10. Mengkalkulasi Ulang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lina mengambil kalender kecil di meja kerjanya. Dia mengingat kapan terakhir datang bulan sedangkan sudah lewat satu bulan dari jatuh tempo namun dia belum juga datang bulan. Lina duduk tegak. Lima bulan tidak mengikuti program KB dari lima tahun terkahir. Dia juga menghitung kapan melakukan hubungan badan.

Lina masih tidak bisa memperkirakan jika bulan ini adalah awal dia mulai mengandung. Lina masih mengira dia akan hamil sekitar dua sampai tiga bulan ke depan. Biarpun sudah mengakhiri program tapi kemantapan hatinya tidak sepenuhnya sempurna.

"Gak pulang, Lin?" kata salah seorang teman wanita Lina di kantor.

Lina tersadarkan dengan kekhawatirannya. "Yah, sebentar lagi." Dia mengarahkan kursor laptop ke shut down. "Kamu duluan saja."

"Baiklah," sahut wanita itu kemudian pergi menjauhi meja kerja Lina.

"Widya," panggil Lina sebelum temannya itu pergi jauh.

"Iya." Widya berbalik badan. "Ada apa, Lin?"

Lina menyambar tas tenteng dan segera mendekati Widya. "Kamu tahu di sekitar sini yang jual test pack?"

"Astaga, kamu hamil, Lin?" seru Widya dengan suara lantang.

Lina langsung mengisyaratkan agar Widya memelankan suaranya. "Aku belum yakin. Aku baru telat satu minggu."

"Kehamilan bisa terdeteksi kurang lebih empat hari setelah pembuahan," jelas Widya. "Kamu pernah dengar itu 'kan sebelum memulai program kehamilan?"

Lina hanya mengangkat bahu menanggapi kalimat Widya.

"Oke, ini kehamilan pertama kamu, jangan terlalu tegang." Widya mengusap lengan bawah Lina dan memberikan senyum meyakinkan. "Aku punya kenalan dokter kandungan bagus yang buka praktek sampai jam delapan malam." Widya memeriksa waktu pada jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul 04.03 sore.

Lina juga melakukan hal sama. "Kalau aku ke sana sekarang, di rumah gak ada makanan apa-apa. Suamiku biasanya pulang setengah lima."

"Apa aku bantu untuk reservasi?" tawar Widya. "Tempatnya dekat dengan rumahku."

"Mungkin aku beli test pack saja dulu." Lina dan Widya kini berjalan menuju ke arah tempat parkir di basement. "Kalau hasilnya positif. Nanti aku kabari kamu soal dokter kandungan tadi."

Widya mengangguk. "Beli test pack bisa Di apotik, mini-market juga banyak, Lin yang jual."

"Kamu dulu di kehamilan pertama juga bingung seperti aku gini?"

"Tiga tahun aku jadi pejuang garis merah." Widya mengambil kontak sepeda motornya di dalam tas. "Kamu sudah berapa tahun nikah?"

"Sudah lima tahun nikah," jawab Lina. "Sebenarnya awal-awal aku menunda dulu. Soalnya aku baru kerja di sini, gak mungkin dong harus ambil cuti."

"Iya, aku tahu perasaanmu." Widya mengusap punggung Lina. "Semoga hasilnya positif yah."

Lina mengangguk. Widya memberikan senyuman dukungan lalu mereka berjalan berlainan arah ke arah sepeda motor masing-masing.

Seperjalanan menuju rumah, tidak sengaja Lina menemukan apotik. Mampir lah dia untuk membeli test pack. Setelah barang tersebut terbeli, Lina menyimpannya ke dalam tas. Dia masih ingin merahasiakan dari Joko. Sesampainya di halaman depan, mobil Joko masih belum ada. Masih ada waktu untuk memeriksa apakah dia hamil atau tidak.

Lina membeli tiga test pack dengan berbagai merek dan cara pemakaian. Dia memulai pada kemasan yang berisi test pack dengan cara pemakaian termudah. Hasilnya negatif. Dia merasakan ada kelegaan dari semula jantungnya yang berdebar. Kemudian dia memulai dengan alat kedua. Untuk beberapa saat Lina sempatkan memperhatikan alat pertama dan tidak menunjukkan perubahan.

Saat beralih ke alat kedua. Hasilnya menunjukan positif. "Gak mungkin," tadasnya kesal. Lutut Lina terasa nyeri secara tiba-tiba.

Lina sangat tidak tenang saat mencoba menggunakan alat ketiga. Hingga hasilnya menunjukan positif. Lina segera merapikan sampah-sampah itu dan kembali memasukkan ke kantong kresek. Dalam pikirannya dia menolak keras jika hasilnya positif. Padahal alat pertama menunjukkan negatif.

Joko masih belum pulang. Waktu menunjukkan pukul 4.31. Menandakan bahwa Joko akan tiba sebentar lagi. Lina sigap mengambil ponselnya di kamar. Dia segera menelepon Widya dan mengabarkan kabar besar yang dialami Lina. Sambil mengusap perutnya dia masih tidak percaya jika dia sudah mengandung anal pertama.

Mulanya Lina berniat menghubungi Widya namun tidak jadi. Dia justru memberi kabar kepada ibunya di Jombang.

"Bu," panggil Lina kepada Ibunya dengan menahan isak tangis. "Bu, aku hamil."

"Alhamdulillah." Ibunya memberikan banyak ungkapan selamat dan banyak hal yang harus dilakukan Lina di kehamilan pertamanya. Lina sampai tidak tahu lagi harus menanggapi bagaimana karena untuk saat ini Lina tidak ingin dia terlalu cepat hamil setelah mengakhiri program KB.

"Bu, aku ingin pulang." Tangis Lina akhirnya pecah. "Aku ingin pulang."

Menyadari tangis dari Lina, ibunya itu segera berusaha mencari tahu. "Ada apa, Lin?"

"Gak tahu. Ibu gak bisa ke sini ya? Lina kangen ibu."

"Joko ke mana? Ibu mau bicara sama Joko."

"Mas Joko belum pulang."

"Haduh... apa yang sebenarnya terjadi." Suara ibunya terdengar panik setelah mendengar tangis Lina. "Lina, apapun masalah kamu kamu bisa ceritakan ke ibu. Apa yang sebenarnya terjadi? Kamu gak lagi berantem sama suami kamu, 'kan?"

"Gak, Bu. Aku dan mas Joko baik-baik saja."

"Terus kamu kenapa nangis, Nduk?" Ibunya mulai terdengar gelisah dengan hela napas sampai terdengar ke Lina.

Lina mendengar suara mobil masuk ke halaman depan. Segera dia berpamitan untuk mengakhiri panggilan. "Maaf Bu." Lina mengusap air matanya. "Lina hanya capek habis pulang kerja. Lina baik-baik saja. Besom Lina telepon lagi."

"Oke, ibu tunggu telepon dari kamu."

Sambungan akhirnya terputus bertepatan dengan suara salam dari pintu depan. Lina bercermin untuk memastikan matanya tidak terlalu kentara setelah menangis. Suara Joko terdengar sangat dekat memanggil nama Lina. Kemudian Lina membuka pintu kamar. Dia mendapati suaminya sedang membuka sepatu di ruang tengah.

"Gimana tadi di proyeknya, Mas?" kata Lina menghampiri Joko untuk membantu melepas sepatu.

"Alhamdulillah, lancar."

Lina membawa sepatu Joko ke belakang. Joko juga mengikuti untuk mencuci kaki. Setelah menaruh sepatu ke rak di dekat kamar mandi, Lina lalu menyiapkan handuk untuk Joko mandi.

"Kamu baru pulang kok belum ganti baju?" tanya Joko saat menerima handuk dari Lina.

"Iya," jawab Lina singkat.

"Kantor gak ada masalah, 'kan?" Joko menelusuri ekspresi wajah Lina. "Kamu kelihatan habis menangis."

Lina hanya menggeleng. "Kopinya aku buatkan sekarang atau nanti saja setelah makan malam?"

"Sekarang saja."

Lina berjalan menuju ke dapur dan juga bersiap untuk masak. Lina begitu asik memasak dan juga memikirkan bagaimana memberi kabar ke Joko tentang kehamilannya. Joko pasti telah menunggu kabar ini sejak lama, tapi tidak untuk Lina. Penolakan demi penolakan menghujam pikiran Lina hingga dia tidak bisa berpikir jernih mencari jalan keluar.

Joko tiba-tiba berdiri do ambang pintu dapur dengan membawa kantong keresek. Tubuh bagian bawahnya masih terbalut haduk. "Apa ini?"

Lina cepat menyadari jika kantong kresek itu berisikan test pack yang membuktikan jika Lina hamil. Lina tidak menjawab. Dia mematikan kompor karena melihat air sudah medidih.

"Aku sudah melihat ini apa." Joko mendekat saat Lina menuangkan air panas ke cangkir kopi. "Lina, maafkan aku."

Lina meletakkan panci ke atas kompor lalu dia beralih mengaduk kopi. Dia masih bersikap dingin kepada Joko. Tidak ada kalimat yang bisa menjawab Joko.

"Hey, maafkan aku." Joko meletakkan kantonv kresek ke meja dapur lalu dia memeluk Lina.

Tangis Lina langsung pecah. "Aku ingin memberi kabar ini saat kamu pulang tapi aku tidak bisa."

"Gak perlu dijelaskan, aku tahu. Sungguh," sela Joko. "Aku minta maaf. Harusnya aku tanya ke kamu dulu apa kamu siap dengan ini." Joko menciumi puncak kepala Lina dan memeluk dengan intens seolah Joka tidak ingin melepaskan tubuh istrinya.

Lina terisak-isak dalam pelukan Joko. Sedangkan Joko terus menyalahkan dirinya dan meminta maaf kepada Lina tanpa henti. Hingga beberapa saat tangis Lina akhirnya cukup mereda. Joko membantu mengusap air mata Lina.

"Gak perlu masak, kita beli saja."

Lina mengangguk.

"Apa perlu kita ke dokter memeriksa apakah hasil test pack benar?"

Lina menatap mata Joko dengan air mata menggenang. "Apa aku bisa jadi ibu?"

Sekali lagi Joko memeluk sambil mengusap rambut Lina dengan lembut.

Lina mencium aroma sabun dan merasakan tubuh suaminya dingin. Saat dia menangis rasanya suhu tubuh meningkat kendatipun demikian tubuh Joko memberikan sensasi ketenangan di hati. Di sisi lain mendengar bahwa Joko menyesal dengan kehamilan itu, membuat Lina merasa dia tidak sendiri menghadapi berita besar yang belum bisa diterima ini.

"Kamu pakai baju dulu, Mas, nanti kita bicara lagi." Lina menyudahi pelukan itu. "Aku juga mau mandi dulu."

Joko mengusap pipi Lina untuk menghapus sisa air mata. Dia mengangguk lalu pergi masuk ke kamar. Sedangkan Lina mengambil handuk di jemuran belakang. Perpisahan mereka membuat satu sama lain berpikir. Bahwa berita ini akan ada jalan keluar. Hanya butuh waktu untuk menerima segalanya. Hingga semuanya berjalan dengan semestinya.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro