Part 1 Terlalu Mencinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Adena menunggu kedatangan Dzaki, matanya sejak tadi melihat jam di tangannya. Sudah tiga puluh menit dia menunggu kekasihnya. Tapi belum juga tiba hingga saat ini. Hal itu tentu membuat Adena khawatir terjadi apa-apa kepada Dzaki. Selama ini pria itu tidak pernah telat menjemputnya. Hari ini Adena meminta tolong kekasihnya untuk menjemputnya karena mobil Adena sedang diperbaiki di bengkel. Dia tidak diperkenankan oleh pria itu untuk menaiki transformasi umum, katanya bahaya.

“Sayang kamu kemana sih, aku tinggal sendirian di sini.”

Desah Adena, hatinya sejak tadi cemas memikirkan Dzaki serta dirinya yang masih berada di tempatnya bekerja. Jam sudah menunjukkan pukul  delapan malam, tempatnya sekarang berada sudah sepi. Selang beberapa menit, ponsel yang sedang dia genggam berdering. Nama pria yang dia cintai tertera di sana, Adena tersenyum lega dan mengangkat panggilan tersebut.

“Sayang aku nggak bisa jemput kamu, aku lupa malam ini tanding futsal, dan aku sudah di sini. Kamu pulang minta jemput Nana aja ya.”

“Tapi aku udah nunggu kamu setengah jam Sayang.”

“Maaf Sayang, sudah ya aku mau main dulu.”

“Aku sendirian di sini, di tempat kerja. Kalau tau begini aku bakalan naik taksi aja tadi.” Kesal Adena yang kecewa sekaligus marah karena kekasihnya lebih mementingkan futsal daripada dirinya.

“Manja banget sih, pulang aja ribet. Udah dulu!”

Panggilan langsung dimatikan, Adena menghela napas kesal dan segera memesan taksi online. Sepanjang perjalanan dia hanya menatap kosong jalanan. Pikirannya sangat kusut, sedih, kecewa serta marah kepada kekasihnya. Adena hanyut dalam pikirannya hingga tidak sadar sudah sampai di depan apartemennya. Setelah membayar dia masuk, membersihkan tubuhnya yang begitu lengket dan bau asem. Lalu merebahkan diri di ranjang. Matanya melihat hampa pada ponselnya, dia membuang asal benda pipih tersebut lalu segera tidur.

Pukul sebelas malam, ponsel Adena berdering nyaring hingga tiga panggilan tak terjawab. Dia meraih gawainya lalu menekan tombol hijau dan mendengar suara yang sangat dia kenali di seberang telpon.

“Sayang, udah tidur?” tanyanya sambil menguap.

Dengan suara serak Adena menjawab. “Sudah.”

“Kamu kenapa jawabnya singkat? Marah sama aku? Kan udah kubilang ada pertandingan.”

“Maaf sayang.” Hanya itu yang Adena ucapkan karena jujur dia malas berdebat dengan kekasihnya.

“Kamu tu ya lama-lama bikin aku bosan.” Setelah mengatakan itu panggilan langsung Dzaki matikan.

Adena menghela napasnya dan memanggil nomor kekasihnya. Namun, selalu ditolak. Dia melakukan panggilan sampai lima kali tapi tetap saja sama. Adena tidak tahu bagaimana menyikapi kekasihnya, seharusnya yang marah adalah dirinya bukan malah sebaliknya. Namun, beberapa bulan belakangan ini sikap Dzaki selalu seperti itu. Jika ada masalah selalu Adena yang harus mengalah, jika ada yang harus marah Dzaki lah orangnya. Adena pelan-pelan menangis karena tidak tahu harus berbuat apa lagi. Sabarnya selalu diuji, ingin rasanya pergi jauh tapi dia sangat mencintai Dzaki. Sebanyak apa pun kesalahan yang diperbuatnya Adena selalu mampu memaafkannya.

Selagi menangis, Adena mendapat pesan dari kekasihnya. Dia segera membukanya dan menemukan barisan kata demi kata yang menyakitkan. Entah kenapa dirinya selalu terlihat sangat jahat di mata Dzaki.

“Jangan salahkan aku kalau perasaanku berubah. Kamu sendiri yang membuatnya begitu.”

Membaca itu tangis Adena semakin pecah. Ujung-ujungnya dia akan meminta maaf agar kekasihnya memaafkannya. Dia terus melakukan panggilan telpon tapi seperti biasa selalu diabaikan. Hingga Adena tertidur dengan tangis yang masih membersamainya. Hal itu sering terjadi beberapa bulan belakangan, dia takut jika Dzaki benar-benar bosan terhadapnya. Banyak pikiran buruk bergentayangan dalam benaknya dan benar-benar membuat Adena terpuruk.

*****

Adena menjalani paginya dengan lesu. Energinya selalu terkuras jika tidak berbaikan dengan Dzaki. Pikirannya kacau, Dzaki seperti menjadi kompas penunjuk arah dalam hidupnya. Sekalinya Dzaki marah inilah yang terjadi. Dia sangat kacau. Adena tipe wanita yang bisa memendam rasa sakit serta kecewa nya asal Dzaki tetap bersamanya. Sebanyak apa pun mereka bertengkar, Adena yang akan selalu menjadi pihak yang akan meminta maaf. Itu sudah dia lakukan selama mereka bertengkar.
Dia meraih ponselnya, mencari sebuah nama lalu menelpon hingga tujuh kali panggilannya tidak terjawab.

Adena mengirim pesan kepada kekasihnya. Pesan permintaan Maaf nya. Sekeras apa pun dia bertahan dari rasa kecewanya, dia hanya akan kehilangan Dzaki. Dia akan selalu menelan egonya demi membersamainya Dzaki selama ini. Meski pria itu yang kerap mencari gara-gara dengannya. Predikat egois dan tidak pengertian sudah disematkan Dzaki kepada Adena.

“Sayang, aku minta maaf karena udah nggak ngertiin kamu. Aku janji nggak begitu lagi. Udahan ya marahnya. I love you.”

Adena segera pergi bekerja selepas mengirim pesan tersebut. Sepanjang perjalanan dia membuka tutup layar ponselnya. Berharap Dzaki membalas pesannya. Adena kembali mengirim pesan kepada kekasihnya sambil menyertakan emot sedih dan menangis.

“Sayang aku benar-benar minta maaf.”

Beda halnya dengan Adena yang galau. Dzaki tersenyum puas melihat pesan yang dikirim oleh Adena. Dia menyadari alasannya melakukan semua itu karena tidak memiliki perasaan spesial lagi kepada kekasihnya. Rasanya begitu hambar setiap kali dia menelpon adena. Rasa bosan juga sering emnggerayanginya saat jalan berdua dengan Adena. Dzaki tidak tahu mengapa perasaan itu muncul saat keduanya sudah merencanakan pernikahan. Dia berharap Adena mau mengakhiri hubungan mereka agar Dzaki tidak begitu bersalah. Dzaki membalas pesan dengan singkat.

“Aku udah maafin kamu.”

Dzaki membuang ponselnya. Dia tidak memiliki minat sedikit pun untuk memperpanjang komunikasi dengan Adena. Dia benar-benar sangat bosan. Pernah terlintas di benaknya ide gila. Tapi masih dia tahan dan simpan rapat-rapat. Dzaki mendengar ponselnya bergetar, dia melihat nama yang tertera dan menghela napas kecil. Dia malas mengangkat panggilan tersebut.

“Ngapain nelpon pagi-pagi, bikin mood hancur aja.” Desah nya dan mengabaikan panggilan tersebut.

“Sayang angkat telponnya sebentar.”

Dzaki mendengkus kesal dan segera mengangkat telpon tersebut dengan setengah hati. “Kenapa?”

“Sayang aku minta maaf.” Sambut suara Adena di seberang telpon.

“Kan udah dimaafin tadi.”

“Apa buktinya kalau Sayang udah maafin aku.”

“Harus banget ya begitu, aku capek Den.”

“Ya udah deh, selamat istirahat Yang. Makasih udah maafin aku.”

Dzaki tidak membalas lagi dan langsung mematikan panggilan. Dia merebahkan diri di ranjang nya dan mulai berselancar di media sosialnya. Dia jujur iri melihat pasangan yang begitu romantis, berbeda dengannya yang malah berakhir membosankan.

*****

Adena hanya tersenyum singkat saat panggilan dimatikan. Entah mengapa air matanya jatuh tanpa diundang.

“Hatiku, jangan pernah lelah. Aku ingin berjuang untuknya selagi aku mampu. Untuk itu bertahanlah ya.” Bisiknya tanpa suara.

--------

Cerita ini didedikasikan untuk pembaca setia aku sekaligus sebagai beta readerku. Makasih Mak tersayangku  DeeYee17

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro