Chapter IV | Hunting The Others in Japan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seharian mendengarkan penjelasan guru Matematika adalah hal yang sangat membosankan. Aku lebih suka lari mengelilingi lapangan ketimbang mendekam dalam kelas ini. Dengan bertopang dagu, aku menatap ke arah bangku lain. Mataku berkeliling, lalu terhenti pada satu objek yang membuatku merinding–sosok gadis dengan bandana motif bunga higanbana yang melingkar di kepalanya. Ia menatapku dan mengedipkan sebelah matanya.
Buru-buru kupalingkan pandanganku dan fokus memerhatikan guru di depan.

“Jadi, kelipatan dari angka dua dan ....” Aku menguap dan memilih menempelkan wajahku ke meja sambil menatap Sain yang fokus menyimak penjelasan guru.

“Sepertinya kau sangat mendambakan kehidupan seperti ini,” ujarku mendesah, “Sangat ambisius seperti teman satu kamarku.”

Sudut bibirnya tertarik ke atas. “Si ketua kelas?” Aku meangangguk.

Sain menghentikan kegiatan menulisnya, “Sejak masuk kelas ini, dia selalu tampak menonjol,” imbuhnya, “Dia saingan yang sangat kuat. Aku akan mengalahkannya.”
“Lakukan saja,” ungkapku lalu mengubah posisi wajahku menghadap ke arah lain.

Apa cuma aku yang tidak menyukai akademi ini? Tetapi terpaksa menjalaninya dan menyelesaikan sebuah misi besar. Ck.

Jam pelajaran akhirnya berakhir juga untuk hari ini. Saatnya memasuki waktu berburu The Others setelah jam istirahat berlalu. Aku berjalan menyusuri kantin seorang diri, karena Sain memiliki keperluan di perpustakaan. Biasalah, diakan Tuan Ambis II, yang pertama adalah Giandra.

Mendudukkan diri dengan malas dan menghempaskan wajah di atas lipatan tangan di meja kantin, aku mendengus kasar. Hingga suara asing mengganggu waktu bersantaiku. “Hai, kau Daichi Birger?”

Aku berdehem dan tetap mempertahankan posisiku.

“Aku Xie’er, teman sekelasmu, mari berteman,” katanya dengan nada ceria.

Masih diposisi yang sama seperti sebelumnya, aku tak merespon perkataan gadis bernama Xie’er ini meskipun aku mendengarnya. Aku sedikit malas berhadapan dengan para perempuan, kakak dan adik perempuanku tentunya pengecualian. Bunyi ketukan di atas meja membuatku sadar jika gadis yang kuabaikan itu belum juga beranjak pergi dari hadapanku. Ia kembali menyeru, “Ayo bertukar ID BA-Line dan saling follow di O-Gram.”

“Tidak.” Satu kata meluncur begitu saja dari mulutku. Aku mengubah posisi dudukku menjadi tegap dan menatapnya. Aura kekuatan besar terpancar dari kedua bola matanya yang bening. Wah apa ini? Aura kematian?

Kami bertatapan cukup lama hingga ia memecah keheningan kembali. “Kenapa?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca.

“Aku tak ingin berbaur.” Aku bangkit dan pergi begitu saja.

Xie’er, dia gadis yang menyebalkan dan terlihat manja. Akan sangat merepotkan memiliki teman sepertinya.

- oOo -

Seminggu lebih berada di BA (Bhagawanta Academy), aku mulai beradaptasi. Seperti mengikuti jadwal mata pelajaran seperti di sekolah-sekolah SMA–di tambah mata pelajaran aneh. Serta misi khusus yang mungkin hanya ada di akademi ini. Oke, kuakui, akademi ini menakjubkan–dan pantas saja, Tro Sain sangat menyukai tempat ini. Namun itu tak membuatku ingin berlama-lama di sini. Sungguh!

Aku harus menemukan Kak Kayda dan kembali menjalani kehidupanku; peracik ramuan ajaib. Yah, meskipun seminggu ini aku memiliki banyak uang karena berburu The Others. Tak menutup kemungkinan, aku lebih suka uang pemberian para pelanggangku ketimbang yang diberikan oleh Eva (bendahara kelas).

Bunyi notifikasi dari ponsel terdengar nyaring. Membuatku yang tadi rebahan di kasur sambil menatap langit-langit kamar, bergegas meraih ponselku yang berada tak jauh. Pesan dari aplikasi O-mail seketika memenuhi layar ponsel. Aku membacanya cepat.

Itu sebuah misi baru untuk hari ini dan kali ini aku akan solo-action. Tanpa bantuan Tro Sain. Aku terbeliak begitu mengetahui bahwa misiku kali ini berada di negara yang tak ingin kukunjungi lagi di bumi; Jepang.

Jangan tanya kenapa, karena tiba-tiba saja aku bad mood.

Mendesah pelan, aku menatap pantulan diriku di depan cermin besar di dalam kamar ini. Wah, rambut pirangku makin panjang saja. Apa akhir pekan ini aku ke barbershop saja menghabiskan uang-uangku? Bukan ide buruk dan ingatkan aku untuk itu.

Ada beberapa tempat yang kusukai di sini, salah satunya danau buatan yang diberi nama Happines Lake yang sedang kulewati ini. Berlokasi tepat di depan Male Hostel (asrama khusus laki-laki). Aku juga amat menyukai Green House di gedung sayap kanan, di sana aku bisa melihat macam-macam bunga dan tumbuh-tumbuhan langka yang sulit didapatkan. Aku akan mengambil beberapa sebelum meninggalkan tempat ini.

Oh iya, berbicara mengenai tempat, ada banyak sekali tempat di akademi ini. Bahkan kemarin aku baru tahu jika di sini ada perumahan elit tempat para guru dan para pengelola akademi ini. Jika ada waktu luang aku akan kesana melakukan operasi tersembunyi (untuk sesuatu, kalian tak perlu tahu)–kuingatkan untuk tak membocorkan rencanaku ini, awas saja.

Begitu sampai di luar gerbang akademi, aku menekan sebuah tombol khusus yang telah terpasang di jam tanganku. Tombol itu ketika kutekan, akan memunculkan portal yang langsung membawaku ke tempat misi yang diberikan berada. Canggih bukan? Tetapi aku tidak peduli, karena aku tak punya waktu untuk melakukannya dan tak akan ada.

Jepang dan kenangannya. “I’am back, Mom.”

Tak ingin berlama-lama apalagi sampai bernostalgia di tempat ini, aku bergegas menuju gedung sekolah tua yang sudah lama tak terpakai. Dikatakan bahwa tempat ini sangat angker karena ada banyak mayat anak sekolah yang bunuh diri dengan berbagai alasan. Dan aku paling benci mendengar jika alasannya adalah karena putus cinta, apalagi jika yang melakukannya adalah kaumku, sangat tidak jantan.

Saat mengamati tampilan depan gedung ini, mataku terpaku pada sosok gadis yang berdiri di lantai paling atas dan disekelilingnya banyak sekali teman Casper. Namun, yang menjadi pusat atensiku bukan para The Other disekelilingnya, melainkan yang merasukinya. Sepertinya dia bukan level satu ataupun dua, tetapi itu adalah The Others level empat–dalam panduan buku The Others yang kupelajari pekan lalu, terdapat 7 tingkatan The Others. Tingkatan 4 terbilang berbahaya karena dapat menyebabkan kematian.

Jantungku berdegup kencang ketika tiba-tiba sosok gadis berseragam sekolah itu menatapku dan menyengir lebar dari atas sana–membuat wajah imutnya menjadi menakutkan. Seseorang kemudian lari mendahuluiku ketika aku baru saja mengambil ancang-ancang berlari.

“Myako! Jangan lakukan itu!” Suaranya terdengar lantang sekali.
Huft. Sebaiknya aku memusnahkan casper level rendah dulu dari bawah sini. Lagipula DMS-ku mampu menjangkau ke lantai tiga, tempat gadis itu berada. Satu persatu The Others itu lenyap, menyisakan satu di dalam tubuh Myako.

Sejujurnya, aku bukan Spiderman, tetapi DMS-ku pernah kupakai untuk memanjat gedung tinggi di Greenland. Lagian tak masalah jika aku melakukannya di depan kedua orang yang terlihat sedang berdebat di atas sana. Jangan-jangan mereka sepasang kekasih yang sedang bertengkar?

Kugulung masing-masing lengan baju hingga menampakkan kedua otot bisepku. Lalu aku mengarahkan tangan kananku ke tiang penyangga di lantai dua. Benang tipis transparan mengikat erat ke tiang dan aku memberi gaya tolakan di ujung kaki dan akhirnya berhasil menempel di dinding dekat tiang tadi. Kemudian hal serupa kulakukan pada pembatas lantai tiga menggunakan benang di tangan kiri. Tak sampai tiga menit, aku sudah berada di lantai tiga. Berhadapan dengan kedua insan itu.

Kalian ingin aku menguping? Baiklah, aku akan memberi tahu beberapa percakapan sepasang kekasih ini.

“Maafkan aku, Myako, aku–“

“Rey, biarkan aku pergi. Aku sudah muak padamu.” Jika boleh berkomentar, percakapan mereka hanya seputar penyesalan. Jadi tak perlu mendengarnya, aku ingin cepat pergi dari sini dan yah, besok aku memiliki sesuatu yang harus kuurus di akademi.

Kujulurkan telapak tanganku ke arah gadis itu. DMS-ku melilitnya hingga membuat wajahnya merah padam. “Jika kau tak segera keluar, maka aku akan membuatmu mati perlahan-lahan,” sahutku pada makhluk menjijikkan di dalam sana.

Hanya tawa kikikkan yang terdengar, lalu seketika tubuh gadis itu melemas dan jatuh pingsan. The Other level empat, sesuai dugaanku. Makhluk itu kini melompat ke bawah. Sebelum ia berlari jauh, aku kembali menangkapnya menggunakan DMS-ku. Kupikir melenyapkannya akan mudah, tetapi ia berhasil lepas. Sial.

Aku pun melompat dari atas dengan pendaratan sempurna. Setidaknya aku tidak bego-bego amat dalam hal ini. Berlari kencang menyusuri gang-gang sempit, siluet makhluk tak kasat mata itu akhirnya terlihat di ujung gang. Ia berhenti dan berbalik menatapku. Cengiran lebarnya tidak menawan sama sekali dengan wajah hancur tak berbentuk itu.

“Kau semakin jelek saat tersenyum!” teriakku bersamaan dengan memusatkan benang-benang DMS-ku padanya. Ia menghindar, tetapi aku tak menyerah. Aku bergeser ke arah lain, sembari menghujaninya benang-benang tipis tak kasat mata milikku. Sesekali ia menjerit begitu salah satu benang yang kutembakkan mengenainya.

Ia berderap mundur, melompat kesana-kemari menghindari perlawananku. Hingga aku tak punya pilihan lain selain–
Menggunakan kekuatan batu Rune. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro