TIGA PULUH TUJUH

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[ 13.47 -- 17.34 ]

Aku mencoba membuka mata. Tapi kelopak mataku tidak bisa diajak kerja sama. Aku berjalan terseok sambil membawa tas untuk mencari letak kursi yang sesuai dengan tiket yang kubeli. Hingga akhirnya aku berhasil menemukanya, setelah melewati beberapa gerbong. Saat aku menaruh tasku di atas dan langsung mengambil posisi duduk. Tubuhku terasa dingin bahkan sebelum merasakan AC di dalam kereta, mungkin ini adalah reaksi ketika kekurangan tidur.

Aku hanya tidur dua jam mungkin ketika di rumah Riani. Dan aku menempuh perjalanan berkali-kali menaiki taksi online.

Aku mengeluarkan ponsel. Teringat aku belum memberi kabar Ibu atas kepulangan kali ini. Aku mencari nomor kontak Ibu di riwayat cacatan panggilan. Aku segera menghubungi.

"Hallo, Bu?" kataku setelah panggilan terhubung. Tidak ada tanggapan padahal telepon sudah tersambung. "Ibu?"

"Hallo Danu?" sahut Ibu. "Iya, ada apa, Nak?"

"Danu, mau pulang. Ini lagi di kereta." Aku mengusap lutut.

"Iya, Nak." Ibu terdengar bahagia dengan kabar dariku. "Kira-kira kamu sampai di rumah jam berapa?"

"Mungkin jam 10 malam, Bu."

"Kabari Ibu kalau sudah di stasiun Gubeng. Kalau tidak ada taksi biar ibu minta Mas Dhani buat jemput kamu."

"Iya," sahutku. "Kalau begitu Danu mau tidur dulu, Bu, ngantuk."

"Hati-hati barang bawaan kamu," kata Ibu. Saat itu ada seorang pria yang baru saja duduk di kursi sampingku. Dia tersenyum padaku lalu meletakkan tas ransel di bawah.

"Iya, Bu, aman." Aku meringis. "Danu tutup teleponya yah?"

"Iya."

Aku langsung memutuskan sambungan. Aku mengubah mode suara menjadi getar. Takut ketika aku tertidur suaranya mengganggu orang lain sedangkan aku sendiri tidak sadar ponselku berdering. Aku menyimpan ponsel di saku dalam jaket lalu melipat lengan di dada dan memejamkan mata. Tidak lama aku sadar bahwa kereta mulai bergerak.

Tidak tahu kapan aku terlelap rasanya aku sudah tenggelam dalam mimpi. Membawaku pada waktu di mana pertama kali aku pergi ke Banyuwangi. Ibu yang mengantarku ke stasiun Gubeng.

Pagi-pagi buta saat matahari belum menampakkan diri. Jalanan kota Surabaya yang masih rehat. Kami naik motor di saat fajar sampai dari jalan Kertajaya ke Stasiun Gubeng. 10 menit perjalanan kami tempuh.

Ibu sudah menyiapkan sekotak nasi goreng sebagai bekal sarapan selama perjalanan kereta. Ibu juga mencarikan hutangan sebagai uang pegangan selama aku di Banyuwangi. Ayah tidak pernah tahu akan ini. Menurut jadwal akan memakan waktu tujuh jam lebih. Aku memeluk Ibu dengan sangat erat sebelum akhirnya masuk ke area kursi tunggu penumpang. Adegan yang dramatis. Air mata Ibu menggenang. Mungkin aku adalah anak pertama yang memilih kuliah di tempat yang jauh. Mas Dani bahkan memilih kuliah di Surabaya, juga Dini.

Ayah sempat tidak setuju aku kuliah di Banyuwangi biarpun aku mendapatkan beasiswa. Yang di khawatirkan Ayah adalah biaya hidup yang mahal. Harus menyewa indekos, belum juga biaya tranportasi, makan, dan lain sebagainya. Ayah tidak bisa memenuhi itu. Menggantungkan uang beasiswa saja mungkin tidak akan cukup. Tapi dari sanalah aku bertahan hidup. Aku memulai perjalanan hidup.

"Ibu harap kamu berubah, Nak, kalau kamu masih tetap ada di Surabaya, kamu lihat, jika tetap bergaul dengan teman-teman kamu. Dan lihat apa mereka bersikeras untuk kuliah?" kata ibu suatu hari sebelum aku berangkat ke Banyuwangi. "Ibu akan dukung kamu pergi ke Banyuwangi."

"Ayah tidak setuju aku kuliah di sana."

"Sebisa mungkin Ibu akan bantu cari hutangan untuk biaya hidup kamu di sana. Ibu akan bantu kamu."

Hanya membawa uang satu juta separuh aku gunakan untuk menyewa indekos dan sisanya aku gunakan untuk kehidupan sehari-hari. Aku juga mencoba kerja di tempat jasa fotokopi. Dan banyak hal yang agar aku bisa bertahan hidup. Aku juga mengusahakan mengirim uang untuk Ibu agar bisa melunasi hutang-hutangnya. Sampai akhirnya aku bisa jadi seperti itu. Banyak sekali perubahan dari hidupku.

Jika bukan karena doa-doa ibu aku tidak akan jadi seperti ini. Dia yang membukakan pintu selebar-selebarnya agar aku bisa menjadi sukses. Dan ini adalah langkah terakhirku. Aku harus bisa membuat ibu bahagia. Demi Ibu dan Adik-adikku.

Aku terbangun karena ponselku bergetar. Aku segera membuka. Ada panggilan dari Kalista. Sebelum mengangkat aku menilik waktu pada jam tangan. Sudah tiga jam aku tertidur. Aku menggulirkan tombol hijau dan mendekatkan ponsel ke telinga.

"Ada apa Kalista?" desakku. "Maaf aku tidur tadi."

"Kamu sudah memeriksa pesanku?"

"Belum, kan aku sudah bilang tadi kalau aku tidur. Dan aku baru membuka ponsel saat kamu menelepon."

"Sekarang buka pesanku," perintahnya. "Jangan matikan telepon. Aku ingin kamu melihat-lihat pilihan rumahnya."

"Iya," aku langsung menekan speaker dan menekan tombol kembali untuk membuka pesan dari Kalista. "Sudah."

Yang pertama aku lihat adalah gambar rumah. Ada yang dua lantai ada juga satu lantai. Kalista juga tidak lupa meninggalkan catatan harga dan biaya angsuran, juga minimal pendapatan.

"Kamu suka yang mana?" tanyaku.

"Lah, kamu kok tanya aku." Kalista tertawa. "Yang beli rumah itu aku atau kamu?"

"Aku beli rumah juga buat siapa kalau bukan kamu?" gerutuku. "Kamu juga tahu gajiku berapa jadi pilih yang sekiranya kamu suka dan sesuai dengan pendapatanku perbulan."

"Astaga?" teriak Kalista. "Danu, kamu bercanda. Sebentar? Jelaskan padaku apa maksudnya ini."

"Sudahlah, memangnya kamu tidak ingin tinggal satu rumah denganku?"

"Aku punya rumah sendiri." Kalista mendesah. "Oh! hey, Danu!"

"Apa?" tanyaku. Dahiku sampai berkerut.

"Mbak Riani bilang apa sama kamu?" raungnya. Aku hanya tertawa menanggapinya. "Kamu serius?"

"Kita coba pelan-pelan," gumamku. Aku cukup serius kali ini. "Bagaimana?"

Nada sambungan terputus. Satu panggilan telah berakhir. Aku menggeleng memikirkan apa yang terjadi. Kenapa berakhir secara tiba-tiba. Telepas dari itu, aku masih melanjutkan melihat-lihat gambar. Setelah aku hitung ada lima gambar dan dengan harga yang bervariatif.

Beberapa menit kemudian Kalista menghubungiku lagi. Aku segera mengangkat dan menyalakan speaker.

"Kenapa tadi terputus?" sergahku. "Paket internet kamu habis?"

"Tidak, masih banyak."

"Terus?" tandasku. "Sengaja kamu matikan?"

"Danu aku tidak ingin jadi pelampiasan sakit hatimu." Kalista mendesah. "Mimpi apa aku sekarang sahabat terbaikku merencanakan untuk tinggal serumah denganku."

Aku mendesis lalu mematikan speaker dan mendekatkan ponsel ke telinga. "Aku sudah yakin dengan ini. Hanya kamu yang bisa membuatku terbuka. Aku tahu semua rahasiaku. Dan apa salahnya kita mencoba."

Aku tidak mendengar suara Kalista. Kuperiksa layar masih menampilkan panggilan sedang berlangsung. "Halo? Kalista. Kamu di sana?"

"Ya, aku masih di sini," jawabnya. "Danu, aku tidak bisa bernapas."

"Hei!" tukasku. "Eh, rumah yang abu-abu itu bagus, yang lantai dua."

"Ya, aku juga suka itu," timpalnya. "Aku suka yang itu. Jaraknya sekitar dua kilometer dari kantor."

"Yasudah yang itu saja."

"Danu, kalau kita menikah salah satu dari kita harus berhenti bekerja." Aku ingat dengan peraturan kantor yang tidak boleh menikah dengan rekan satu kantor.

Aku tertawa. "Astaga, kamu sudah berpikir sampai ke sana? Pelan-pelan Kalista."

"Danu! Jangan buat aku malu, yah," protesnya. Aku tetawa. "Itu kan yang kamu maksud tadi? Asal kamu tahu pipiku rasanya terbakar."

Kalista selalu bisa mengekspresikan emosinya. Aku bisa membayangkan bagaimana  ekspresinya dia. Jika aku ada di depannya sekarang mungkin dia akan kabur dan bersembunyi di kamar mandi.

Aku masih melanjutkan tawa sebelum akhirnya menimpali. "Yasudah, rumah Abu-abu. Kita proses kalau aku sudah balik ke Banyuwangi."

"Aku akan urus itu," sahutnya. "Ngomong-ngomong, apa perlu aku cerita ke Arestia?"

"Kita biarkan dia menenangkan pikiran dengan Chris di Jakarta." Aku mengusap dahi. Ternyata merayu Kalista membuatku berkeringat dingin. "Kamu tidak masalah, 'kan? Maksudku setelah yang aku lakukan dengan Riani?"

"Besok kalau kita bertemu kita perlu bahas itu," sarannya.

"Yah, kamu juga harus berkenalan dengan Olivia," imbuhku. "Jika kamu tidak keberatan."

"Kamu serius akan mengadopsinya?"

"Masih perlu pertimbangan dari pihak Ayah kandungnya. Jika, ada kesempatan kenapa tidak."

"Aku akan mendukung apa pun keputusan kamu." Sunyi sejenak. Kemudian Kalista tertawa. Aku mengernyit apa yang sedang dia tertawakan. "Hei, kita seperti pasangan yang hendak menikah saja. Tuhan apa yang terjadi denganku."

Aku ikut tertawa. "Kamu lagi di mana sekarang?"

"Lagi di kamar," jawab Kalista. "Kamu tahu aku sampai sekarang masih kesusahan bernapas."

Aku tertawa. "Bagaimana bisa aku tidak menyadari ini? Aku jauh lebih dulu mengenal kamu tapi aku malah jadian sama Arestia waktu itu."

"Aku tahu kita sahabat." Kalista menjawab dengan sangat yakin. Aku mengusap tengkuk dan  ternyata di sana juga muncul keringat dingin. "Kesan pertama, astaga aku tidak percaya akan mengatakan ini."

"Baiklah, lanjutkan," pintaku. "Dramanya pending dulu."

"Aku melabelimu cowok jutek saat aku meminta nomor WA kamu." Aku ingat kejadian itu. "Hanya nomor WA, kamu tidak ingin kasih, padahal kita satu kelas satu jurusan."

"Karena kamu bertingkah aneh." Aku mencibir. "Aku orang baru di Banyuwangi dan mendapat teman seinstan itu. Aku butuh penyesuaian."

"Tidak ada penyangkalan dalam sesi ini," tandas Kalista. "Sejak dulu kamu adalah pria yang membuatku naik pitam. Tapi kamu selalu ada dan membelaku, walaupun dengan caramu yang suka mencemooh."

Aku memutar bola mata. "Apa aku boleh menimpali?"

"Belum," sergahnya. "Aku senang terlibat dalam proses perjalanan menuju pendewasaan."

"Oke, sudah cukup berpuitisnya," potongku. "Aku tahu bagaimana caramu menyayangiku. Dan, ya, aku memang pria yang menarik. Sampai-sampai kamu terpikat denganku."

"Danu," keluhnya. "Jangan bertingkah. Aku wajah aku sudah kebakar hebat ini."

Aku tertawa. "Oke, kapan aku bisa bertemu dengan orang tua kamu?"

"Astaga, Danu. Bisa-bisanya kamu tanya seperti itu."

"Salahnya di mana?"

"Ibu dan Ayahku sudah mengenal kamu. Apa yang akan kamu lakukan?"

"Mengenalku sebagai sahabat kamu," koreksiku.

"Kamu perlu sedikit perbaikan setelah yang kamu lakukan di pesta Arestia kemarin." Kalista benar. "Seperti kata kamu. Pelan-pelan."

"Baiklah," gumamku. "Bagaimana perasaan kamu sekarang?"

"Jantungku meledak." Aku tertawa dengan reaksinya. "Berhenti membuatku masygul."

"Aku hanya tanya," protesku.

"Eh, Danu."

"Apa?"

"Apa aku boleh tanya sesuatu yang pribadi?" suara Kalista terdengar serius.

"Silakan."

"Bagaimana perasaan kau degan Arestia sekarang?"

"Takdirku untuk Arestia telah usai. Dan saatnya aku mulai suatu hubungan yang nyata."

"Parah!" teriak Kalista. "Danu, aku pingsan."

Aku mendesis. "Pingsan model apa kok masih bisa bicara?"

Kalista mendesah. "Sudah-sudah, aku mau mandi. Sebelum orang tuaku menemuiku terkapar di kamar setelah mendengar gombalanmu."

"Iya, sana mandi."

"Kabari aku kalau sudah sampai di Surabaya."

"Iya," jawabku. Panggilan langsung berakhir. Aku meringis juga memejamkan mata. Kusimpan ponselku di saku dalam jaket.

Setengah menit kemudian aku masih senyum-senyum sendiri. Mengingat setiap kalimat yang diucapkan Kalista untuk mengekspresikan kegembiraanya. Aku menyugar rambut lalu menyandarkan kepala ke kaca jendela.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro