambar sweter lalu mengambil dompet di atas nakas, bermaksud untuk jalan-jalan santai melepas penat. Semakin lama aku berada di dalam rumah membuat pikiranku semakin berbelit-belit. Aku membuka pintu sedikit sambil memakai sepatu santai.

Dari dalam aku mendengar gelak tawa dari sekumpulan Ibu-ibu yang tadi sempat berkunjung ke rumah. Ketika aku keluar, aku melihat mereka sedang duduk-duduk depan rumah salah satu dari mereka. Hampir empat tahun aku tinggal di rusunawa aku selalu lupa mengingat nama-nama mereka. Aku tidak pernah menyebut nama mereka, juga tidak pernah terlibat dalam satu kegiatan yang sama bersama mereka.

Saat aku menutup pintu, suaranya bergema, mereka langsung menoleh dan berebut menyapu.

"Riani!" suara serak, kalau tidak salah namanya Bu Yanti. "Mau ke mana?"

"Ambil barang di mobil," kata aku berdusta sambil melambaikan tangan menunjukkan bahwa aku mendengar suara mereka. Mereka pasti tidak pedulikan apakah aku berdusta atau tidak.

"Mau dibantu?" kata Bu Yanti lagi. "Joko, bantu Mbak Riani angkat barang di garasi." Dia berteriak entah kepada siapa.

Joko? Siapapun itu aku tidak pernah tahu orangnya. Entah itu anak Bu Yanti atau bukan, lebih tepatnya aku tidak peduli.

"Tidak usah Bu Yanti." Saya juga mau pergi belanja. Mungkin itu rencana yang bagus untuk melepas kemeranaan ini.

"Oalah, iya."

Aku segera bergerak sebelum mereka menanyaiku sesuatu lagi. "Mari Ibu-ibu." Mereka tersenyum kepadaku dan aku segera menuruni tangga. Saat masuk ke garasi aku lupa kalau aku tidak membawa kunci mobil. Jadi aku putuskan untuk jalan kaki.

Aku ingat ketika memegang brosur mengenai penawaran harga sewa rusun di Kalipuro, aku melihat fasilitas lain yang disajikan yaitu hanya beberapa menit perjalanan terdapat pusat perbelanjaan Banyuwangi Roxy Square. Mungkin aku sanggup berjalan menuju ke sana. Udara tidak terlalu dingin malam ini tapi cukup sejuk. Aku sungguh bisa menikmati udaranya. Biarpun jalanan ramai tapi aku merasa hatiku mulai tenang. Seperjalanan ke sana aku baru menyadari jika aku tidak punya uang. Kartu ATM satu-satunya tertelan mesin ATM. Aku sangat menyesal tidak menuruti Mas Agastya untuk mengurus uang elektronik atau minimal megurus mobile banking. Dan perjalanan itu belum juga berakhir. Aku sudah berjalan kurang lebih sepuluh menit.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro