8. Malam dan Cerita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Buntoro memperhatikan teknisi komputer sedang mengotak-atik mesin. Biarpun dia tidak mengetahui banyak hal mengenai mesin-mesin komputer namun tetap memperhatikan seolah suatu saat akan mengerti dan membenarkan sendiri tanpa bantuan teknisi. Saat itu pukul tiga sore, bukan jam pulang kantor Buntoro. Saat Rere baru masuk ke ruang tengah setelah membeli makanan di warung Zahro, dia menatap janggal suaminya dengan seragam kantor dan teknisi komputer berkemeja merah.

"Sudah pulang, Mas?" sapa Rere sambil mencium tangan Buntoro.

"Iya, ini ada tukang benerin komputer. Bisanya jam tiga jadi pulang lebih awal." Buntoro memperhatikan kantong kresek di tangan Rere. "Dari mana?"

"Beli makanan untuk nanti malam."

"Kamu beli lagi untuk mas Jaya." Buntoro menoleh ke teknisi. Rere mengangguk lalu pergi ke dapur untuk menyimpan makanan.

"Bagus sudah pulang, Mas?" tanya Rere setelah dia kembali dari dapur.

"Kamu beli sendiri saja. Kenapa minta Bagus. Anak itu pulang sekolah pasti langsung tidur." Buntoro seakan mengajak bicara Jaya karena tatapannya tidak terarah ke Rere.

Rere hanya mendesis sambil berjalan menuju kamar anak keduanya. Saat membuka pintu, dia mendapati Bagus sedang salat ashar. Ditutuplah kembali pintu kamar lalu Rere berjalan ke luar rumah.

Pikiran Rere tidak karuan ketika mengingat bahwa blendernya rusak dua minggu yang lalu dan tidak bisa dipakai lagi. Sempat mengadu untuk diperbaiki kepada Buntoro namun suaminya itu hanya menjanjikan setelah gajian. Sedangkan tanggal gajian masih sepekan ke depan Buntoro sudah memanggil teknisi untuk memperbaiki komputer.

Sesampainya di warung Zahro, Rere mendapati anak perempuan berusia lima tahun sedang duduk di dekat Zahro sambil makan kerupuk dan memperhatikan video di layar ponsel.

Rere berniat bertanya namun Zahro segera berseru, "Loh, Bu Rere kok balik lagi? Kembaliannya tadi kurang, ya?"

Rere menggeleng. "Di rumah ada tukang servis laptop. Nasi satu yah, Mbak."

Zahro langsung paham. Dia mengambil kertas minyak dan mengambil nasi. "Lauknya tinggal ayam bali, dadar, dan telur asin."

"Ayam bali... tambah mi goreng juga, masih ada 'kan?"

"Iya, tinggal satu porsi."

Rere mengangguk dan dia melontarkan pertanyaan. "Itu anaknya siapa, Mbak?"

Zahro sempat membeku sejenak lalu menoleh ke arah pandang Rere. "Sasti. Anaknya mas Prasto."

Rere tidak memberi pertanyaan lagi. Antara tidak menyangka dengan kehabisan kata-kata. Rere tidak ingin mencari tahu dari Zahro langsung atau itu pasti akan menyakiti perasaanya. Jadi, Rere hanya diam dan menunggu nasi bungkusnya selesai.

Sasti waktu itu sudah kehabisan kerupuk dan dia meminta lagi kepada Zahro. "Bu, habis. Lagi."

Zahro bergerak memberikan kerupuk kepada Sasti setelah membungkus nasi pesanan Rere. Sedangkan Rere semakin tidak percaya bahwa anak kecil itu memanggil Zahro dengan sebutan ibu.

"Berapa, Mbak?" tanya Rere  cepat-cepat sebelum Zahro memberikan nasi bungkus. Dia ingin segera pergi dari warung Zahro karena tidak ingin menunjukkan ekspresi penasarannya.

"Lima belas ribu." Zahro memasukkan nasi bungkus ke kantong keresek. Dia menatap wajah Rere, namun wanita itu menghindari kontak mata. Zahro tahu jika kehadiran Sasti di warung pasti akan menimbulkan banyak pertanyaan. Namun, lebih baik mengenalkan ke tetangga daripada memunculkan stigma.

Rasanya belum usai berita jika Zahro ditinggal suaminya dan kini berita baru muncul lagi. Ada anak kecil berusia kira-kira lima tahun tinggal di rumah Pak RT. Anak itu yang tak lain adalah anak Prasto dari istri yang lain.

Tidak lama, Wati datang sambil menggendong Athira. Dia menyapa Rere. "Bu Rere."

Rere memberikan senyuman canggung.

Sasti yang melihat kedatangan Athira lalu mengajak Athira bermain di lantai. Dia menunjukkan video di ponsel namun Athira lebih tertarik dengan tumpukan kardus di bawah meja.

"Beli makan untuk siapa, Bu?" tanya Wati.

"Tukas servis laptop."

"Oh, iya Bu Rere jadi minta nomor tempat servis blender?" Wati menoleh ke Zahro. "Sudah kamu kasih ke Bu Rere,  Nduk?"

"Sudah..." belum genap jawaban Zahro, Rere sudah buru-buru berpamitan.

Rere menyambar kantong kresek dan segera meninggalkan warung. Sesampainya di rumah, teknisi masih belum menyelesaikan pekerjaannya. Rere meletakkan nasi bungkus di meja ruang tengah lalu dia masuk ke kamar menunggu suaminya. Hatinya kini tidak karuan karena harus menunggu teknisi itu pulang baru dia bisa menanyakan hal penting.

Sekitar pukul lima sore, teknisi itu berhasil memperbaiki komputer. Rere mendegar Jaya berpamitan kepada Buntoro. Hingga suara mereka perlahan menjauh di depan rumah. Tidak lama berselang Buntoro masuk ke kamar.

"Mas aku mau tanya?" seru Rere mendekati suaminya yang sedang membuka lemari pakaian.

"Apa?" sahut Buntoro.

"Kamu tahu kabar soal adik kamu, Prasto?"

"Kenapa?"

"Dia tenyata punya anak sebelum menikah dengan Zahro. Mas tahu tentang ini?" Rere membantu Buntoro menyiapkan pakaian ganti sedangkan suaminya itu sedang melepas pakaian.

"Sudahlah, jangan urusin rumah tangga adikku," jawab Buntoro. "Biarkan dia menyelesaikan urusannya sendiri."

"Iya, Mas aku tahu. Tapi, kasihan Zahro. Sekarang anaknya Prasto tinggal di rumah Pak RT." Rere memberikan pakaian bersih ke Buntoro dan Buntoro melemparkan pakian kotor ke tempat tidur.

"Sudahlah ngapain kamu urusin rumah tangga orang lain." Buntoro menaikkan nada bicaranya. "Lebih baik kamu urusin Bagus. Gak tahu itu anak masa depannya bagaimana. Kerjaan di rumah cuma tidur terus."

"Bukan begitu, Mas." Rere sekelebat memikirkan Bagus yang berniat kuliah ke Jogja nanti. Namun, itu bisa dibicarakan lain hari. "Kamu 'kan bisa kasih tahu Prasto. Kasihan Zahro harus menanggung dua anaknya sendirian."

Buntoro tampak tidak peduli. Dia keluar kamar. Rere menghela napas panjang. "Astaghfirullah."

###

Di rumah yang didominasi cat warna putih nomor 05, Lina sedang marah-marah kepada suaminya lantaran kesal kamar mandi tidak pernah disikat. Setengah jam yang lalu Lina hampir saja terpeleset karena lantai kamar mandi yang licin. Saat itu, Joko sedang duduk santai di lantai sampai menonton televisi.

"Sudah berapa kali aku minta kamu untuk sikat kamar mandi?" Lina berdiri di samping kiri Joko dengan bersungut-sungut. "Apa harus aku yang sikat kamar mandi juga?"

"Kamu bilang kapan baru..."

"Iya baru tadi sore!" sela Lina. "Waktu kamu mandi sore juga 'kan bisa kamu lakuin kenapa tadi gak? Terus kamu mau sikatnya kapan?"

"Iya... Iya sabar. Gak usah marah-marah juga. Habis ini aku sikat."

"Gak usah sudah aku sikat barusan."

"Lah, itu sudah beres kenapa marah-marah." Joko mendongak menatap ekspresi Lina yang tidak berubah.

"Aku itu pengen ya kamu itu peka sedikit sama keadaan rumah." Lina masih melanjutkan ketika dia sedang menyiapkan makanan dari dapur ke meja makan. "Kalau rumah ada gak beresnya kamu yang tangani. Gak apa-apa aku."

"Iya," jawab Joko malas. Kejadian seperti ini sudah sering terjadi. Terakhir masalah karpet yang lupa bawa ke laundry saat hendak pergi ke kantor.

"Aku, Mas, pulang kerja langsung masak, bersih-bersih rumah, nyapu Seminggu sekali ngepel dari depan ke belakang." Bukan hanya sekali Lina menceritakan kegiatannya di rumah. Apakah itu membuat Joko sedikit peka dengan keluhan Lina? Jawabannya tidak. "Kamu aku iri nyikat kamar mandi saja ditunda-tunda."

Joko memutar badannya untuk mengamati Lina dan menunggu sampai amarah istrinya itu mereda. Joko tidak cukup kuat untuk berdalih karena yang terjadi sekarang adalah Lina sedang berkeluh kesah. Satu-satunya harapan untuk dia bebas dari amarah Lina adalah mengajak Lina keluar untuk pergi jalan-jalan. Namun, situasi sekarang cukup menyulitkan.

"Kenapa diam?" sorot mata tajam mengarah ke Joko. "Aku ngomong panjang tadi kamu dengerin gak sih?"

Joko mengangguk.

"Apa?"

"Kamu ngepel, nyapu, bersih-bersih rumah." Joko mengerdikkan bahu.

"Astaga Mas. Bukan itu. Aku itu ingin kamu peka sama rumah. Bukan hanya aku saja yang mikirkan ini itu. Aku sudah masak buat kamu, cuci baju kamu."

"Itu sudah kewajiban kamu."

"Sikat kamar mandi juga?" kata Lina mencemooh. "Kamu mau makan apa tidak. Ini sudah siap." Lina sudah menyiapkan nasi di piring Joko.

Joko segera bergerak menuju meja makan. "Sudah jangan marah-marah ini suami kamu lagi mau makan."

Lina memutar bola matanya lalu melenggang pergi masuk ke kamar. "Lauknya ambil sendiri."

"Kamu gak makan?" tanya Joko.

"Ambil HP," jawab Lina ketus.

Tidak lama Lina kembali. Dia segera mengambil nasi dan lauk. "Besok Sabtu ada acara gak?"

"Gak ke mana-mana," jawab Joko setelah menelan makanannya. "Ada apa?"

"Itu rumput di taman depan sudah panjang-panjang. Kamu potong yah?"

"Dipotong pakai apa?"

"Gunting kuku."

"Astaga, apa ini hukuman buat aku yang gak sikat kamar mandi." Joko meletakkan alat makannya dan duduk memelas menatap Lina. Sedangkan Lina tampak tidak peduli.

"Aku sudah bilang ke Pak Aryo kalau mau pinjam gunting rumput. Kamu besok ambil ke sana," jelas Lina.

"Hari Minggunya kamu ada acara gak?" tanya Lina lagi. Dia menoleh ke Joko setelah menyuap nasi ke mulut.

Joko mendesis. "Apa lagi sekarang? Benerin genteng bocor?"

"Ha? Mana ada genteng bocor." Lina menatap ke langit-langit. "Di sebelah mana."

Joko menggeleng. "Ada apa hari Minggu?"

"Kita ke rumah Ibu, yok!" seru Lina. "Kita ajak Zahro dan anak-anaknya. Mereka pasti seneng kan di sana ada dokar."

"Memangnya Zahro gak buka warung."

"Kalau hari Minggu Bu Wati yang jaga. Zahro hanya bagian masaknya saja."

"Yasudah nanti aku telepon ibu dulu. Kalau mau ke sana gak bilang bisa marah-marah kayak dulu." Kalimat Joko mengingatkan Lina ketika datang ke rumah mertua setelah membeli rumah di sini beberapa tahun lalu. Ibunya Joko sampai mengomel karena tidak sempat belanja banyak keperluan masak untuk makan siang. Ibunya Joko juga mewanti-wanti jika hal itu terluang lagi, Joko dan Lina diminta pulang lagi, tidak diperbolehkan mampir.

"Nanti aku kabari Zahro." Lina melanjutkan makan malamnya.

"Saat Sasti diserahkan ke Zahro, keluarganya meninggalkan uang untuk Sasti ke depannya, 'kan?" Joko baru selesai makan malam dia membawa piring kotornya ke dapur. "Nanti biar aku yang cuci piring."

"Kenapa tiba-tiba tanya gitu?" tanya Lina mengerutkan dahi. "Gak biasanya kamu kepo urusan orang."

"Ya, gak gitu kasihan aja." Joko kembali ke meja makan dengan tangan yang  basah dan berbau sabun cuci piring. "Kalau kita yang belum punya anak 'kan mikirnya cari uang buat kehidupan rumah tangga. Kalau Zahro juga harus memikirkan pendidikan anak juga. Apalagi Sasti sudah sekolah TK."

"Kamu cuci piring gak pakai sarung tangan?" Lina merasa terganggu degan aroma sabun cuci piring di area meja makan membuatnya kurang berselera lagi menghabiskam makan malamnya. "Kamu pakai sabun berapa tetes sih? Tadi kotorannya dibuang ke tempat sampah dulu 'kan?"

Joko menggeleng. "Gak aku tetesin langsung aku tuang gitu aja."

Lina mendengkus kesal. "Gini nih kalau sok nge-ide. Pakek inisiatif cuci piring segala. Udah tahu gak bisa kenapa masih dilakuin. Malah nambah-nambah pekerjaanku saja."

"Memangnya kenapa sih?"

"Kalau kamu gak bersihkan kotorannya dulu nanti malah nyumbat salurannya. Aku gak mau ribet yah manggil tukang ledeng gara-gara kamu ceroboh."

Joko mendesis. "Baru juga selesai makan sudah dimarah-marahi lagi. Kamu lagi datang bulan atau gimana sih?"

"Gak ada urusannya bulan sama aku marah-marah, ya." Lina berdiri membawa piring makannya lalu berjalan ke dapur.

"Jadi, soal Zahro tadi gimana? Kamu belum jawab."

"Dapat tapi gak pernah dipake sama Zahro. Katanya buat Sasti besok kalau sudah besar saja," jawab Lina di kejauhan.

Joko kembali melanjutkan aktivitas malamnya yaitu menonton televisi. Tidak lama Lina menyajikan kopi hitam panas. Lina kembali membereskan meja makan,  juga membersihkan wastafel cuci piring dari cipratan busa sabun karena ulah Joko.

"Hemmmmmm," gumam Lina. Alisnya berkerut.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro