Berbaikan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Finally, 2 hari terakhir nih. Terima kasih untuk kalian yang sudah membaca sejauh ini, memberi masukan dan vote-nya. Love you all 

***

Bhin's pov

Setelah hari yang sangat melelahkan, rasanya mataku sulit sekali untuk terbuka. Ngantuk berat. Pertengkaran sesudah makan malam yang berujung Mbah dan Rarina harus dirawat di rumah sakit, membuatku jadi gelisah. 

Akhirnya aku tertidur di kasur kecil yang memang disewakan pihak rumah sakit kepada para kerabat yang menunggui pasien. Sepertinya aku sudah terlelap beberapa saat ketika mendengar derit pintu terbuka. Dari suara-suara yang separuh terdengar olehku, kayaknya itu Asep.

Samar-samar, aku melihat Asep dan Mas Tunggal keluar dan duduk di balkon kamar. Sebenarnya aku nggak mau nguping, tapi aku mendengar kata 'Rasyana', jadilah aku melek. Penasaran berat kenapa itu nama disebut-sebut.

"Eh tapi emang beneran lo pacaran sama Rasyana Rasyana itu, Sep?" terdengar Mas Tunggal bertanya pada Asep yang disambut dengan suara tawa.

"Hahaha. Belum sih, Mas. Aku kan nggak mau sembarangan pacaran. Cuma kita emang deket aja," sahut Asep.

Dasar Asep, maunya enak-enak aja. Status cewek digantung, kalau Rasyana denger pasti dia ngamuk nih, pikirku. Eh tapi dia kan jahat sama aku, biarin aja deh dia tau, kenapa ya pikiranku jadi jahat begini? suara-suara dalam kepalaku terus berdiskusi sampai aku dengar perihal cium-cium pipi itu.

"Lah, deket doang kok cium-cium pipi sih? Gini-gini ya, gosip kalian itu sampai ke telinga gue loh." Mas Tunggal terdengar bangga sudah menjadi gossipers.

"Hah? kok bisa?" oke, Asep kayaknya kaget dia digosipin sampai keluar kampus. Hahaha, kayak kegantengan banget sih dia.

"Yah, soalnya adek temen gue, kuliah bareng kalian hehe. Si Calista itu satu fakultas sama Bhin." Terdengar Asep ber-oo ria. Hm, jadi Calista ya sumber bocorkan insiden siang itu ke Mas Tunggal, kapan-kapan aku tanya ke dia langsung, niatku. Lalu aku kembali menguping. Ya ampun, jadi eavesdroppers asyik juga ternyata, aku membekap mulutku sendiri takut kelepasan ketawa.

"Yang itu sih, spontanitas aja Mas. Aku kan bantu dia belajar, terus dia dapat nilai bagus untuk mata kuliah itu. Orang-orang aja sih yang heboh gosip." Terdengar Mas Tunggal ber-oo ria.

"Ya udah, nanti deh gue coba ngobrol-ngobrol sama Bhin. Masuk yuk, anginnya dingin nih lama-lama," kata Mas Tunggal. O oh, gawat, aku buru-buru memposisikan diri pura-pura tidur. Tapi ternyata aku malah langsung ketiduran dengan sukses.

*

Aku lagi terbang di angkasa, ah ini pasti cuma khayalan ya? Badanku melayang-layang tinggi. Kota tempat tinggal Mbah terlihat kecil dari sini. Aku berusaha turun, tiba-tiba kurasakan badanku meluncur cepat. Tanah terlihat semakin dekat, aku pun berteriak keras. 

BRUKKK

Sambil mengerang, aku membuka mata lalu refleks duduk. Di mana ini? pikirku sambil melihat sekeliling. Ah ya, di rumah sakit. Terdengar suara orang tertawa tertahan, lalu membantuku berdiri.

"Kunaon kamu sih kalau tidur teu tiasa cicing?" Asep tertawa terbahak-bahak.

"Bahasa Indonesia, tolong ya," kataku agak ketus.

"Maaf maaf, kenapa kamu kalau tidur itu nggak bisa diam sih?" ulang Asep sambil tersenyum simpul. Hm, sepertinya dia ngajak baikan nih. Berhubung tadi malam aku udah nguping, sebenernya aku udah nggak marah sih. Cuma kan gengsi ya.

"Bodo amat." sahutku sambil menoleh ke arah tempat tidur Mbah dan Rarina.

Rarina lagi makan pagi sambil ngobrol sama Mas Tunggal, kayaknya mereka juga nggak sadar deh aku jatuh dari tempat tidur kecil itu. Mbah masih terlelap.

"Mbah, nggak apa-apa kan?" tanyaku lirih sambil mendekatinya.

"Tadi Mbah udah bangun, terus setelah minum obat, Mbah tidur lagi." Jawab Asep sambil menatapku. Sepertinya dia lagi menimbang-nimbang perasaanku deh, kok ngeri banget ya diliatin sama dia.

"Jalan-jalan ke taman yuk, sekalian kamu mau sarapan apa kita cari." Ajak Asep. Sebenarnya aku males, tapi naga-naga dalam perutku udah sibuk demo. Ributnya ngalahin demo minta kenaikan UMR deh. Aku nyengir ketika perutku bersuara cukup keras.

Akhirnya aku menyeret kakiku keluar bersama Asep setelah sebelumnya mencuci muka di wastafel kamar perawatan. Aku mengingatkan diri sendiri supaya membeli sikat gigi setelah makan nanti.

"Kayaknya udah lama ya kita nggak ngobrol kayak gini," kata Asep lebih ke pernyataan dari pada pertanyaan. Kami sudah berada di taman rumah sakit. Aku duduk di tempat duduk kayu berlengan besi yang ada di dekat kami.

"He eh," sahutku sekenanya.

"Semingguan lebih ya Bhin?" Nah sekarang dia baru nanya deh.

"He eh." 

"Kamu masih marah sama aku?" tanya Asep.

Lah, jadi kayak orang pacaran lagi berantem ini mah, aku setengah mati menahan tawa. Padahal aku juga belum pernah pacaran ding, hehe. Aku melengos, sebenarnya sih aku hampir nggak tahan mau ketawa.

"Maafin aku deh, Bhin. Walaupun aku bingung juga sih kenapa kamu marah." Asep menyugar lalu salah tingkah. Aku nggak tahan lagi akhirnya.

"Iya." Asep menoleh cepat mendengar suaraku.

"Kamu nggak marah lagi?" tanyanya hati-hati, seolah nggak percaya.

"Aku tuh sebenernya nggak marah, Sep. Aku cuma bingung harus bersikap apa. Makanya aku suka bengong mikirin gimana harusnya aku bersikap."

"Loh? emang kenapa sih, Bhin?" 

Aku menghela nafas, menatap Asep yang balik menatapku dengan bingung. Mungkin setelah mendengar ceritaku, semua akan berubah. Tapi apa boleh buat, aku juga kangen bercanda sama anak kebanyakan garem ini lagi.

"Janji, setelah aku cerita kamu nggak marah atau berbuat yang aneh-aneh?" tuntutku.

"Emang apaan sih? Kok jadi merinding sih?" 

Aku tertawa lepas. Rasanya sudah berbulan-bulan aku lupa tertawa, jadi lihat tingkah laku nggak beres sepupuku ini, hiburan juga buatku. Maka aku bersiap menceritakan kisah siang itu.

*

Setelah menimpuk Asep pakai kertas bekas, aku bergegas pulang. Sayangnya panggilan alamiah membuatku berbelok dulu menuju toilet. Setelah selesai, aku keluar dari bilik toilet. Ada Rasyana di sana, sedang bersidekap menatapku lekat. Toilet ini tumben banget sepi, cuma ada kami berdua di sini. Aneh deh dia, pikirku sambil mengangkat bahu dan mulai mencuci tangan di wastafel.

"Kamu, sepupunya Asep kan ya?" tanya Rasyana tiba-tiba. Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya.

"Coba kamu dengar baik-baik ya. Asep itu sekarang pacarku. Dan aku nggak suka kalau kamu masih pulang pergi ke kampus bareng sama dia, karena sekarang dia harus antar dan jemput aku." Aku bengong sejenak menatap wajah cantik di hadapanku ini.

"Kamu nyari pacar atau nyari tukang antar jemput?" tanyaku polos. Ups pertanyaan yang salah, pikirku sambil memperhatikan wajah Rasyana yang memerah.

"Jangan mengalihkan pembicaran kamu. Pokoknya Asep itu milik aku. Kutu kayak kamu jangan ganggu kita." Serunya sambil memasang wajah judes. Dih, kurang ajar banget ini cewek, dikira aku takut apa, baru saja aku mau membalas tiba-tiba Rasyana berkata pelan.

"Aku rasa Asep juga pasti nggak mau direpotin kamu lagi. Kalau kamu masih nempel-nempel sama dia, awas ya. Akan aku buat dia benci kamu." Setelah itu dia keluar dari toilet. Samar-samar terdengar suaranya bersama Asep.

"Sepupu kamu nggak ada tuh di toilet. Udah pulang kali. Kita makan aja yuk, Sep." Lalu perlahan suara itu memudar dan hilang.

Aku mengusap kening, bingung tepatnya. Seperti yang sering kukatakan, aku ini minim masalah perpacaran. Jadilah bingung banget sekarang. Aku pulang dalam keadaan banyak pikiran. Benarkah kalau aku dekat Asep jadi mengganggu hubungan asmaranya? Terus kalau Asep nikah, aku nggak boleh ya ngobrol-ngobrol lagi sama dia? (ya ampun Bhin, pikirannya jauh amat yak. Hahaha). Masalah ini yang menjadi pikiranku selama satu minggu belakangan.

*

Asep malah terbahak-bahak mendengar ceritaku. Aku menatapnya heran, apa dia udah gila? emang ceritaku cerita lucu? Sambil mengusap air mata yang keluar, Asep mengulurkan tangan dan mengacak-acak rambutku. 

"Ih, aku nggak suka diacak-acak rambutnya," seruku nggak terima. Asep terdiam, lalu berkata pelan.

"Bhin, seumur hidupku, aku akan terus bertalian dengan kalian. Kalau ada satu orang luar yang memutus tali itu untuk menguasai hidupku, berarti dia nggak pantas buatku. Kelak, aku akan menikah dengan orang yang bukan hanya mencintai aku tapi juga keluargaku. Jelas?"

Aku mengangguk sambil tersenyum cerah. Untung juga Asep nggak idiot, mau aja cuma jadi tukang antar jemput.

"Maafin aku ya kalau nggak cerita lebih awal. Aku takut, kalau aku cerita itu bakal ganggu hubungan kamu sama Rasyana. Tapi setelah aku tau kalau kamu belum beneran pacaran, yah aku jadi bisa cerita."

Asep mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia menatapku hangat. 

"Eh, tapi dari mana kamu tau kalau aku sama Rasyana nggak pacaran?" tanyanya heran.

"Tadi malem aku denger kamu ngobrol sama Mas Tunggal." Kekehku.

"Ooooohhh tadi malam ada tukang nguping ternyata." Asep memutar bola matanya mendengar jawabanku. Lalu dia mencubit pipiku.

"Enak aja, aku nggak nguping. Kamu aja yang ngobrolnya kenceng." Nggak terima di cubit, aku mencubit balik di pinggang. Sambil tertawa-tawa, kami berkejaran. Lupa sudah, belum sarapan, sikat gigi apalagi mandi. Kami sedang menikmati momen persaudaraan setelah masa-masa bingung. Sementara matahari mulai tinggi di langit pagi hari yang cerah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro