Bab 3 Baikan?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Adena bertemu dengan Dzaki setelah pulang dari luar kota. Dia ingin memperjelas alasannya pergi bukan karena menjual diri seperti yang Dzaki tuduhkan. Adena memberikan sesuatu kepada kekasihnya sebagai oleh-oleh. Dia sedikit kecewa karena Dzaki yang tidak menyambut pemberiannya. Adena meletakkan disamping pria itu dengan senyum kecil.

"Sayang, aku pergi kemarin sudah pamitan sama kamu. Tapi kamu nggak balas."

Adena masih menunggu reaksi kekasihnya. Tapi pria itu hanya diam saja membuat Adena menjadi was-was. Dia takut jika hubungannya akan kandas seperti sebelum ini. Dia memejamkan mata sejenak untuk mengumpulkan semua ego dan rasa malu, lalu menenggelamkannya ke dasar hatinya.

"Aku minta maaf ya kalau udah bikin kamu khawatir. Aku minta maaf Yang."

Melihat Dzaki yang masih membisu, Adena perlahan meraih tangan kekasihnya tapi pria itu segera menarik kasar. Adena menghela napas, dia hampir saja menangis jika tidak sedang berada di tempat yang ramai pengunjung.

"Sayang, aku benar-benar minta maaf." Suara Adena sudah mulai bergetar saat mengatakannya.

Dzaki menatap datar wajah Adena yang hampir menangis. "Sudah selesai?"

"Apanya?" Tanya Adena bingung.

"Lemot!"

Adena kembali memendam perasaan terluka akibat perkataan kekasihnya. Dia menguatkan hati dalam diam. "Maaf ya kalau aku lemot."

"Kamu tu ngebosenin banget ya. Bikin malas tau nggak. Dikit-dikit bilang maaf, kayak nggak ada ucapan lain aja." Dengkusnya,

"Karena aku salah sama kamu Yang." Cicitnya pelan, perannya di sini selalu serba salah.

"Siapa yang bilang kamu salah, jangan munafik jadi wanita sok baik kamu. Basi!"

Adena lagi-lagi hanya mampu memendam semuanya. Detak jantungnya perlahan meningkat, dadanya juga begitu sesak. Bagaimana bisa dia begitu mencintai pria yang ada di depannya. Bahkan sekali pun tidak pernah memperlakukannya dengan baik. Dia hanya di treatment bagai ratu saat pertama kali mereka bertemu. Saat itu dia sangat bahagia karena Tuhan mempertemukan Dzaki dengannya. Cintanya semakin hari semakin tumbuh subur sehingga Adena tidak tahu bagaimana cara merontokkannya.

"Kenapa? Kamu nggak terima sama ucapanku?" Tantang nya.

Adena tahu kemana pembicaraan ini akan mengarah jika kekasihnya sudah mengeluarkan kalimat tersebut. Mental Adena benar-benar mati rasa menghadapi kekasihnya. Dia ingin sekali berteriak dan melawan tapi hidup tanpa Dzaki membuat hati Adena begitu hampa. Dia tidak berani melangkah meninggalkan pria itu. Di tambah ada alasan lain mengapa dia masih bertahan di sisi Dzaki.

"Sayang, bisa nggak kamu jangan begitu. Kita sebentar lagi akan menikah." Tegur Adena lembut untuk mengingatkan kekasihnya.

"Nikah aja kamu sama orang lain." Ketusnya dan pergi meninggalkan Adena sendiri. Dia mengambil oleh-oleh dari Adena lalu membuangnya ke tempat sampah.

Adena ikut pergi dari sana, matanya terpaku pada tempat sampah. Dia tersenyum kecut. Dia berjalan menuju kasir untuk membayar makanannya. "Berapa Mbak?"

"Sudah dibayar sama Masnya Mbak."

Adena tersenyum tipis dan keluar dari sana. Dia tidak melihat Dzaki lagi. Mobil pria itu juga sudah lenyap dari pandangan Adena. Adena menunduk sejenak dan tanpa sadar air mata jatuh. Dia menangis dalam diam. Dia berjalan menuju taman yang tidak jauh dari tempat mereka makan. Suasana di taman tidak begitu ramai, Adena menuju sebuah danau kecil yang ada di sana.

Adena menangis dalam diam, rasa sesak di dadanya semakin kuat seiring air mata yang berlomba-lomba keluar. Tatapannya tampak sendu menatap danau. Dia merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa lepas setelah diperlakukan sedemikian oleh Dzaki. Malam itu semua sisi rapuhnya keluar, Adena tampak tidak berdaya. Bahunya berguncang hebat menahan agar suaranya tidak keluar. Rasanya sangat menyakitkan saat tidak bisa mengeluarkan luka yang tersimpan begitu lama dalam hati.

Ponsel Adena berdering, Dzaki menelponnya. Adena ingin mengabaikannya tapi tangannya tidak bisa diajak bekerja sama. Dengan pelan dia menggeser tombol hijau dan mendengar suara Dzaki di seberang telpon.

"Kamu di mana?"

Adena tidak bisa menjawabnya. Tangisnya makin menjadi sehingga dia tidak bisa berbicara sepatah pun. Setiap dia membuka mulutnya suaranya tenggelam. Hal itu tentu membuat Dzaki kesal dan meneriakinya.

"Oy tuli, kamu di mana!" semburnya. "Kalau ditanya itu dijawab bangsat!"

Luka yang dia simpan semakin ditimpa dengan luka yang baru. Bibirnya bergetar hebat dan berusaha mengucapkan sebuah kata.

"Aku di taman," ujarnya sambil memegangi dadanya yang sakit. Adena bahkan sampai susah bernapas.

"Ngapain kamu di sana! Bukannya pulang, mau jual diri kamu di sana!" teriaknya nyaring tanpa memikirkan perasaan Adena.

Rasa sakit dan kecewa yang dia simpan selama ini menjadi luka yang perlahan menggerogoti hati Adena. Dzaki menyiram luka itu dengan kalimat pedas yang semakin menambah perih. Adena tidak bisa lagi menahannya. Dia tersenyum penuh luka. Harga dirinya sudah benar-benar dibunuh oleh Dzaki.

"Sayang, maaf kalau aku selalu bikin kamu kesal dengan keberadaanku." Isakan yang sudah dia tahan sejak tadi perlahan keluar. "Maaf karena aku begitu murahan, kamu benar aku memang murahan." Sambungnya.

"Kamu memang murahan. Kenapa? Mau putus? Udah dapat yang baru lagi? Berapa kamu dibayar permalam?" Tanya Dzaki sinis.

"CUKUP!" Teriak Adena keras.

"Aku memang wanita murahan yang menyerahkan harga diriku sama kamu padahal kita tidak ada ikatan sama sekali. Aku juga wanita murahan yang selalu mendatangimu untuk menyerahkan diriku. Hanya aku wanita murahan yang melakukan hal tersebut." Adena menangis pilu mengingat semua kebodohannya.

"Apa maksudmu, hah!" teriak Dzaki marah.

"Bisa nggak jangan menuduhku tanpa bukti Yang. Kamu tahu aku cinta sama kamu, tapi kenapa kamu memperlakukanku seperti ini."

"Kenapa emangnya? Kamu nggak suka? Cari laki-laki lain yang bisa membuat kamu suka!"

Setiap kali mereka bertengkar, Dzaki tidak pernah mengalah. Jika Adena marah maka pria itu akan semakin marah dan tidak segan-segan melontarkan hinaan dan cacian. Hubungan mereka bisa bertahan selama ini karena Adena yang selalu mengalah. Dia yang kerap meminta maaf pada sesuatu yang bahkan tidak pernah dia lakukan. Dzaki adalah pria yang selalu mencari perkara dengan Adena, tapi gadis itu yang selalu mengorbankan perasaannya.

"Bisa nggak kamu memperlakukan aku dengan baik Yang." Pintanya dengan masih mengiba.

"Aku ya begini adanya, kalau kamu nggak terima cari pria lain yang bisa memperlakukanmu dengan baik!"

"Yang, apa sih kurangnya aku?"

"Kamu tu nggak asyik, membosankan dan kamu itu munafik! Aku benci wanita munafik kayak kamu."

Adena menutup mata, dia menghela napas, menghapus air matanya. Sambil tersenyum sedih dia berkata. "Sayang aku lelah dengan pertengkaran kita yang nggak ada habisnya. Kenapa hanya aku yang merasa terluka di sini."

"Owww jadi itu yang kamu mau. Kenapa nggak ninggalin aku kalau kamu udah lelah!"

"Sayang! Kenapa setiap kali kita bertengkar hanya aku yang selalu salah di mata kamu. Kenapa hanya aku yang divonis bersalah. Kita berdua yang membangun hubungan ini. Aku nggak bisa berjuang sendiri kalau kamu sendiri tidak mau membersamaiku." Isak Adena sambil kesal dengan sikap Dzaki yang tidak pernah berubah.

"Bukan aku yang nggak mau berjuang tapi kamu yang membuatku bosan!"

"Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku harus ngapain biar kamu nggak bosan Yang. Aku harus apa?"

"Pikir aja sendiri!"

Adena menatap langit, kepalanya berdenyut sakit dan dia jatuh pingsan.

--------

Gais cerita ini sudah tersedia sampai Bab 7 di Karyakarsa ya. Bagi kalian yang mau baca setiap hari kalian bisa pantengin Karyakarsa oke.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro