Dua Belas, Things We Can't Control

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

MARSI

"Pagi, Kak," sapaan Dimas menjadi hal pertama yang aku dengar pagi ini.

"Morning, Brother." Tersenyum pada Dimas yang duduk di balik meja makan.

"Oh, sudah siap. Duduk dulu. Kali ini kamu harus sarapan, ya. Sarapan bikin kamu sehat," kata mama sambil tertawa. Aku ikut tertawa. Oh, okay, Nyonya.

"Aku mau bikin teh dulu ya, Ma," kataku.

Sementara menanti mama menyelesaikan sesi memasak, aku mengambil cangkir dari rak, berniat membuat teh. Aku punya masalah dengan efek sehabis minum kopi, sehingga aku memilih menyeduh teh. Aneh memang, setiap selesai menghabiskan satu gelas kopi pasti akan berkunang dan mual. Paling parah sampai tidak bisa bangun dan merasa mau mati. Dulu, aku kira memang mau mati, tapi ternyata itu karna efek kafein.

"Kak, Mama buatkan kamu pancake," seru mama.

Aku mengernyit. "Tumben, Ma."

"Iya, soalnya supaya kamu mau sarapan. Nggak biasa makan nasi, kan."

Aku kehilangan berkata-kata. Cara mama bersikap kali ini justru membuatku merasa bersalah.

"Aku suka sarapan kalau itu masakan mama kok," kataku serius.

Mama menaruh pancake di meja, di samping tehku.

"Kalau gitu makan pancakenya. Mama siapkan masakan buat makan siang kamu, ya?"

Aku menggeleng. "Nggak usah, Ma. Pagi ini aku sarapan pancake sama masakan lainnya," kataku akhirnya.

Mama mengangguk senang. Aku biarkan mama kembali sibuk. Sepuluh menit kemudian, kami sudah menikmati sarapan bersama. Sarapan dalam diam, namun tidak menghilangkan kehangatan diantara kami.

I'm not used to breakfast. Pekerjaan bukanlah alasan. Alibi paling sederhana yakni, papa sudah tidak ada diantara sarapan kami. Ini yang membuat aku nekat menahan lapar dan buru-buru pergi. Lantas, semua menjadi kebiasaan yang aku tekuni.

Duduk bertiga mengelilingi meja makan membuatku tahu rasanya mengunyah, menelan lalu menyendok kembali dengan tetap memindahkan kenangan-kenangan buruk ke tempat paling tersembunyi. It's hurt.

Namun mama menjadi kuncinya, yang membuatku tetap waras setelah menyelesaikan sarapan. Dimas yang sudah selesai sarapan segera berpamit. Katanya ada urusan di kampus. Aku membalik sendok lalu menyusul berdiri untuk mencuci tangan dan mulut.

"Hari ini pulang jam berapa, Kak?"

Aku mematikan kran air kemudian mengelap tangan dengan kain serbet.

"Em, kayak biasa, Ma. Sore menjelang magrib. Kenapa?"

"Makan malam di rumah, kan?"

Aku mengangguk meski masih membelakangi Mama. "pasti, Ma."

"Nanti Mama siapin masakan yang enak lagi."

Aku tertawa, padahal mau masakan apapun, masakan mama adalah yang paling enak.

"Kak, kalau ada apa-apa cerita, ya," kata mama tiba-tiba.

Aku tidak jadi berbalik. Ini adalah pembahasan sekian kalinya dari mama semenjak pulang dari rumah sakit.

"Kak," panggil mama lagi.

Berbalik, aku menghadap mama yang masih duduk di kursi. Tatapan mama seolah menyiratkan rasa khawatir. Sepanjang hidup selalu di tatap penuh kebanggaan kemudian di tatap penuh belas kasihan, meski itu dari mama, aku merasa gagal dalam menjadikan mama prioritasku.

"Iya. Jangan khawatir, Ma," kataku akhirnya tanpa lupa menyisipkan senyum.

"Katanya, seiring berjalannya waktu, luka akan lekas sembuh," ungkap mama dan aku memilih diam,

"Namun, ternyata itu nggak benar, Kak. waktu Mama kehilangan suami. Mama berhasil bangkit demi kalian dan karna kalian. Tapi, Mama lupa, kalau luka paling dalam adalah luka anak yang kehilangan komitmen dari orangtuanya."

Aku meremas jemariku, menatap serius mama lalu berkata, "Aku baik, Ma."

Paling tidak sekarang.

Mama mengangguk. "Maaf ya, Kak."

"Mama udah bilang berkali-kali, dan aku akan selalu jawab, Mama nggak pernah salah."

Rasanya seperti mati berdiri saat melihat bibir mama bergetar. Mama berdiri lantas menghampiriku. "Hati-hati di jalan."

Aku mencekal lengan mama yang hendak berbali. "Ma, jangan merasa bersalah. Maka aku juga akan baik-baik aja."

Mama mengangguk. Mengelus pipiku sebentar, mengecupnya lama lantas mengantar sampai mobil. Aku menelisik kembali apa yang sudah terjadi. Ini yang selalu jadi rasa takut. perasaan bersalah mama dan pikirannya yang bercabang.

Aku menyesal. Jika bisa mengulang waktu, akan lebih baik sepulang makan malam kemarin tidur dalam tangis atau ... minimal tidak mendengarkan obrolan keluarga sialan itu. Dan, semua akan baik-baik saja, kan?

***

Sedikit tersentak saat sebuah tangan mampir di bahuku, meremas lalu menepuknya.

"Morning, baby," sapa Maya. Aroma yang aku kenal menembus penciumaan, ini aroma Patchouli.

"Morning. Dari mana aja?"

"Nih, bikin kopi." Maya menunjukkan segelas kopi yang masih mengepul.

"Gimana, hari pertama kerja setelah liburan?" godanya.

Alisku menukik. "Emang itu liburan, ya?"

Maya tertawa. "Yap. Gimana, udah baikan?" tanyanya balik kemudian meminum kopinya. Aku mengangguk sebagai jawaban lalu kembali menekuri ponsel.

"Good."

Maya meletakkan kopinya di atas meja.

"Guys Guys!!! Jangan lupa pagi ini kita meeting!" teriak Wendi dari ambang pintu.

Aku mengelus dada. Dia kalau teriak nggak lihat kondisi banget. Dan kenapa pagi ini dua gadis ini harus sama-sama memgejutkanku?

"Kaget, Wen!" teriakku kesal.

Wendi dan Maya tertawa.

"Uh, sorry girl. Seneng deh lo udah berangkat," katanya kemudian.

Aku berdecak. Wendi kemudian duduk di kubikelnya dan merapikan rambut.

"Duh, gue naik ojol, nih. Sia-sia deh nata ranbut," keluhnya.

"Duh-duh aja, deh," komentar Maya sambil tertawa.

"Lagian kalau mau naik ojol, nggak usah on point dandannya," ucapku.

"Please bu ibu. Gue selalu ingin tampil cetar, ya. Emang Incess aja yang bisa cetar," cibir Wendi.

Aku hanya bisa geleng-geleng sambil tertawa, sedangkan Maya sudah memijat keningnya.

"Permisi, Mbak-Mbak."

Aku menoleh ke ambang pintu. Seorang satpam dan senyum cerahnya aku temukan.

"Gimana, Pak?" tanya Maya.

"Mau antar titipan, nih, Mbak. Buat Mbak Marsi."

Aku mengernyit. "Dari siapa, Pak?"

"Duh nggak bilang namanya, Mbak. Cuma bilang kasih ke Marsi, ya, Pak. Gitu Mbak."

Aku mengangguk. Lalu menerima titipan yang berupa paper bag, saat kutengok, isinya box makan.

"Makasih ya, Pak."

"Siap, Mbak." Setelah satpam tersebut pergi aku kembali ke kubikel.

"Dari siapa, nih?" Wendi mendekat padaku sampai kursi kami menempel.

Aku mengangkat bahu. Memilih langsung membukanya.

Maya tertawa. "Duh, penggemar, nih?"

"Masih ada ya begituan buat gue yang tua gini?"

Maya dan Wendi tertawa. Sedangkan aku tekejut saat menemukan memo di dalam paper bag. Baru akan aku baca, tiba-tiba Maya merebutnya.

"May!"

Maya berdiri dan mengangkat memo itu tinggi-tinggi. "Chickpeas tempe sambal bongkot with teri, nasi shirataki and salad. This one is for you! From Syahdan and WOW!"

Aku mendesah. Sialan!

"Syahdan yang kemarin itu? Waaa ... jadi udah official ini? Duh so sweet," kata Wendi sambil cekikikan. Kombinasi Syahdan dan dua temanku memang membuat pening.

"Udah, siniin memonya!"

Aku merebut memo tersebut, sedang Maya dan Wendi masih saja tertawa.

"Duh, mau deh di kasih gituan." Masih suara Wendi yang menggoda.

"Gue juga, nih," timpal Maya.

Dua gadis ini jika aku beri respons pasti makin menjadi-jadi. Aku diamkan saja, memilih membalik memo tersebut dan menemukan susunan kata lagi.

Buat makan siang lo. Sorry nggak bisa jemput ke rumah. Hakey lagi sibuk banget, soalnya kemarin habis gue tinggal ngurusin calon istri :D :*

Aku berdecak menahan kegelian. Tai cicak emang Syahdan ini. Namun, membuatku tidak bisa menahan senyum karna tingkah yang tidak ada habisnya.

"Nah, mulai deh ada di dunianya sendiri. Senyum-senyum, tuh," teriak Maya tidak ada habisnya.

"Hem. Percaya, deh," sambung Wendi.

Aku cemberut. Tetap tidak berniat memberi respons, memilih memerhatikan masakan dari Syahdan.

"Lucu banget, sih," komentar Wendi.

"Idih, dulu aja nolak waktu gue cie-cie. Sekarang aja sok manis."

Aku tertawa pelan. "Mohon maaf, ya. Pesona gue lebih tepatnya yang ngak bisa terabaikan."

Aku makin terbahak saat melihat mereka beradegan muntah.

"Tapi, gue penasaran lho sama hubungan lo sama sih siapa tuh, Syah-Syah itu," kata Wendi.

"Mohon maaf, bukan konsumsi publik," kataku tegas.

Wendi langsung cemberut.

"Wen. Jangankan lo, sama gue aja nggak cerita."

"Tunggu tanggal mainnya aja, ya," ujarku sok misterius.

"Beh, nggak kuat, deh." Wendi mengangkat tangannya. Sedangkan Maya sudah geleng-geleng heran. Aku? Tentu saja tertawa karna senang.

"Eh bentar, gue lupa. Kunci mobil gue mana, ya?" tanya Maya tiba-tiba.

Nah, kebiasaan. Maya mengobrak-abrik mejanya.

"tuh, jatuh," kataku.

"Makanya habis keluar mobil langsung taruh di tas, May," komentar Wendi.

Aku membungkuk untuk mengambil kunci Maya yang jatuh lalu menyerahkan pada Maya. Pasti waktu dia heboh tadi tidak sadar terkena tangannya dan jatuh.

"Iya-iya–Wait! Tangan lo kenapa?" tanya Maya tiba-tiba.

Mataku terbeliak, buru-buru menyembunyikan tanganku.

"Eh iya. Kok di perban?" Sambung Wendi.

"Kepisau," kataku cepat.

Maya mengernyit. "Kapan?"

"Kemarin." Aku memalingkan wajah. Menghindar dari tatapan penasaran mereka.

"Morning!" Sapaan yang berhasil menyelamatkanku.

"Morning Bos," balasku.

"Oh, Marsi. Sudah berangkat."

Aku mengulas senyum.

"Good. Lain kali jangan capek-capek," pesan Bos Mega.

"Siap, Bos," jawabku mantap.

"Okay, kita meeting pagi ini, ya. Sambil nunggu yang lain. Ayo, ke ruang meeting dulu."

"Siap!" jawab kami serempak.

Aku segera mengambil berkas meeting tanpa peduli tatapan Maya yang rasanya tengah mengawasiku sedang Wendi sepertinya sudah lupa.

"Nggak mungkin kena pisau kalau di perban pergelangan tangan dan sebesar itu. Lo utang cerita banyak ke gue," kata Maya.

***

Siapa pencipta peribahasa Sepintar-pintarnya bangkai ditutupi,
baunya tetap tercium juga? Atau peribahasa sepandai-pandainya tupai melompat, akan jatuh juga? Karna aku ingin mengatakan. Benar! Apa yang di sembunyikan serapi mungkin, tetap akan ketahuan. Terlebih jika orang yang mengendus baunya adalah Maya.

"So, bisa gue tahu dari mana lo dapet luka itu?"

Maya melipat lengannya. Berdiri di samping kubikelku. Aku bahkan belum sempat memasukkan sesuap nasi dan lauk yang Syahdan berikan.

Aku membuang napas. "Gue nusuk," kataku santai lantas memakan masakan Syahdan. Enak banget.

"What?" pekik Maya.

"Maksudnya, nusuk tangan lo?"

"Iya."

"Mar, are you crazy?"

"Maybe."

Kali ini aku tidak boleh kecolongan dengan menunjukkan sisi lemah sehingga Maya tidak akan menggunakan kesempatannya untuk mendesak supaya aku bercerita.

Maya menyentak lenganku, membuatku hampir tersedak.

"Guwe lage mhaqan." Ucapanku tidak jelas karna mulutku penuh makanan.

"Cerita!" tuntutnya.

Aku menggeleng. Tidak, jika untuk membuka luka.

"Males. Udah, gue mau makan."

"Mar," paksa Maya.

"Ada bagian yang nggak bisa lo paksakan, May. Dan itu tentang urusan pribadi gue."

"Gue kira temenan lama sama gue bisa bikin lo banyak omong."

Aku mengulas senyum lalu menggeleng.

"Sekarang udah okay?"

Aku mengangguk. "Yap. I'm okay. Oke banget."

"Makanya gue curiga, mana bisa kecapekan selama itu nginepnya di rumah sakit kecuali lo kena mag lagi."

Aku tertawa. "Udah, sana cari makan siang. Gue mau makan ini, nih."

Maya berdecak. "Percaya deh yang dapat makan siang gratis."

Aku tertawa saja melihatnya yang kesal.

"Tapi, Mar. Gue selalu ada kalau lo butuh cerita. Kapanpun lo mau datang."

Aku hanya tersenyum. Memilih tidak menanggapi terlalu jauh.

***

Hal pertama yang membuat mengernyit ketika sampai di rumah adalah mobil mini merah terparkir di halaman. Aku kenal mobil itu. Mobil Tante Mayang, satu-satunya adik mama.

"Nah, ini dia udah pulang, Mbak." Kalimat yang kudengar setelah masuk rumah.

"Lho, ada Tante Mayang sama Manda," kataku basa-basi.

Aku menghampiri Tante Mayang lalu mencium punggung tangannya.

"Pulang kerja, Mar? Sore banget," komentar Tante Mayang.

Aku mencibir dalam hati. Belum juga duduk sudah mendapat komentar.

"Namanya juga kerja di kantor, Tan." Aku harus tetap sopan.

Aku ikut duduk di sofa. Mataku mencari keberadaan mama lalu menemukan mama keluar dari dapur dengan dua gelas minuman dingin.

"Eh udah pulang, Kak."

"Udah, Ma. Kan mau makan malam sama Mama," jawabku riang.

Mama tertawa. Menaruh dua gelas minuman dingin lalu duduk di sampingku. "Minum May, Man."

"Makasih ya, Mbak," kata Tante Mayang.

"Tante kamu mau mantu," kata mama sambil tersenyum.

Aku mengangguk. Oh.

"Manda yang mau Nikah?"

Manda yang sejak tadi diam saja mengangguk. "Iya kak. Tanggal dua tujuh. Dateng ya, Kak."

"Okay. Tenang aja."

"Oh ya, tiga hari yang lalu gue sebenernya udah ke sini, Kak. Tapi, rumah kosong. Nomor Kak Marsi sama Bude juga nggak bisa di hubungi. Kalian juga nggak hubungi kami balik."

Aku menipiskan bibir. Tiga hari yang lalu adalah malam pertama di rumah sakit. Dan aku sampai tidak tahu kalau dari sekian panggilan, ada Manda di salah satunya.

"Oh, itu ... kemarin–"

"Kayaknya waktu kita keluar malam, ya, Ma." Aku memotong.

Aku menatap mama. Semoga mama paham dengan permintaanku untuk tidak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Mama akhirnya mengangguk.

"Pantas," kata Tante Mayang.

"Oh, ya. Gimana, Mar. Kamu udah ada calon?"

Nah ini dia pertanyaan paling aku hindari. Heran juga kenapa emak-emak punya hobi bertanya soal calon pasangan setiap bertemu manusia lajang.

"Belum, Tan." Memang itu, kan kenyataannya.

"Kamu ini, lho. Kerja mapan, usia matang, buruan cari. Nggak baik buat perempuan kalau telat nikah, lho. Susah dapet anak," komentar Tante Mayang.

Aku mengerjap. Menahan dongkol yang rasanya mau muncrat.

"Ya doain, ya, May. Namanya juga belum waktunya," balas mama santai.

"Duh, Mbak. Sekarang ini yang namanya jodoh jangan santai, dong. Lihat, nih Manda. Dua tiga udah mau nikah."

Duh. Aku melirik Manda yang terlihat tidak nyaman. Pasti dia juga pusing melihat tingkah mamanya.

"Ya itu karna waktunya Manda nikah usia segitu. Kamu ini, lho. Urusan nikah itu cuma punya Tuhan."

"Ya, kan, manusia harus berusaha, Mbak." Tante Mayang masih kukuh.

"Usaha sekuat apapun, kalau Tuhan belum berkehendak. Kita bisa apa, Mayang? Ada beberapa perkara yang itu di luar kendali kita. Salah satunya soal menikah. Mau usaha sampai ujung dunia kalau belum waktunya, ya belum. Atau, mau menghindar sekuat tenaga, kalau sudah jatahnya, kita nggak bisa menghindar."

Aku tersenyum mendengar perkataan mama. Hati ini terasa hangat. Mama dan kebijaksanaannya adalah hal yang selalu aku syukuri. Aku lihat Tante Mayang cemberut, mungkin kesal.

"Ya sudah, deh," katanya akhirnya.

"Dah. Ayo makan saja. Mayang, Manda. Sekalian ya, habis itu kalian bisa balik."

"Nggak usah, Mbak. Kami buru-buru. Mau mampir beli perlengkapan nikahan Manda."

Aku menahan tawa melihat wajah Tante Mayang yang terlihat dongkol. Tanpa berpamitan lagi dia buru-buru mengajak Manda keluar. "Ayo, Man!"

Manda meringis. "Bude, Kak Marsi. Pulang dulu, ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawabku dan mama.

Demi kesopanan, kami tetap mengantar Tante Mayang dan Manda sampai depan hingga mobil mereka menghilang.

"Mama siapin sayurnya dulu, ya," kata mama lalu masuk.

Tidak tahan dengan dada yang terasa penuh akan kebahagiaan. Aku menyusul mama ke dapur. Segera aku peluk erat tubuhnya dari belakang.

"Eh, kaget, Kak."

"Makasih ya, Ma."

Mama tertawa. Tangannya menggengam tangan yang aku lingkarkan pada perutnya.

"Mama juga makasih karena kamu sudah selalu ada buat mama."

Aku mengangguk. Hal-hal sekecil inilah yang selalu membuatku tidak ingin mama bersedih. Semata-mata cuma demi senyum mama.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro