6. Serat Janji

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lina dan Zahro seperti memiliki ikatan karena Athira. Pasalnya jikalau Athira sedang tidak ingin berdamai dengan siapapun, Lina yang akan datang seolah matahari menyinari wajah Athira. Sore ini Lina berhasil menidurkan Athira. Siang tadi acara aqiqah di gelar. Athira menangis ketika prosesi acara potong rambut. Berkat bantuan Lina Athira akhirnya bisa ditangani. Acara berjalan dengan lancar.

Lina melihat senyum mungil di wajah Athira yang tertidur di samping Zahro mengingatkannya pada konflik yang dialami bersama Joko. Tentang kehadiran buah hati dinantikan suaminya itu. Lina merasa dia tidak bisa memberikan dalam waktu dekat.

Zahro menyadari kejanggalan pada ekspresi wajah Lina. Kemudian dia bertanya, "Ada apa?"

Karena merasa sudah dekat dengan Zahro, Lina tidak sungkan lagi untuk bercerita mengenai masalah pribadinya. Biarpun memulai pembicaraan sempat menjadi kesulitan baginya. Selain itu, Lina sempat mendengar jika Zahro ditinggal oleh suaminya pergi yang entah ke mana, membuatnya tidak ingin ikut membebani pikir Zahro.

"Dua hari yang lalu aku berantem sama Mas Joko." Kalimat Lina membuat Zahro menegakkan badan setelah dia mengistirahatkan punggung pada kepala ranjang. Gerakan Zahro yang mendadak, Lina yang duduk di tepian merasakan kasurnya berdenyut.

"Ada masalah apa?" tanya Zahro dalam suara yang pelan. Di depan kamar masih banyak orang membersihkan hasil sisa-sisa acara. "Kalau kamu mau bisa ceritakan ke aku."

"Sebenarnya juga aku yang salah." Lina memulai ceritanya dari apa yang dia rasakan. Dia ingin sekali mengutarakan itu pada Joko namun situasi di antara mereka selalu tidak memungkinkan. "Aku sebenarnya sedikit kecewa harus pindah ke Nganjuk."

Zahro tidak menanggapi saat Lina berhenti berkata. Saat itu, Zahro berniat untuk memberikan banyak waktu untuk Lina mengutarakan semuanya.

"Aku berusaha menyesuaikan diri. Mendaftar kerja ke beberapa tempat tanpa sepengetahuan Mas Joko. Sampai akhirnya aku di terima kerja di bank swasta. Tapi sepertinya Mas Joko tidak suka aku bekerja."

"Suami kamu bilang apa memangnya?" tanya Zahro dengan hati-hati. "Pasti ada alasannya kan dia tidak suka?"

"Gak tahu, ah." Lina menggeleng. "Bingung aku."

Setelah beberapa saat Lina tidak melanjutkan kalimatnya. Agar situasinya berubah, Zahro pun mulai menceritakan perasaannya.

"Sampai sekarang aku kadang bingung dengan diriku sendiri. Rasanya capek harus membayangkan bagaimana membesarkan anak seorang diri. Baru dibayangkan saja aku sudah gak kuat. Tapi, kadang di sisi lain aku merasa anak itu tanggung jawab orang tua." Zahro lalu mengusap dari Athira dengan lembut. Lina memperhatikan gerakan tangan Zahro. "Athira masih ada aku. Kalau bukan aku bagaimana nasib Athira."

Lina sebenarnya tidak tahu pasti bagaimana kejadian sampai suami Zahro pergi begitu saja. Jika bertanya pada Zahro pun rasa-rasanya tidak mungkin karena hal itu mungkin memberikan rasa kesedihan yang dalam.

Pikiran Lina semakin tidak karuan. Melihat Zahro yang berjuang untuk anaknya sampai lupa bagaimana membahagiakan diri sendiri membuat Lina semakin tidak ingin mempunyai anak. Kekecewaan Lina semakin besar ditambah dia harus meninggalkan banyak hal di Jombang. Teman-temannya, keluarga, dan lingkungan tempat dia tinggal. Dia tidak ingin kehilangan kebahagiaan yang lain jika nantinya dia harus mengurus anak.

"Kita pasti bisa menjalani ini," kata Zahro setelah senyap beberapa waktu. "Coba dibicarakan dulu sama suami kamu."

Lina mengangguk. "Jam berapa sekarang?"

"Delapan?" jawab Zahro setelah dia melihat jam dinding di atas pintu kamar.

"Aku pulang dulu kalau begitu." Lina memberikan kecupan singkat di dahi Athira.

Zahro memberikan anggukan dan senyuman kepada Lina. "Semangat!"

Lina tertawa.

Saat tiba di rumah, Lina menjumpai Joko sedang duduk di meja makan tersibukkan dengan laptop. Joko hampir tidak menyadari kedatangan Lina saat setelah perempuan itu menyapa.

"Mas, sibuk?" tanya Lina sambil menarik kursi di samping kiri Joko.

Joko menoleh kemudian mengernyit. "Ibu sama Bapak datang besok pagi."

"Iya."

"Aku besok pagi mau ke proyek." Joko kembali memfokuskan diri pada laptopnya.

Lina hampir tidak peduli apa yang dikatakan Joko, pasalnya ada hal yang ingin dibicarakan dengan suaminya itu. Hingga akhirnya Lina menjawab. "Iya."

Joko mendengar suara Lina yang dingin, dia tiba-tiba menutup laptopnya dan mengatur posisi duduknya menghadap ke Lina. "Ada apa?"

"Aku ingin buat kesepakatan." Saat itu Joko meraih tangan Lina. Ibu jari Joko mengusap tangan Lina dengan lembut, membuat Lina sedikit tenang.

"Oke, aku hanya mau minta satu hal ke kamu."

"Boleh aku dulu?" Lina ketakutan jika keinginan Joko adalah hal yang sebenarnya tidak dia inginkan. "Aku mau kerja dulu sebelum akhirnya kita memikirkan untuk punya anak."

Joko mengangguk. Dia tersenyum dengan sangat tulus merasa lega jika akhirnya istrinya berani mengungkapkan apa yang menjadi beban pikiran selama satu bulan pindah ke Nganjuk. "Hanya itu?"

"Maksudnya?" Lina menangkis tangan Joko. Dia tidak ingin Joko berbuat mesra saat pembicaraan serius. Dia tidak mau terlena dengan rayu bujuk Joko.

"Kemarin aku 'kan sudah bilang. Aku tidak masalah kalau kamu maunya seperti itu. Aku juga tidak mau buru-buru." Joko sekali lagi mengulas senyum. Joko memiliki garis rahang tegas dan kulit kecokelatan membuat tingkat kewibawaannya bertambah ketika pria itu mengulas senyum.

Lina menggeleng. "Kamu tidak meminta penjelasan dari aku?"

"Buat apa?" sela Joko dalam suaranya yang serak menjadi kata-katanya terdengar intens. "Aku yakin kalau kamu sudah memikirkan ini selama berhari-hari. Kamu ingin kerja dan berusaha menyesuaikan diri ditempat baru."

Lina menghembuskan napas berat. "Astaghfirullah, Mas, aku sebulan gak bisa tidur memikirkan ini tapi kamu malah senyum-senyum seperti itu."

Joko mulanya tidak menanggapi dengan kata-kata, melainkan dengan tatapan menelusur. Dia ingin menemukan perasaan lega di mata Lina. Kemudian, Joko meraih tangan Lina, kali ini keduanya. "Apapun keputusan kamu aku akan dukung, asalkan kamu mau membicarakan dulu."

Joko kemudian mendekatkan wajah ke Lina. Napas Lina tertahan dengan gerakan Joko yang mendadak saat mengecup bibir Lina. "Jangan pergi saat kita saling bertengkar."

Lina mengangguk. "Iya, Mas, maaf. Tapi kamu tidak apa 'kan kita menunda dulu punya anak?"

"Iya," kata Joko setelah helaan napas panjang. "Jadi aku harus sedia pengaman?"

Lina menutup mulutnya dengan kedua tangannya untuk menyembunyikan tawanya lalu dia mengangguk. Jika bukan Joko mengatakan itu, dia tidak pernah memikirkan sampai ke sana. Namun kemudian Lina menambahkan. "Aku bisa ikut program KB, Mas."

"Oh, bisa juga." Joko kembali membuka laptopnya dan menyalakannya. "Kamu bisa tanya-tanya ke Ibu besok."

"Nggak, ah, aku bisa tanya ke Ibuku sendiri."

"Tidak apa, ibu pasti paham maksud kamu. Lagi pula ibu sudah punya cucu dari Mbak Dewi. Dia gak akan menuntut itu ke kamu."

Lina mengangkuk. "Aku mau mandi dulu." Dia berdiri dan mengusap pipi Joko sambil berlalu melewati dari berlakang.

###

Anang sudah mempersiapkan diri untuk melamar Ariqa. Namun, sebelum dia melakukannya dia meminta restu kepada kedua orang tuanya terlebih dahulu. Dia menemui ibunya di dapur.

"Bu, aku mau bicara. Boleh?" kata Anang. "Di ruang tamu?"

"Ada apa, Nak?" jawab Ibunya saat menuangkan air panas ke mug kopi untuk suaminya. "Mau Ibu buatkan kopi?"

Anang tersenyum sambil mengangguk. "Boleh." Kemudian Anang pergi ke ruang tamu untuk menemui ayahnya. Di sana Buntoro sedang membaca koran. Anang lalu duduk di kursi panjang ruang tamu yang berwarna abu-abu dengan noda janggal berwarna kecokelatan dan kuning di berbagai tempat.

Anang tidak mengucapkan apa-aoa selain bergeming memperhatikan ayahnya yang asik membaca koran.

Tidak lama Rere datang dengan membawa mug dan cangkir kopi. "Ada apa, Nak?"

"Apa?" tanya Buntoro.

"Ini loh, Yah, Anang mau bicara sama kita. Gak tau mau ngomong apa." Rere meletakkan bawaannya ke meja lalu menoleh ke Anang. "Ada apa?" Kemudian Rere duduk di kursi yang lain berhadapan dengan Buntoro.

"Aku mau bilang kalau aku keterima jadi dosen di Jogja," kata Anang saat Buntoro sudah mulai melipat korannya mendai dua. "Aku mau minta restu ke Ibu sama Ayah."

"Jauh lebih baik daripada harus kerja di warung makan," tukas Buntoro. "Jadi kamu mau pindah kr sana?"

"Terus Aqira bagaimana, Nak?" sahut Rere.

"Kok mikirin Aqira, to, Bu!" sela Buntoro tegas. "Anang kerja jadi dosen kan cocok buat masa depannya nanti. Aqira juga belum lulus kuliah. Kalau bisa ya, kamu terusin karir kamu."

"Rencananya aku mau melamar Aqira, dulu sebelum pindah ke Jogja."

Buntoro menoleh ke Rere karena kebingungan dengan situasinya. Rere hanya mengangguk memberi petunjuk untuk membantu Anang dengan rencananya. Buntoro memahami isyarat itu kemudian dia berkata, "Kapan rencana kamu kita harus ke rumah Aqira?"

"Aku belum bilang ke Aqira. Nanti menunggu kabar dari  dia dulu," ungkap Anang memandang kedua orang tuanya bergantian.

"Iya," jawab Rere. "Ibu setuju. Kalian sudah pacaran lama. Aqira kuliahnya juga hampir selesai. Kalau kamu pindah ke Jogja, Aqira bisa fokus ke kuliahnya dulu."

"Terima kasih, Ibu... Ayah...." Anang berdiri dan mencium tangan Buntoro lalu ke berganti ke Rere.

"Terus pekerjaan kamu yang sekarang bagaimana?" tanya Rere.

"Kemarin sudah pamit sama manager. Nanti siang shift terakhir." Anang menoleh ke Buntoro bermaksud untuk memberi tahu Ayahnya juga namun, pria itu sudah tidak peduli malah melanjutkan membaca koran. Sambil menyesap kopi dari mug.

Rere memberikan anggukan pasti ke Anang. Dia hanya ingin Anang yakin dengan keputusannya. Apapun kendalanya Rere akan menemani sampai akhir. Begitulah kira-kira yang dimaksudkan Rere. Anang yang mengetahui isyarat itu, hatinya kini terasa tenang lalu dia meminum kopi buatan ibunya.

Saat di tempat kerja mendekati dua jam terkahir Anang bekerja, Ariqa bersama tiga temannya datang untuk makan siang. Anang kebetulan bertugas jaga di kasir langsung menyambut malu kedatangan Ariqa yang tidak terduga. Dulu sempat ada kesempatan jika Ariqa tidak boleh makan di cabang tempat makan di mana Anang bekerja. Namun, kali ini Ariqa merasa hari spesial jadi dia tidak berniat melanggar kesepakatan terebut.

"Selamat hari terakhir kerja di sini," kata Ariqa kemudian dia mengganti nada berbisik, menambahkan, "Sayang." Agar teman-temannya dan rekan kerja Anang tidak sampai mendengar.

Anang tersenyum malu-malu, tapi dia tetap bersikap profesional dalam bekerja. "Silakan ada yang bisa dibantu, katanya."

Ariqa dan ketiga temannya selama beberapa saat tersibukkan memilih menu makanan yang tertempel di meja kasir. Kemudian mereka saling tunjuk  makanan di sana dan Anang menekan-nekan menu yang ada di komputer sesuai pesanan. Setelah selesai dia menyebutkan kembali yang telah dipesan beserta total pembelian.

Namun, saat Ariqa dan ketiga temannya menyiapkan uang, buru-buru Anang menambahkan. "Hari spesial aku saja yang bayar."

Ariqa mengernyit. "Serius?"

Anang mengangguk sambil menyerahkan struk pembelian. Kemudian Anang menyiapkan pesanan. Ketiga teman Ariqa langsung bergantian mengucapkan terima kasih kepada Anang. Namun, Anang hanya menanggapi dengan senyuman.

Tidak terasa dua jam berlalu. Ariqa dan teman-temannya masih berada di sana biarpun meja mereka sudah dibersihkan satu setengah jam yang lalu. Anang menghampiri Ariqa. Teman-teman Ariqa dengan sigap memberi tempat duduk.

Ariqa mulanya masih berbincang-bincang dengan temannya. Saat itu juga Anang sibuk dengan memakai jaket untuk menutupi seragam kerjanya dan beberapa kali bermain ponsel.

Hingga akhirnya saat Ariqa sudah tidak ada topik yang dibahas dengan teman-temannya dia kemudian bertanya kepada Anang, "Kenapa diam saja?"

"Lah, aku mau ngobrol sama siapa?" jawab Anang. "Kamu mau pulang bareng aku gak?"

"Boleh." Ariqa melihat jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul setengah empat sore. "Kamu sudah salat ashar?"

Anang mengangguk. "Sudah tadi di belakang."

"Yasudah pulang sekarang, yuk." Ariqa lalu memberi isyarat kepada teman-temannya untuk pulang dan mereka pun segera bersiap. "Bi, aku pulang bareng dia. Kamu gak apa kan sendiri."

"Ah, biasanya juga gimana," jawab Bian.

Namun, saat ketiga teman Ariqa berdiri untuk meninggalkan meja, Anang masih duduk memperhatikan. "Ada yang mau aku omongin sama kamu," bisiknya kepada Ariqa.

Ariqa lalu melepas teman-temannya sambil melambaikan tangan. Saat ketiga teman Ariqa sudah keluar dari area makan, Anang segera melancarkan aksinya.

"Aku keterima jadi dosen di Jogja."

Ariqa membisu sejenak sedangkan Anang memperkirakan apakah itu berita baik bagi kekasihnya atau bukan.

Anang akhirnya menambahkan. "Aku mau ke rumah kamu bilang ke orang tua kamu kalau aku akan melamar kamu."

"Sek... Sek... Nang." Tangan Ariqa terbuka di depan Anang. "Kasih kabar bahagianya satu-satu... Aku jantung aku sudah mau copot rasanya."

Anang langsung merasa lega setelah mengucapkannya, sekarang dia menunggu jawaban dari Ariqa.

"Setelah kita nikah nanti bakal tinggal di Jogja?" seru Ariqa dengan raut wajah antusiasnya. "Kamu gak bercanda 'kan?"

Anang menggeleng. Dia tidak menyangka jika reaksi Ariqa akan seperti itu.

"Nang, kamu tahu 'kan aku dulu punya cita-cita hidup di Jogja."

Anang menggeleng. "Kamu gak pernah cerita soal ini."

"Sudahlah itu gak penting." Ariqa menyambar tas ranselnya lalu berdiri. "Ayo pulang dan lamar aku. Besok aku akan giat ngerjakan skripsiku." Ariqa menarik tangan Anang dan mereka berjalan dengan terburu-buru keluar dari tempat makam itu.

"Orang tuaku pasti akan bangga sama kamu. Mereka menantikan berita baik ini," tambah Ariqa.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro