TIGA PULUH DUA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[ 10.26 -- 10.45 ]

Berkali-kali aku memeriksa waktu di layar ponsel. Aku merasa sebagian dari tubuhku mengatakan bahwa ini bukan panti asuhan yang ditunjukan Kalista. Tapi yang sebenarnya yang terjadi aku sudah menunggu di beranda depan. Seorang wanita paruh baya bernama Bu Toni, beliau mengatakan bahwa Danu sedang pergi bersama salah satu anak yang tinggal di panti pergi ke Puskesmas. Dan sebagian lagi tubuhku bertanya apa yang dilakukan Danu di panti asuhan. Aku memerikasa layar ponsel lagi untuk menilik waktu, alih-alih memastikan apakah ada pesan masuk. Mungkin Mas Agastya berusaha mencari aku atau apalah itu.

Aku menghela napas. Mungkin yang akan terjadi jika aku bertemu dengan Danu di sini, reasi pertamanya adalah terkejut, mengusirku, atau sekadar diam tanpa bicara. Maksud aku siapa yang tahu pikiran pria seperti apa. Mereka bisa saja bertindak tanpa peduli perasaan orang lain, atau mereka bisa saja bertingkah sepeka mungkin, atau Danu yang akan aku temui adalah pria yang berbeda dari semalam. Maksud aku segi caranya bersikap.

Sampai akhirnya tidak terasa aku telah menghabiskan sepuluh menit dengan diam memandang ke segala arah sekadar mencari kesibukkan. Petugas panti di sini tidak bisa menjamu kedatangan aku. Aku menghargai itu, lantaran aku datang pada jam-jam sibuk. Tiba mobil putih berhenti di halaman rumah panti. Aku langsung berdiri saat pintu tengah terbuka. Aku mengenali sepatu Danu. Karena itu yang pertana terlihat. Kemudian ada tas bergambar kartun princess terselempang di bahu. Danu masih membelakangi.

Beberapa detik kemudian Danu berjalan sambil menggendong anak perempuan yang malas menegakkan badan dengan satu rangkulan lengan. Tangan lainnya penuh kantong keresek. Aku segera membantu mengambil alih barang itu.

Danu menatap aku dengan bibir membisu untuk beberapa saat. Dia seolah berusaha mencermati. "Kamu? Kenapa bisa sampai di sini."

"Jangan marahi Kalista. Aku yang memintanya memberi tahu," sergahku. Kami beriringan berjalan masuk menuju ruang depan.

Aku memandangi lantai saat Danu menurunkan gadis kecil itu. "Apa yang kamu lakukan di sini?"

Danu berjongkok berniat untuk mengajak bicara gadis kecil itu. "Olivia, dia teman Ayah. Namanya Budhe Riani."

Ayah? Dahi sampai berkerut memikirkan satu kata itu. Walaupun aku sedikit kecewa Danu memperkenalkan aku dengan sapaan Budhe.

"Hai, Olivia," kataku membungkuk berusaka telihat ramah. Gadis itu malu-malu ketika mencium tanganku.

"Yasudah masuk, cari Bu Iwung, minta bantu cuci kaki," kata Danu kepada Olivia sambil mengusap pipi gadis itu. "Ini bawa." Danu memberikan tas ungu bergambar princess.

Olivia lalu berjalan masuk. Tatapan kami sama-sama tertuju pada gadis kecil itu sampai akhirnya menghilang masuk melewati kelambu. Ketika Danu berbalik secara mendadak aku sempat terkesiap. "Ada apa?" tanyanya sinis.

Tepat seperti dugaanku. Danu yang ramah kini telah berubah. Aku sudah siap dengan perubahan itu. Lantaran dia pasti kesal bertemu dengan aku lagi setelah tadi pagi dia pergi tanpa berpamitan.

"Memangnya kenapa?" Saat itu Danu sudah berjalan menuju kursi kayu tersusun berjejer membentuk huruf L mengikuti dinding. Aku mengikutinya dan memilih duduk sedikit jauh darinya, di sisi ujung lain. Aku meletakkan kantong keresek pada meja di depanku.

"Bagaimana kamu bisa bertemu dengan Kalista?" tanya Danu mengerutkan dahi. "Apa dia cerita soal panti ini saat di pesta?"

Aku menggeleng. "Aku datang ke kantor kamu, dan Kalista yang menemuiku, katanya kamu ambil cuti dan pergi ke Surabaya."

"Terus bagaimana bisa dia cerita soal tempat ini? Kamu memaksanya?" Danu mendesis. Memiringkan kepalanya dan menurunkan tatapannya ke pakaianku. "Aku meminta merahasaiakannya. Oh, apa kamu memang mencariku?"

"Jelas aku mencarimu." Aku memangku tas kerjaku setelah menyimpan ponsel ke dalamnya. "Bagaimana bisa aku tidak ingin menemui kamu lagi. Aku sampai datang ke rumah Chris meminta bantuan tempat kamu kerja atau indekos kamu."

"Kenapa kamu lakukan itu? Apa ada masalah?" Danu mungkin mengetahui aku menyembunyikan sesuatu. Aku tahu karena melihat keraguan dari tatapannya yang menyiratkan keprihatinan.

Pandangan kami teralih pada Olivia yang baru saja bergabung. Dia sudah berganti baju. Saat di depan lutut Danu dia melompat kepangkuan Danu. Danu melirih dan terkesiap, sepertinya lutut Olivia membentur paha Danu. Aku tidak bisa mendengar apa yang dibisikkan Olivia ke telinga Danu. Tapi kemudian Danu mengeluarkan ponselnya. Dia tersibukkan menekan-nekan layar ponsel baru kemudian memberikan kepada Olivia. Suara musik terdengar.

"Suamiku datang ke Banyuwangi, aku bingung harus melakukan apa. Jadi aku menemuimu. Aku juga cuti kerja." Saat itu Olivia berganti posisi menjadi tiduran, menjadikan paha Danu sebagai bantal. "Eh, dia siapa kamu? Sepertinya kalian akrab sekali."

Sebenarnya aku menunggu Danu menceritakan tentang Olivia. Tapi, karena dia terlalu sibuk mempertanyakan kedatangan aku. Jadi, ini saat yang tepat untuk mengalihkan topik.

"Kamu tidak ingat sesuatu?" Aku memicingkan mata memahami kalimat Danu.

"Astaga!" Mataku terbelalak. "Danu? Jadi dia anak dari wanita berkebaya ungu itu?"

"Hem," gumam Danu. "Aku jadi terikat dengan dia sejak kejadian itu."

"Kamu tahu ayah kandungnya?" tanyaku. Maksud aku, seharusnya bukan tanggungannya menjaga anak ini jika sebenarnya masih mempunyai ayah. Tapi, saat Danu menyebut dirinya Ayah aku jadi sedikit muncul stigma bahwa Danulah ayah yang sebenarnya.

"Olivia juga tahu ayah kadungnya." Tangan Danu mengusap lutut Olivia. "Sayang, siapa nama Papa Olivia?"

"Danuuu!" seru Olivia. Bibirnya sampai maju saat menyebutkan itu.

"Hey, nama Papa kok?"

"Antoni-yo."

Aku tertawa geli. Bibirnya juga sama seperti ketika menyebut nama Danu.

"Natal tahun lalu dia bertemu dengan Ayahnya," jelas Danu. "Dia sudah memiliki keluarga baru. Ya, ceritanya mirip dengan Om Rifan. Itulah alasan kenapa aku juga ingin melakukannya ke wajahnya."

Aku mengangguk sekali. Padanganku mengarah ke Olivia. Danu sangat berhati-hati ketika mengatakan sesuatu. Seingat aku, Danu menyebutkan si berengsek itu dengan keparat.

"Tapi, Papanya berjanji akan datang setiap Natal."

"Kamu tidak ada niat untuk mengadopsinya?" Aku ragu dengan pertanyaanku. Jadi setelah terlontarkan aku langsung menggigit bibir bawah.

"Aku belum memenuhi syarat, belum punya rumah, dan belum menikah," jawab Danu. "Jujur aku sangat ingin."

"Kalau begitu menikahlah! Beli rumah juga."

Danu menggeleng lalu sedikit tertawa. "Semudah itukah?"

"Kamu pernah menonton film Supernova?" Aku tiba-tiba teringat dengan percakapan dalam film itu yang menyebutkan mengenai pernikahan.

"Sepertinya tidak asing." Danu melirik Olivia yang menguap. Jadi dia membantu memegangi ponsel agar Olivia tidak terlalu dekat menatap layar. "Aku sempat membaca novelnya."

"Kata sempat secara harfiah belum selesai baca," tukasku.

"Semua orang suka buku itu." Danu mengusap rambut Olivia dengan tangan kanan yang terlihat sedikit memar.

"Semua orang yang rajin wira-wiri ke Kamus Besar Bahasa Indonesia."

"Kamu sendiri bagaimana?"

Aku menggeleng. "Aku sudah menonton filmnya, tapi kalau membaca novelnya aku tidak ada waktu untuk itu."

Danu tertawa ringan. "Tapi membaca riwayat pesan suami kamu sempat, ya?"

Aku ikut tertawa. Dia ternyata mengingat kejadian itu. Ya, jika bukan karena kejadian itu, aku tidak akan berada di sini. Bersikeras untuk menemuinya alih-alih kabur dari Mas Agastya.

"Bukannya itu yang membuatmu ada mencariku sampai di sini. Kamu kabur dari suamimu dan berharap bahwa masalah selesai." Kalimat Danu tepat sasaran. Aku merasakan sesuatu menancap di dada.

"Karena sudah tidak ada kata maaf untuk aku lagi." Aku mengakat alis dan mendesis.

"Ehm... kata maaf? Beruntung aku pernah mendengar ini. Kalau kata Ratu Miranda—bunya Princess Sofia, serial kartun Disney kesukaan Olivia—pernah mengatakan bahwa meminta maaf adalah awal baik untuk memulai sesuatu. Kamu hanya perlu mengatakannya, kalau itu sulit buatmu maka tuliskanlah, jika itu bukan gayamu maka lakukanlah." Danu menunduk untuk melihat wajah Olivia, dan gadis kecil itu sedang menahan kantuk. "Kalimat terakhir itu tambahan dariku. Maksudku, kamu hanya perlu memulai."

"Bagaimana kalau hasilnya gagal. Maksud aku tidak akan ada masa depan lagi."

"Crown Princess Elena of Evalor pernah mengatakan kepada adiknya, tujuan dari percobaan adalah untuk mengetahui kekurangan. Dan dengan mengetahui kekurangan adalah cara terbaik untuk mempermudah mengatasi kesalahan."

"Baiklah, sekarang pembicaraan kita sudah seperti hidup di negeri dongeng Disney yang penuh konspirasi." Aku terdiam beberapa sesaat berikutnya kalimat ini muncul. "Jadi, apakah kamu pernah merasa tersesat atau memiliki perasaan bahwa kamu adalah bagian dari bagian sesuatu yang besar layaknya kamu spesial?"

"Maksudnya? Aku tidak tahu inti dari pertanyaan kamu." Danu mengusap kelopak matanya. Dia ternyata juga menahan kantuk.

"Danu, ayolah, itu adalah sebuah pertanyaan yang seharusnya kamu jawab. Dari sanalah akhirnya kamu tahu arti penting dari menjalani pernikahan."

"Baiklah, jadi menurutmu aku harus menikah?"

Aku mengangguk.

Danu meringis tatapannya turun ke lantai. "Sebut saja pernikahan adalah ikatan komitmen. Jadi, kalau kamu memilih menjalani komitmen itu, seharusnya pilihan itu akan memberikan kebebasan, bukan?"

"Darimana gagasan itu muncul. Aku sangat tidak suka!"

"Aku menjawab dari pertanyaan kamu tadi. Kamu menyebutkan kata tersesat, dan siapa pula yang memaknai pernikahan sebagai wujud ungkapan kata salah jalan."

"Astaga, Danu," seruku. "Jadi kamu mengartikan kebahagiaan itu seperti apa?"

"Sederhana, tidak perlu dipikirkan hanya dirasakan. Di sanalah letak bahagia." Danu menyamankan posisi duduknya. "Apakah yang kamu sebut penikahan itu bahagia?"

"Ya," jawabku antusias. "Pikirkan tentang nasib dirimu. Kamu sekarang mungkin tidak sadar bahwa orang lain sedang mengatur hidupmu. Apa kamu berpikir merasa terbebas dari itu."

"Siapa yang kamu maksud? Kupikir dengan berakhirnya hubunganku dengan Arestia, sekarang aku bisa ambil alih diriku sendiri." Kali ini Danu mulai mengecilkan suaranya. Olivia mulai memejamkan mata. Tapi Danu tetap membiarkan ponselnya menyala.

"Kamu hanya saja belum sadar, Danu." Aku ikut berbisik. "Seseorang dalam dirimu menekan agar kamu sukses, memaksamu untuk melakukan segala hal yang menurutmu benar, dan menekanmu untuk membenci dirimu sendiri. Padahal kunci pernikahan adalah membangun semuanya bersama."

"Apa ini tentang kamu?" Danu memutar bola matanya.

"Astaga, ini tentang kamu." Suaraku terpekik karena harus menjaga volume suara di dekat Olivia yang tengah tertidur. "Secara teknis, kamu sudah melakukan itu semua."

"Jadi, maksud kamu aku seharusnya menikah tanpa memikirkan hal lain?" Danu mengerutkan dahi. "Baiklah, aku akan bertanya pada orang yang sudah berpengalaman, dan sudah menikah dua kali. Aku harus mengkonsultasikannya pada dia. Bagaimana rasanya menikah? apa itu mengerikan? Apa aku harus sembunyi atau berlari untuk menyerah atau semacamnya kalau aku merasa tersesat?"

Aku terdiam. "Oke. Aku mengaku kalah." Aku sampai mengangkat tangan. "Olivia baru minum obat?" Karena hanya hitungan menit Olivia bisa langsung tertidur. Dan aku juga teringat dengan Bu Toni menyebutkan Danu dan Olivia pergi ke Puskesma. Dan tidur adalah efek samping dari obat yang diminum Olivia, itu yang aku tahu saat dulu Qiara sakit.

Danu mengangguk. "Kalah secara harfiah menyerah. Itu bukan gayamu Riani."

"Salah," protesku. "Kalah secara harfiah kemenangan yang tertunda."

"Kemenangan hanya untuk mereka yang merayakan."

"Sudah sepatutnya kemenangan itu dirayakan." Aku mendesah.

Danu menggeleng. "Seharusnya kamu bisa menjawabnya, Riani." Danu mendesah. "Dengan demikian aku bisa berkata dengan jujur bahwa kamu dalah orang paling membingungkan yang pernah kutemui."

"Kamu jauh lebih membingungkan," sergahku.

"Apa itu?" Danu memberikan tatapn penyelidik.

"Pria kekar dengan setengah lusin otot perut, pernah bercita-cita jadi seorang wartawan, dan malah memilih jalan hidup diperantauan sebagai pekerja kantoran dan pebisnis minuman kopi, dan sekarang mempunyai anak bernama Olivia yang hidup di panti. Mestinya kamu bisa menikah dengan Arestia dan akhirnya memenuhi syarat untuk mengadopsi Olivia. Kamu bisa membayangkan hidup Olivia akan seperti apa jadinya. Dan ternyata kamu menganggap bahwa pernikahan itu mengerikan."

Danu tertawa. "Sadar atau tidak kita dalam fase saling menjatuhkan padalah kami sama-sama memiliki pikiran yang rumit."

Aku tertular dengan tawa Danu. Selalu seperti itu.

"Oke, kita lupakan soal itu," sergah Danu. "Yang terpenting aku sekarang sedang melakukan perubahan dalam hidupku. Aku mencoba menghadapi satu persatu dan melakukan hal tepat berikutnya."

"Apa kamu lupa akan hal ini." Aku berdeham. "Saat kamu menemukan jalan, ternyata hidup melemparmu ke jalan yang baru. Dan kamu belum siap mengahadapi jalan itu."

"Memang bukan waktunya untuk bersiap-siap lagi, Riani." Danu mengangkat dengan hati-hati tubuh Olivia. "Seperti kataku tadi aku hanya perlu menghadapinya."

"Kalau seperti itu aku pinjam kalimat kamu sebelumnya. Kamu bilang hanya perlu mengatakannya, kalau itu sulit buatmu maka tulislah, jika itu bukan gayamu maka lakukanlah. Jika kamu telah melakukan itu seharusnya masalahmu sudah selesai bukan."

"Oh, jadi ini yang kamu sebut jalan baru." Danu mendekap tubuh Olivia di badannya. Lalu dia berdiri. "Demikian jika kamu hanya memikirkan solusi tanpa perlakuan. Dan selamanya tentang apa yang kamu sebut masa depan, itu tidak akan pernah ada, Bagaimana kamu bisa tahu?"

Aku terdiam. Danu benar. Tersadar yang aku lakukan selama ini hanya berharap. Aku hanya terjerat dengan pikiran aku sendiri. Tidak akan ada yang berubah setelahnya. Dan aku mengharapkan perubahan.

"Satu poin kemenangan untukku lagi." Danu langsung berjalan masuk sedangkan aku masih terpatung.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro