Delapan Belas, Unexpected Meeting and a Decision

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


MARSI

Aku pernah bilang ingin membeli buku karangan Dan Brown, karena tergiur review salah satu booktuber di kanal youtubenya, kan? And, this is the time. Pulang kerja, aku menyeret Maya ke Gramedia, meski kami harus melewati adegan kacangan dengan datang menggunakan mobil masing-masing.

"You-are-so-crazy!" kata Maya penuh penekanan saat aku mengajaknya pergi ke gramedia dengan mobil masing-masing.

Aku mengubek tasku, mencari kunci mobil, begitu kudapatkan, aku menatap Maya dengan tatapan penuh permohonan. "Please dong May. Gue lagi pengen ada temennya, nih. Nggak berani sendiri."

"Mau beli apa, sih?" Nada bicara Maya terdengar kesal.

"Origin."

"Seriously? Sumpah ya, lo telat banget."

Okay, I know, membeli Origin di detik ini so late. But just like what i said, this is the right time, tentu setelah bulan-bulan lalu aku harus menghabiskan waktu bersama tumpukan berkas dan target di hari-hari lembur, dan segala macam urusan yang tidak bisa terlewatkan.

"Terserah gue dong, udah ah, gue ambil mobil gue dulu. Awas ya kalau sampai nggak nyusul, lo gue end!"

Aku memang harus memberinya peringatan.

"See you," sambungku lalu meninggalkan Maya yang berdiri di samping pintu mobilnya.

Aku tidak seperti Bapak Wakil Presiden pertama kita, Bung Hatta yang menjadikan buku sebagai satu dari empat kekasihnya–Indonesia, rakyat Indonesia, Rahmi, dan buku–atau sampai punya pemikiran yang akhirnya jadi kutipaan legendaris, Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas. Walau aku jelas setuju sekali, semua orang punya cara tersendiri untuk bisa merasa bebas, bebas dalam artian nyaman dan tenang. Dan Bung Hatta dengan buku-buku juga orang lain dengan cara mereka masing-masing.

Meski aku tidak seperti itu, I love the smell of books. I love reading books. Books are not only a window of the world, but also about friends who understand, without making a lot of noise, right?

Oh, kenapa aku jadi pandai berkata-kata? Aish.

Sampai Gramedia, aku memutuskan aku cepat-cepat masuk, Maya baru saja mengabari jika dia sudah masuk lebih dulu. Sialan memang cewek satu itu, bisa-bisanya sampai duluan.

***

MAYA

Berapa tahun gue mengenal Marsi? Lebih dari lima tahun sepertinya. Apa saja yang sudah kami lakukan? Curhat dadakan soal cowok–memang sih, lebih banyak gue yang ngoceh kisah patah hati, atau bagaimana gue menggilai para pria berdompet tebal.

Sedangkan Marsi lebih banyak mengeluhkancowok yang nekat mendekatinya, yang bahkan sama sekali tidak menggugah minatnya. Atau, soal clubbing rajin kami sejak awal pertemanan, walau dia hanya minum moktail dan berakhir mengantar gue ke apartemen karna mabuk berat. Sampai kenekatan menonton konser Maroon Five yang tiketnya selangit. Paling sederhana ya lunch bareng.

Tapi, gue beri tahu, selama lima tahun itu, gue selalu dibuat terheran-heran dengan pola pikir dan pola tingkah Marsi. She's a mysterious girl.

About the secrets she kept hidden, I never knew. Meski mulutnya terus berkoar kalau gue sahabat terbaiknya, atau gue yang selalu mengerti dia selama lima tahun ini–selain Syahdan, sahabat yang lain, yang tidak begitu dia ceritakan ke gue–tetap membuat gue pernah tidak percaya dengan kedekatan kami.

Dulu di pikiran gue, sahabat adalah bagaimana kita bisa enjoy hidup dengannya, kita clubbing, karaoke, dan bahkan nonton konser bersama atau paling klise, lo bisa datang padanya, mempercayakan segala asa, lalu minta bantuan berupa keputusan bersama.

Marsi tidak begitu. Dia menyimpan sendirian. Awalnya gue diam-diam marah, menuntutnya untuk berbagi. Lama-lama gue sadar, gue nggak bisa egois. Marsi terbuka untuk urusan yang menyenangkan, dan tertutup jika itu berkaitan dengan masalah pribarinya.

Gue mulai bisa memahaminya, termasuk setelah kejadian dia yang seenak jidat jenongnya menusuk tangan dengan gunting, yang tentu tidak pernah lagi dia bicarakan. Dan sejak itu pula, gue lebih teliti terhadap Marsi dan lebih menyadari, dia selalu membutuhkan gue, meski bukan dalam urusan personal. Marsi is my best friend, no matter how she thinks about me. Yang terpenting, gue selalu berusaha ada untuknya.

Dan gue tahu, Syahdan juga begitu. Lebih-lebih setelah tahu, mereka berdua akhirnya menjalin hubungan di atas sebuah komitmen.

"May!" teriakkan Marsi dan tubuhnya yang berdiri di depan sana, membuyarkan lamunan gue. Gue melambaikan tangan padanya, memberinya kode untuk bergabung sama gue di bagian buku katagori novel.

"Lo mau beli buku? Dapet apa?" tanyanya begitu berdiri di samping gue.

Gue menggeleng. "Belum, bingung mau beli apa, lo sih ngajaknya dadakan," kata gue kesal.

Gue termasuk perempuan penuh perencanaan, barang hal sekecil membeli buku di Gramedia, atau akan menonton film apa di bioskop nanti, but tentu saja kecuali rencana makan yang bagi gue, patut dadakan. So, hal seperti ini tentu tidak bisa gue pacahkan dengan mudah, kan?

"Ya udah deh, gue mau cari novel yang gue incer, keknya di sana, sih."

Marsi sambil menunjuk etalase lain.

"Lo cari novel, kan? Ini kan barisan novel, emang nggak ada di sini, ya?"

Jangan salahkan wajah cengo gue, karena jelas Marsi menunjuk etalase yang bahkan jauh dari tempat kami berdiri.

"Nggak, mau cari yang bukan terjemahan, bye."

Dia sudah melesat pergi, gue hanya bisa melongo dan geleng-geleng. "Buset, dah. Nggak tanggung-tanggung, belinya yang asli. Lagipula kalau tahu gitu, kenapa juga nggak beli lewat Amazon, sih. herman deh." Ini gue sudah mulai kesal, lho.

Ah, bodoh amat. Gue memilih buat cari novel yang mampu mengocok perut sekaligus menyegarkan pikiran. Gue ini termasuk penggila cerita romansa, so gue akan cari novel yang sekiranya bagus. Em, genre romcom boleh jugakan, ya?

***

MARSI

I hate the habits I do at the bookstore. berencana membeli satu buku, tapi tertarik lebih dari dua buku, sampai berakhir ke kasir membawa lebih dari tiga buku. Ternyata, setelah hampir empat bulan tidak ke toko buku, bukannya hilang kebiasaan buruknya, aku justru merasa ingin memasukkan semua buku di depan mataku ke dalam keranjang.

Aku mengembuskan napasku kasar. No, don't do it, Mar! Bukan, bukan karna duit yang akan hangus, tapi lebih kepada aku takut justru akan menganggurkan buku-buku yang aku beli, tanpa tahu akan aku baca kapan, mengingat kesibukanku saat ini. Dulu, zaman kuliah masih bisa membaca buku lebih dari lima dalam satu bulan, makin tua, makin berkurang yang di baca, tapi ya kok makin banyak yang di belum. Daripada aku pusing memikirkan buku-buku yang berhasil aku lihat, aku memilih buru-buru mencari buku incaranku. okay, di mana ya? Aku menyusuri setiap jajaran buku pada etalase besar di depanku. Tadi sih aku cek dari komputer ada di sekitar sini dan masih ada stock. So, aku tidak akan di tipu oleh kecanggihan komputer bukan?

"Ayah! Agnes mau beli ini, bagus, ini buku dongen putri cantik!"

Sebuah suara membuatku menoleh. Salahkan fokusku yang sering teralihkan, bahkan pada seorang bocah perempuan yang aku taksir usianya sekitar sepuluh tahunan. Cantik, rambutnya tergerai melewati kerah dressnya, mini dress lengan pendek berwarna merah muda.

"Ya sudah, ayo ke kasir, beli satu saja, kan?"

Begitu aku melihat siapa yang berbincang dengan bocah itu, aku seketika terhuyung tanpa lupa berpegangan pada etalase buku di sampingku. Napas ini sesak hingga mencengkeram leherku sampai sulit menelan ludah. Aku tidak percaya. Tidak!

"Kasirnya sebelah mana, Yah?" tanya bocah tersebut.

"Nah, itu, di sana, yuk antri." Membuatku merapat pada etalase, memilih menunduk sampai langkah kaki berlari kudengar, gadis itu berlari menuju kasir, menghadiahkan punggung padaku. Sedangkan pria yang bersamanya, memilih berjalan pelan dengan bantuan tongkat. Sejak kapan dia butuh bantuan tongkat?

Aku terus mengerjapkan, berusaha menghalau air mata yang hendak turun. Sungguh, pertemuan yang memiliki efek luar biasa bagi kerja seluruh saraf tubuhku.

"Ayah! Cepat!"

Tawa yang kudengar dari pria itu justru terdengar seperti dentuman bom yang meledakkan segala kewarasan. Menghunus dadaku, hingga rasanya begitu sakit tanpa bisa aku jelaskan.

"Iya, iya. sabar, anak Ayah sudah nggak sabar baca, ya?"

Anak Ayah sudah nggak sabar baca ya?

Aku menggeleng. Lupa dengan rencanaku kemari, aku buru-buru keluar toko sebelum tangisku pecah. Sebelum aku sadar, setelah perpisahan kami bertahun-tahun lalu, benci ini ternyata makin menggunung saat bertemu dengan pria yang bahkan, terlihat bahagia dengan keluarga barunya.

Ayah. Aku benci kosa kata tersebut.

***

SYAHDAN

Finally. Setelah mendengar penjelasan dari mulut Jo soal sistem kerjasama dengan Syerin via media sosial nanti, juga soal kapan Hakey di Kuningan akan segera di buka, dan beberapa hal tambahan lainnya, gue akhirnya bisa menyandarkan punggung gue dengan tenang.

Biar gue sebut, ini hari yang melelahkan, walau gue seorang bos–okay, gue jujurkan?–tapi rasanya tetap lelah. Demi suasana yang lebih menyenangkan, sepertinya gue perlu mendengar suara bidadari gue. Tolong, kalian boleh muntah, tapi gue serius, cinta memang serumit ini. Membuat orang jadi gila, termasuk gue.

Setelah menemukan kontak Marsi, gue segera menghubungkan panggilan kami. Gue mengernyit saat panggilan justru tidak terjawab. Wait, bukannya ini sudah jam pulang kantor? Seharusnya dia bisa mengangkat. Sekali lagi gue menghubunginya, kalau dipanggilan kedua tidak diangkat, bisa jadi dia masih di jalan.

"Halo," sapa Marsi lirih.

Yash! tersambung.

"Hai, sudah pulang?"

Gue tidak bisa menyembunyikan senyum, tapi itu hanya sebentar sebab suara di seberang sana berhasil membuat kening gue mengernyit. Gue reflek menegakkan tubuh saat mendengar suara serak bersampur isakan.

"Mar? Are you okay?" panggil gue.

Isakan yang gue dengar makin kencang, membuat kerja jantung ini langsung tidak beraturan.

"Syah ..."

"Y-ya?"

Please. Gue mau kabar baik.

"Bawa gue pulang."

Shit! Marsi tidak sedang baik-baik saja.

"O-okay. Sekarang lo di mana?"

"Parkiran Gramed Melawai."

"Naik?" Sumpah, jantung gue maraton.

"Mobil." Tuhan, kenapa suara Marsi lirih banget?

"Okay, gue otw, ngebut!"

Begitu panggilan kami terputus, aku segera memesan ojol untuk mengantarku ke Gramedia Melawai. Oh shit, untuk apa anak itu kesana? Beli buku? Beli buku bagimana yang berakhir degan suara tangis yang bahkan sudah tidak ingin gue dengar. bukan! Bukan karna gue tidak suka marsi menangis–iya gue nggak suka–tapi lebih kepada, gue nggak suka Marsi menangis karna sedih. Setelah minggu-minggu berat yang kami lewati, haruskah gue mendengar tangis kesakitannya lagi?

Shit! Shit! Shit! Dan beribu umpatan rasanya belum cukup membuat macet di depan mata ini menghilang. Di atas motor, gue rasanya pengen meledakkan seluruh mobil yang menghalangi jalan atau paling kalem memasang sayap pada motor ojol yang gue tumpangi. Rasanya tidak akan ada gunanya, sehingga gue memilih terus berdoa, supaya Marsi tetap di sana. Dalam keadaan baik-baik saja.

Gue bersyukur karna Gramedia Malawei tidak jauh dari Hakey. Setelah melakukan transaksi pembayaran, gue buru-buru ke lahan parkir, gue cari nomor plat mobil Marsi. Rasanya lega begitu melihat mobil Marsi masih terparkir, walau ketika gue menghampiri mobilnya, bisa melihat tubuh Marsi yang meringkuk dengan memeluk lututnya di dalam mobil. Perasaan sesal karna terlambat langsung memenuhi dada gue. Dada gue rasanya sakit banget setiap melihat lo menangis, Mar. Sakitnya sampai ke ulu hati, menghunjam dengan tega, naik pula membuat tenggorokkan gue tercekat.

Pelan gue bukan pintu mobil.

"Syah ..." Gue menelan ludah. Lirih sekali panggilan Marsi.

Tidak mau jadi model ganteng bengong, gue, membungkuk dan langsung meraih tubuh Marsi, membawanya ke dalam pelukan, hal pertama yang membuat dada gue ngilu adalah tangis Marsi yang langsung pecah, kencang, dan terdengar begitu kesakitan. Membuat tenggorokkan gue makin tercekat.

Gue mengeratkan pelukan pada tubuh Marsi. "It's okay, I'm here. I'm here, Mar."

Tangis Marsi makin kencang. Mar, what's wrong? Why does your crying sound so painful? Gue mengelus-elus punggung Marsi. Tidak juga menuntutnya segera bercerita, apapun, asal dia bisa meluapkan tangisnya dulu. Baru, setelah beberapa menit kemudian, Marsi melepas pelukannya, tanpa benar-benar melepas, karna lengannya masih mentereng di leher gue. Marsi menggeser posisi duduknya, seolah mempersilakan gue ikut duduk. Gue ikut duduk, merapat pada tubuh Marsi, membuat gadis ini kembali memeluk gue. Gue balas pelukannya dan kembali mengelus punggungnya.

"Sakit, Syah," ucap Marsi lirih tepat di telinga gue. Sangat lirih.

"Nggak akan sakit lagi, ada gue," kata gue berusaha menenangkan, walau gue tidak yakin. Gue pernah bilang kan, kalau gue bukan penghibur ulung?

"Hiks, sakit. Kenapa, Syah? kenapa saat gue berusaha tenang, gue harus ketemu bajingan itu?"

Tangan gue otomatis berhenti mengelus punggung Marsi. Tercekat. Rasa terkejut menghantam dada gue. Dia bilang apa? bajingan? ba-ji-ngan?

"Sakit Syah, sakit banget."

Gue menelan ludah. Rasanya ingin memutar musik sekencang-kencangnya supaya tidak mendengar suara tangis Marsi. Serius, sakit sekali mendengar Marsi menangis.

"Kenapa gue harus ketemu dia? Hiks, Kenapa?"

Marsi menatapku, jenis tatapan yang membuat ludah gue rasanya berhenti di tenggorokan. Tatapan mata yang berhasil meredupkan sinar matanya.

"Gue ... gue ..." Shit! Kenapa gue kehilangan kata-kata, sih?

"Kenapa?" tanyanya lagi.

Kenapa?

"Jawab, Syah! Kenapa lo diem aja, hah!" teriaknya.

Gue terkejut. Jelas. But, Mar, I don't know. I don't know why you should meet him, teriak batin gue.

Marsi mendadak melepas pelukan kami. Matanya terlihat bengis dan penuh tuntutan. Gue tidak bisa berkata-kata. Namun, dari mata Marsi, gue sekarang bisa menebak, siapa yang Marsi maksud sejak tadi.

"Kenapa gue harus ketemu papa, Syah?" Mata Marsi melembut, menatap gue penuh rasa tidak berdaya.

Gue peluk lagi Marsi, membiarkan tangisnya kembali pecah. Orang yang sejak tadi diteriakkan oleh Marsi adalah papanya. Gue bahkan sampai tidak bisa bicara apa-apa. Dari sekian tempat, kenapa tempat ini yang menjadi tempat pelabuhan papa Marsi yang tidak ingin atau bahkan hanya belum ingin Marsi temui?

"Mar," ucap gue pelan.

Gue nggak tahu harus bicara apa. Gue tidak pandai berkata-kata, bahkan hanya bisa menatap Marsi yang wajahnya sudah tidak bisa dijabarkan. kuyu dan penuh kesedihan. ekspresi yang beribu-ribu kali tidak mau gue lihat. Wajah yang seolah seperti ujung tombak yang menikam dada gue. Tajam, dan saat menanjap, rasanya sakit sekali.

"Dia di sini, dengan anaknya." Marsi kembali bicara, menjelaskan situasi yang dia alami. Dan begonya, gue hanya bisa menarik kepala Marsi supaya tenggelam di dada gue sambil membisikkan kata-kata, "You are strong. You can get through this." Karna gue nggak tahu harus bicara apa dan bagaimana. Gue syok, jelas. Sepanjang gue hidup, inilah kesakitan teramat dari perjalan hidup ini. Mendengar dan melihat Marsi menangis.

***

SYAHDAN

Setelah mengabari Maya, yang ternyata baru gue ketahui ikut ke Gramed, gue segera menekan pedal gas mobil Marsi, mengantarnya pulang. Sepanjang jalan Marsi hanya diam, sesekali isakannya masih terdengar. Gue menahan diri untuk menuntut penjelasan lebih, namun dari kata-katanya tadi, gue tahu, she met her father dan mungkin, bisa jadi, papanya tidak sadar.

Perjalanan menuju rumah Marsi memang terasa sangat lama, namun kami akhirnya sampai. Marsi tidak langsung turun dari mobil, tidak juga meminta kunci mobilnya, dia hanya terus terdiam,.

"Gue antar ke dalam, ya," kata gue.

Marsi mengangguk, membuat gue langsung turun dari mobil, memutari mobil dan berhenti di depan pintu tempat Marsi duduk. Gue buka pintunya, mempersilakan Marsi keluar. Tidak mau Marsi melewatinya sendirian dan sekaligus meyakinkan Marsi kalau ada gue di sisinya, gue genggam tangannya erat-erat dan menemaninya masuk rumah. Begitu masuk, hal pertama yang kami temukan adalah Tante Laudi yang sedang menonton televisi.

"Oh, ada Syahdan, eh kakak kenapa?"

Biar gue tebak, Tante Laudi sepertinya sadar dengan keadaan Marsi saat ini.

"Aku ke kamar dulu, Ma," pamit Marsi langsung naik ke lantai dua.

Tersisa gue di hadapan Tante Laudi, yang jelas tidak punya pilihan, sehingga gue bawa dia untuk duduk di sofa. Ditengah-tengah suara televisi yang masih setia memecah kesunyian.

"Marsi, kenapa?" tanya mama terdengar buru-buru.

Kilat mata penuh rasa khawatir yang terlihat dari bola mata mama makin menohok dadaku.

"Marsi ... nggak sengaja bertemu papanya," kata gue pelan.

Reflek pertama Tante Laudi adalah menutup mulutnya dengan tangan. Reflek kedua, dia berdiri.

"Mama harus ke atas." Dan gue segera mencegah.

"Jangan dulu, Ma. Biarkan Marsi tenang dulu. Nanti malam, baru bisa kita tengok."

"Tapi, Syah–"

Gue tersenyum padanya, berusaha meyakinkan. "Percaya sama aku."

Dan Tante Laudi percaya. Dia duduk kembali, meski raut mukanya terlihat penuh dengan kegelisahan.

"Di-di mana?" tanya mama.

"Di mana Marsi bertemu Papanya?"

Gue tatap mata mama lekat-lekat dan menjawab, "Toko buku."

Keheningan mendadak memayungi kami. Tante Laudi cuma menunduk, bisa gue lihat tangannya yang gemetaran, tangan yang akhirnya gue genggam.

"Setelah kamu tahu keluarga kami, kamu masih mau dengan Marsi, Syah?"

Tuhan. Pertanyaan macam apa ini? Gue jelas terkejut, tapi tetap mempersembahkan senyum gue dan jawaban mantap tanpa perlu kembali bertanya. Gue eratkan genggaman pada jemari wanita di depan gue.

"Selalu. Selalu mau, Ma."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro