kisah ketiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Lu dendam apa gimana sih sama gue?"

Ella masih terus mengemut permen lollipop yang ia beli tadi. Menghiraukan pertanyaan cowok kasar di depannya. Bertingkah seolah dirinya hanya sendirian saja, tanpa ada cowok menyebalkan ini.

"Woi!"

"E-l-l-a, bukan woi," balas Ella nyengir kuda. Ella sengaja menekankan dan memperlambat bagian namanya supaya si cowok ini tuh ngerti kalau nama dia itu Ella. Biar gak dipanggil yang macem-macem, semacam barbarlah, woi, atau sejenis itulah.

Cowok yang di depannya semakin geram melihat tingkah Ella. Sok cuek kayak lupa sama yang barusan dia lakuin. "Gue cuman nginjek kaki lu."

"Cuman?!" Ella membulatkan matanya memastikan. Perihal upacara tadi pagi dan Ella membuat keributan, itu hanya kakinya diinjak dan itu adalah ulah cowok ini.

"Ya emang cuman, itu juga gak ada sedetik. Gak seberapa sama bogeman dari lu njir setidaknya." Cowok itu sengaja menyondongkan pipinya ke arah Ella agar Ella tau seberapa parahnya korban bogeman tadi pagi.

Ella berdecak. "Gitu aja kesakitan, dasar banci."

Cowok itu tersentak. "Ngomong apa lu?"

"Banci."

"Siapa?"

"Ya elo-lah masa tembok!"

"Yang nanya."

Ella menggigit lollipopnya dengan keras sehingga menimbulkan bunyi kretek. Cowok itu menoleh ringan ke arah Ella yang sudah mulai terbakar emosi.

Pertama, cowok songong ini udah nginjek kaki dia pas upacara yaa jadinya Ella keceplosan ngomong anjing gede banget. Kedua, gara-gara cowok ini juga Ella diinterogasi satu jam lebih sama Bu Mala. Ketiga, sekarang dia sok jagoan banget ngajak Ella ribut lagi. Nyawa dia ada berapa, sih.

"Lo tuh kalo emang nyari ribut jangan di sekolahan, di luar sekolah juga gua jabanin. Mau ribut dimana nanti pulsek, hah?!" Ella melipat lengan seragamnya biar ala-ala preman yang biasa dia liat di film. Cewek itu juga sengaja menaruh gagang lollipopnya bertengger di samping bibirnya.

Cowok itu malah memperhatikannya dengan senyuman mengembang. Lalu dia mengeluarkan minyak wangi dari dalam saku celana, dan memakaikan ke seluruh badannya. Membuat Ella menyergit.

"Woi! Gua lagi ngajak ribut lo, Kampret!" Ella menepuk bahu cowok itu kencang.

Cowok itu melirik Ella tajam. "Brisik banget sih, Barbar! Diem-diem dulu napa, itu ada adek kelas cakep bener njirr."

Ella malah diomelin. Duh nih cowok fix seratus persen gesrek. Tadi dia senyum-senyum sendiri pas Ella udah emosi pake acara make minyak wangi segala, tapi sekarang malah menatap tajam Ella.

"Sinting ya, lo?"

"Iya. Ngapa?!" Cowok itu lebih ngegas dari nada Ella.

Karena jarak keduanya dekat, ini adalah kesempatan untuk mengetahui nama cowok itu. Ella memincingkan matanya ke arah badge name cowok itu kemudian membacanya,  baru mengingat-ingat nama itu dalam hatinya. Setelah ingat, baru dia melenggang ke kelas untuk mengetahui siapa yang terpilih jadi ketua kelas.

"Ellonathan Zhafran, aduh lupa
terus deh gua!" cerocos Ella sepanjang jalan menuju kelas.

°°°

Ella menggebrak pintu kelas kencang. Membuat semua mata tertuju padanya. Namun cewek yang memang kelakuannya udah barbar itu hanya memandang teman-teman barunya cuek. Seolah tadi dia cuman buka pintu pelan-pelan.

"Woii! Sini lo pada kumpul!"

Lagi, Ella bertindak. Kini cewek itu memukul-mukul papan tulis menggunakan tangannya sambil berteriak. Siapa saja yang melihat tingkah Ella pasti langsung menuruti kata cewek itu. Alih-alih takut dipukul, lebih baik nurut saja kan.

Begitu semuanya sudah berkumpul mengelilingi badannya, Ella tersenyum kemenangan. Ini saatnya membuat cowok bernama Ello itu menderita.

"Nanti pas pemilihan ketua kelas, lo pada wajib banget milih Ello." Ella berkata tegas, penuh penekanan di setiap kata.

"Mang ngapa dah? Gua maunya punya ketua kelas yang cantik kayak lu," sahut salah satu teman cowok yang berada di lingkaran itu.

Ella menepuk dahinya. Kacau. "Ya udah, kalo yang milih Ello, nanti gua traktir makan mie ayam di kantin!"

"Yess!!! Gue makan mie ayam gratis."

"Alhamdulillah, tengkyu fren."

"Akhirnya gue nyobain mie ayam di kantin sekolah kita."

Sorakan bahagia itu langsung terdengar memenuhi kelas 11 IPS 1. Membuat senyum di bibir Ella terukir. Kini, ia siap untuk pemilihan ketua kelas.

"Eh, tapi, kalo ada dari lo yang milih gua, urusannya sampe akherat ama gua."

°°°

"Ello."

"Ello."

"Ello lagi."

"Ello lagi."

Ucapan dari temannya berambut panjang dengan kunciran itu membuat Ello semakin menegang di tempat. Pasalnya, dia sedang membacakan hasil dari pemilihan ketua kelas yang sudah berlangsung tadi sesudah istirahat. Dan kini skor yang Ello terima sudah hampir setengah dari kelas ini, sedangkan Ella sendiri belum ada yang memilih.

"Ello."

"Ello."

"Ello."

"Ella."

"Kok ada yang milih gue?!" Itu suara Ella disertai dengan gebrakan meja yang sangat keras. Semua kelas mendadak hening. Kedua perempuan yang sedang bertugas mencatat hasil skor jadi takut membacakannya lagi.

Mata Ella menatap ke sekeliling kelas dan menatap satu persatu temannya tajam. Padahal tadi sudah perjanjian bahwa tidak boleh ada yang memilihnya, masih aja ada yang nyari mati milih dia.

"Woi, Barbar, drama banget dah lu!"

Tatapan Ella beralih ke sebelahnya. Tempat dimana Ello duduk dengan tenang sambil menatapnya santai. Baru saja Ella ingin menabok lengan Ello, ada yang menghentikan.

"Nak, ini-kan demokrasi, jadi teman-teman kamu bebas dong pilih siapa saja." Bu Misratun mulai angkat bicara. Kemudian guru itu mendekati Ella dan menatap lembut Ella.

"Ya, tap--- argh! Iya deh!" Ella sempat kesal sebentar kemudian akhirnya memilih mengalah dan kembali duduk. Padahal dalam hatinya ia berkata, bakalan gua cari ampe tuh anak mampus.

Bu Misratun tenang kalau Ella sudah menurut dan tidak melanjutkan ulahnya. Guru itu melangkah ke depan dan membantu kedua perempuan itu untuk menghitung hasilnya lagi. "Dilanjut saja, Nak."

Perempuan berambut panjang itu mengangguk dan mengambil kertas dari dalam kardus lagi. Dan, lagi ia mengucapkan. "Ello."

Ello hanya bisa pasrah. Tiduran dengan kepala di atas meja serta ditutupi oleh jaket army miliknya. Dia sepertinya mau-gak mau harus ikhlas kalau memang nanti hasil akhirnya dia akan menang. Namanya juga demokrasi, mau demo sudah tidak bisa juga.

"Ello."

Mendengar namanya disebut lagi semakin membuatnya pusing tujuh keliling memikirkan nasibnya nanti jadi ketua kelas. Ello paling malas menjadi ketua kelas. Disuruh ini-itu, dikasih tugas ngumpulin ke guru, dikenal sama guru-guru yang lain, dan membosankan.

"Ello."

Akhirnya, Ello memilih untuk memakai headset dan tertidur di dalam kelas. Sudah tidak peduli lagi akan seperti apa nantinya. Yang penting sekarang dia bisa santai dulu sebelum tugas baru menyusul.

°°°

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro