Bab 31 - The Ugly Truth

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Meja yang sudah bersih tanpa piring kotor, menandakan tiba waktunya Pheya mengatakan masalah yang sejak kemarin menggangguku. Suasana kembali berubah tegang. Tidak ada senyum yang tampak di wajah kami bertiga.

"Mila, aku harap setelah mendengar apa yang kukatakan, kau tidak akan gegabah dalam mengambil langkah selanjutnya," kata Pheya memperingatkan. Aku menelan ludah dan mengangguk pelan. Nora pun ikut gugup sepertiku.

"Dave baru mengabariku kemarin, kalau ia menemukan bukti-bukti baru. Di antara bukti-bukti itu, ada satu yang sangat mengejutkanku. Bahkan sampai sekarang aku masih tidak percaya," ucap Pheya serius. Lalu ia meraih tas dan mengeluarkan beberapa lembar foto.

"Ini." Pheya menyodorkan foto-foto itu padaku.

Di foto itu, ada dua orang pria yang terlihat seperti sedang bertukar sesuatu. Aku mengenali salah satunya. Ia adalah orang kepercayaan Paman Robert di perusahaan. Ia juga yang membawa kabur uang proyek dan menghilang sampai sekarang. Namun, aku tidak mengenali pria yang ada di sebelahnya. Wajahnya tertutup topi dan kacamata hitam besar.

"Aku tahu ini siapa, tapi aku tidak mengenali yang satu ini, Pheya. Apa Dave berhasil menemukan identitas pria ini?" tanyaku sambil menatap lekat Pheya.

Ia mengangguk pelan, juga menghirup napas panjang sebelum akhirnya mengabarkan berita utama.

"Itu Danny, Mila."

Entah kata apa yang bisa menggambarkan perasaanku begitu mendengar ucapan singkat Pheya. Pasti gabungan dari kaget, kecewa dan tidak percaya. Aku menggelengkan kepala. Menolak memercayai apa yang baru saja sahabatku katakan. Walau aku tahu, Pheya sedang tidak bercanda sekarang.

"Dave pasti salah. Tidak mungkin Danny ada kaitannya dengan semua ini. Bahkan sebelum kasus ini terjadi, Danny jarang ada di Porthund. Bagaimana bisa ia melakukan semua itu? Sepertinya informasi ini salah, Pheya." Aku masih berusaha tertawa. Aku yakin pasti Dave salah kira.

"Tidak, Mila," jawab Pheya lagi. Ia dan Nora menatapku sedih.

Tawaku perlahan tergantikan dengan suara isakan tangis yang sebelumnya kutahan sekuat tenaga. Mengaburkan pandangan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Paman Rob dan Bibi Meelan jika tahu mengenai fakta ini.

Danny, sepupuku yang tidak pernah memberikan kesan buruk sama sekali. Aku tumbuh dan besar bersamanya. Danny anak yang ceria dan tidak pernah membuat masalah. Ia sangat menyayangi kedua orangtuanya. Aku tahu itu.

"Itu fakta yang ditemukan Dave kemarin, Mila. Aku tadinya tidak ingin mengatakannya padamu. Tapi, cepat atau lambat semuanya pasti terbongkar. Dave sudah berencana untuk melaporkan Danny ke polisi sesegera mungkin, begitu bukti-bukti kuatnya sudah dikumpulkan," jelas Pheya. Nora memelukku, berusaha menenangkan. Sementara Pheya kini tertunduk sedih. Ia terlihat merasa bersalah.

"Danny tidak mungkin sejahat itu pada orangtuanya sendiri. Bibi Meelan begitu sayang padanya. Kalian lihat sendiri, kan? Danny terlihat sangat sedih dan kalut saat Bibi Meelan mencoba bunuh diri." Aku masih berusaha menyangkal. Mengandalkan memori dan logika.

"Ini foto yang diambil oleh seorang detektif yang bekerja di kepolisian. Detektif itu memang sudah mencurigai Danny sejak lama. Ternyata Danny pernah terlibat kasus penggelapan uang sebelumnya, tapi kasus itu segera ditutup karena Paman Rob membayar sejumlah uang agar kasusnya dianggap selesai. Aku juga terkejut, Mila. Danny yang kukenal rasanya tidak mungkin sejahat itu. Selama ini ia ikut membantu mengurus kasus Paman Rob, sebelum ia mengambil alih tugas Paman Rob di perusahaan. Menurut Dave, Danny dan Mr. Alex yang sekarang masih buron, bekerja sama untuk menjebak Paman. Danny membayar Mr. Alex, agar kabur membawa uang proyek sehingga Paman Rob yang disalahkan. Menurut analisa Dave, ada kemungkinan yang diinginkan Danny bukanlah uang proyek itu. Melainkan menguasai perusahaan Paman Rob secara keseluruhan. Akibat terlibat kasus ini, Paman jadi tidak bisa menjalankan tugas. Maka hanya Danny kandidat yang akan menggantikannya."

Aku hanya diam, kehabisan kata-kata mendengar penjabaran Pheya. Kepalaku teramat sakit. Sedangkan kedua mataku tidak berhenti membuktikan rasa sakit yang tengah hatiku rasakan. Tenagaku seolah tersedot habis. Tubuhku lunglai. Aku hanya bisa mengangguk lemah.

"Lebih baik kau bertemu langsung dengan Dave. Biar ia yang menjelaskan semuanya padamu. Bagaimana?"

Aku langsung mengangguk tanpa pikir panjang. Pheya pamit padaku dan Nora, lalu keluar dari dalam restoran untuk menghubungi Dave. Sementara aku beringsut ke dalam pelukan Nora.

Sungguh, aku tidak pernah membayangkan hal seperti ini akan terjadi dalam hidupku. Lelaki yang selama ini kukira baik, ternyata tega menyakiti kedua orangtuanya sendiri.

Baru saja mulai mendapatkan ketenangan, tapi sudah ada masalah baru yang menerpa. Mengapa hidupku tidak pernah sepi dari masalah? Sepertinya hari ini, lagi-lagi aku akan menghabiskan waktu dengan meratapi nasib hidupku.

▪▪▪

Aku bisa melihat Dave duduk di meja bundar yang terletak tepat di hadapan jendela besar. Dave berdiri, bersiap menyambut kedatangan aku, Pheya juga Nora. Ia melihat ke arah kami secara bergantian, tetapi pandangannya berhenti lebih lama saat ia memandang Pheya.

Aku duduk di sisi kiri Dave, sedangkan Pheya di sisi kanannya. Setelah kami semua duduk mengitari meja, Dave mengeluarkan sebuah map cukup tebal dari dalam tas kerjanya.

"Mila, bagaimana kabarmu?" tanya Dave lebih lembut dari sebelumnya. Mungkin karena ia sudah berpacaran dengan Pheya, jadi entah lah. Sepertinya Dave menjadi lebih hangat dan terasa akrab.

"Aku berusaha untuk baik-baik saja, Dave," jawabku mencoba tegar.

Dave mengembuskan napas pelan, tidak mempertanyakan kabarku lebih lanjut. Ia sempat melirik Pheya lalu langsung mengeluarkan berkas-berkas dari dalam map.

"Baiklah. Aku langsung saja ya Mila, Pheya dan Nora," katanya lagi sembari menatap satu persatu nama yang ia sebut. Aku mengangguk, begitu juga dengan yang lainnya.

"Jadi begini. Beberapa hari yang lalu, ada seorang polisi yang datang ke kantorku. Ia mengaku sebagai salah satu detektif dari kepolisian Porthund bagian utara. Awalnya aku bingung, mengapa detektif itu mendatangiku. Kebetulan saat ini aku sedang tidak mengurus kasus yang berhubungan dengan kantor kepolisian bagian utara. Ternyata detektif itu datang untuk menanyakan perkembangan kasus Mr. Robert. Ia juga memberi tahu informasi mengenai kasus penggelapan uang yang dilakukan Danny sekitar tahun lalu. Sayangnya kasus itu tidak berlangsung lama. Mr. Robert segera melakukan semua yang bisa ia lakukan untuk menutup kasus itu sebelum media mengetahuinya. Detektif yang datang menemuiku adalah detektif yang bertugas menangani kasus Danny," kata Dave menjelaskan.

"Siapa nama detektif itu?" tanyaku.

"Jacob. Semenjak tahun lalu, setelah kasus itu ditutup, Jacob terus mengawasi gerak-gerik Danny. Setiap kali Danny ada di Porthund, Jacob terkadang mengikutinya satu hari penuh. Awalnya ia hanya penasaran, seperti apa Danny sesungguhnya. Sampai Jacob mendapatkan foto-foto ini, sekitar empat bulan yang lalu. Semua foto diambil pada hari yang berbeda. Itu berarti Danny bertemu dengan Alex beberapa kali sebelum Alex mulai melancarkan aksi. Aku juga sudah berhasil melacak mutasi transaksi rekening bank milik Danny," lanjut Dave.

Kali ini ia menunjukkan beberapa lembar kertas berisi catatan transaksi keluar dan masuk dari beberapa rekening atas nama Danny.

"Ini, kau bisa lihat. Danny sempat tiga kali mengirim uang dalam jumlah besar ke satu rekening yang sama. Aku sudah memeriksa rekening itu. Ternyata pemiliknya bukan Alex, melainkan Debbie yang tidak lain adalah istri dari Alex. Aku sempat curiga kalau Alex dan istrinya bekerja sama, tapi aku belum bisa memastikan hal itu sekarang. Yang sudah jelas, Danny adalah dalang dari kasus korupsi yang menimpa Mr. Robert."

Dave langsung menarik napas panjang. Sepertinya ia agak kehabisan oksigen karena berbicara terus tanpa henti.

Aku memejamkan mata sejenak, sambil berusaha mencerna baik-baik informasi yang dijelaskan Dave. "Baiklah. Lalu, kapan kau akan melaporkan ini pada kepolisian, Dave?" tanyaku akhirnya.

"Sebenarnya, aku sudah melaporkannya tadi malam, Mila. Seharusnya kepolisian akan melakukan penggeledahan pagi ini, tapi aku meminta mereka untuk menunda sampai nanti sore. Jadi sebaiknya kau bersiap, dan terus menemani Mrs. Meelan," jawabnya bersimpati.

"Nanti sore? Secepat itu?" tanyaku tidak percaya.

Dave mengangguk pasti. "Bukti-buktinya sudah cukup kuat, Mila. Jadi kepolisian bisa langsung mengeluarkan surat perintah penggeledahan di kantor Mr. Robert, juga di kediamannya. Polisi juga sudah mengeluarkan surat penangkapan Danny. Aku sarankan kau ajak Mrs. Meelan pergi dari rumahnya, agar ia tidak harus melihat langsung proses penggeledahan. Tapi, jika tidak memungkinan, lebih baik kau terus menemaninya sampai semua selesai." Dave memberikan saran.

Aku memang harus terus berada di samping bibi Meelan mulai sekarang. Buatku saja fakta ini sudah sangat berat dan sulit kuterima. Apalagi bagi Bibi Meelan. Pasti ia lebih terpukul lagi.

"Baiklah, aku mengerti. Aku serahkan semuanya padamu, Dave. Tolong lakukan yang terbaik, agar Danny mendapatkan ganjaran yang setimpal dari perbuatannya."

"Pasti, Mila. Aku akan melakukan yang terbaik," jawabnya tenang dan penuh keyakinan.

"Ah, ya. Satu lagi, Dave. Bagaimana dengan Paman Rob? Apa ia bisa segera dibebaskan?" Aku bertanya tidak sabar.

"Tentu saja. Begitu Danny terbukti bersalah, Mr. Robert akan segera dibebaskan. Kau tenang saja."

Aku mengangguk paham. Hatiku sedikit tenang, karena Dave menangani kasus ini dengan sangat serius dan terpercaya.

"Baiklah, aku mengerti. Terima kasih banyak, sungguh."

Aku mengulurkan tangan pada Dave, dan ia menyambut jabatan tanganku sambil tersenyum.

"Pheya, Nora. Kalau aku pamit terlebih dahulu, tidak apa-apa? Kalian makanlah dulu sebelum pergi. Aku ingin secepatnya menemui Bibi Meelan," kataku pada Pheya dan Nora.

"Tentu, tidak apa-apa, Mila. Pergilah," jawab Pheya. Aku mengangguk, kemudian berdiri.

"Apa kau yakin tidak ingin kami temani?" tanya Nora dengan raut wajah khawatir.

"Aku bisa sendiri. Kalian tenang saja."

Aku memandangi kedua sahabatku satu per satu seraya menyunggingkan senyum. Dalam hati aku terus meyakinkan diri sendiri kalau semua akan baik-baik saja. Aku pasti bisa melewati masalah ini. Seperti aku berhasil melalui masa-masa terpurukku kemarin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro