Wasiat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bhin! Ayo naik," seru Tunggal.

Wajah Bhin yang terlipat karena terlalu lama menunggu kakaknya itu, berubah cerah. Ia segera berlari menuju motor Tunggal dan duduk di boncengan.

"Go, Bang!" pekik Bhin di telinga Tunggal.

"Menurut ngana, gue abang ojek?" timpal Tunggal mencibir sebal.

"Yo ndaklah. Kamu kan mas-ku yang paling ngguanteng." Bhin menyahut sembari cekikikan.

Siang itu mereka pulang bersama. Tunggal yang hanya kuliah setengah hari, menyempatkan diri untuk menjemput Bhin. Mereka harus sampai di rumah sebelum jam tiga sore. Ibu bilang, akan ada tamu dan pembicaraan penting terkait dengan kematian Kakek, satu bulan silam.

"Mas, kira-kira ono opo yo? Yang penting iku sopo?" Bhin mencolek bahu Kakaknya.

"Mana gue tahu, Bhin. Emang gue bisa baca pikiran orang."

Bhin terdiam mendengar jawaban Tunggal.

"Eh, tapi mungkin aja, Kakek pasti mau kasih kita warisan Bhin." Tunggal nyengir lebar. Bhin mencubit pinggang Kakaknya yang mengaduh. Marah, karena jalan motor jadi oleng gara-gara ia kaget.

Tunggal masih marah saat mereka memasuki halaman rumah. Terlihat ada mobil terparkir di halaman depan rumah. Bhin lompat dari motor sebelum Tunggal menasihatinya panjang lebar tentang aturan menjadi boncengers yang baik termasuk tidak mencubit pengendara.

"Assalamu'alaikum, Yah, Bu." Bhin mencium punggung tangan Ayah dan Ibu. Disusul oleh Tunggal yang sudah memasuki rumah.

"Wa'alaikumsalam. Bhin, Tunggal, kenalkan ini om Setyo." Ayah mengenalkan pria yang berdiri bersama mereka.

Ibu meminta Tunggal dan Bhin untuk berganti pakaian, sebelum bergabung kembali dengan mereka di ruang tamu. Om Setyo akan menyampaikan sesuatu. Bhin dan Tunggal buru-buru melaksanakan perintah Ibu, lebih karena penasaran berita yang akan disampaikan.

Setelah semua berkumpul kembali, Om Setyo berdehem dan mulai bicara. Pembicaraan yang akan mengubah hidup Bhin dan Tunggal kelak. Pembicaraan yang suatu saat nanti akan mereka sesalkan sekaligus mereka syukuri.

"Saya adalah pengacara dari Bapak Setiowidjojo. Apa yang akan saya sampaikan akan terkait dengan permintaan terakhir beliau." Om Setyo berhenti sejenak menatap kami.

Bhin mendesah, teringat akan kematian Kakek yang membuat hatinya perih. Kakek adalah salah satu orang kesayangan Bhin. Sebagai veteran perang, Bhin selalu beranggapan Kakek akan hidup selama-lamanya. Toh, beliau sudah melewati berbagai medan perang dan pulang dengan selamat. Tapi takdir berkata lain. Kakek Setiowidjojo meninggal dunia satu bulan lalu setelah berbulan-bulan berjuang melawan penyakit jantung yang bolak-balik kambuh.

"Segala hal yang berkaitan dengan warisan, akan dibicarakan dalam satu minggu ke depan bersama dengan seluruh anak-anak keluarga Setiowidjojo. Kemudian, permintaan Bapak yang terakhir adalah agar lima cucu terbesarnya bisa berkumpul dan menemani istri beliau." Kata Om Setyo dengan jelas. Tunggal terperanjat kaget mendengar ucapan Om Setyo.

Bhin mengedarkan mata dengan gelisah. Apa maksud ucapan Om Setyo? Tanya Bhin dalam hati.

"Maksud Om, saya dan Bhin pindah ke Sleman? Lalu bagaimana dengan kuliah saya? Dengan sekolah Bhin?" Tunggal mencari penguatan.

"Dua bulan lagi Bhin akan lulus SMA. Sementara itu, kamu akan melanjutkan kuliah di Yogyakarta. Saya yang akan mengatur segala keperluan kalian bersama dengan tiga sepupu kalian yang lain."

"Tapi...tapi, saya nggak mau pindah, Om," seru Tunggal.

"Ini permintaan terakhir Kakek kalian, Bhin, Tunggal. Ayah juga nggak ada salahnya kalian menemani Mbah Putri. Kasihan, beliau sendiri di rumah besar itu." Ayah menyela sebelum Tunggal kelepasan bicara kasar.

"Ibu pikir, ini juga bagus untuk kalian. Selain melatih kemandirian, kalian juga menemani Mbah Putri. Ayah pasti lega kalau kalian menjaga ibunya." Ibu berkata lemah lembut sambil mengelus punggung Tunggal dan rambut panjang Bhin.

Hidung Bhin kedat. Sungguh, ia tidak mau meninggalkan Ibu. Tapi, kemudian dilihatnya wajah Ayah. Ayah pasti sedih kehilangan salah satu orangtuanya, sekaligus mengkhawatirkan ibunya yang kini tinggal sendiri.

"Bhin...Bhin bersedia Ayah, Ibu. Tapi perbolehkan Bhin datang ke sini sebulan sekali. Bhin nggak mau jauh dari Ibu." Bhin membenamkan wajahnya ke pelukan Ibu.

Tunggal menggertakkan gerahamnya. Dia lebih suka tinggal di Jakarta. Teman-temannya semua ada di sini. Dan apa tadi Om Setyo bilang? Lima cucu terbesar? Berarti itu akan ada Tomas. Tunggal mendesah. Apapun pilihannya, akan ada efek samping. Sekarang, semua menunggu keputusan Tunggal.

"Berpikirlah, Nak. Ayah dan Ibu tidak akan pernah memaksamu melakukan hal yang tidak kamu inginkan. Hanya saja, tolong pertimbangkan semua hal. Bhin bersedia menemani Mbah Putri. Kalau kamu ikut ke Sleman, berarti kamu juga ikut menjaga Mbah Putri sekaligus Bhin. Bagaimanapun Ibu percaya padamu, Nak." Suara lembut Ibu menggema di ruangan hening itu.

Tunggal menghela nafas. Keputusan harus diambil.

"Baiklah, saya bersedia." Tunggal mengambil keputusan. Urusan Tomas dan lain-lain biarlah itu nanti menjadi urusannya. Yang pasti Bhin harus terjamin keamanannya. Dan Mbah Putri, tentunya.

Bhin ternganga menatap kakaknya. Jarang sekali Tunggal mengubah keputusan. Apalagi ini menyangkut perubahan besar, berpisah dengan sahabat-sahabatnya dan terutama jauh dari "calon pacar".

"Tutup mulut kamu, Bhin. Nanti lalat masuk," kata Tunggal seraya menyeringai menatap Bhin yang masih bengong di tempat.

Ibu tersenyum lega. "Ibu senang kamu mengambil keputusan ini, Tunggal. Nanti kalau kalau kalian sibuk, kami yang akan berkunjung ke sana."

"Pangapunten Yah, Bu. Kulo mohon doa restu." Bhin tersadar dari bengongnya dan segera meminta doa restu Ayah dan Ibu.

"Yah, Bhin. Belum pergi juga kali. Ngapain minta doa restu sekarang?" Tunggal tertawa melihat kelakuan adiknya. Ayah dan Ibu yang belum sempat menjawab ucapan Bhin pun tertawa.

Setelah pembicaraan singkat mengenai perubahan perpindahan kampus Tunggal dan pendaftaran kuliah Bhin, Om Setyo pun pamit pulang.

Bhin memasuki kamarnya dengan perasaan campur aduk. Antara senang, bisa belajar mandiri jauh dari ayah dan ibu. Sekaligus bingung, bagaimanapun tinggal bersama para sepupu tentu berbeda dengan menginap bersama saat liburan.

Sementara itu, Tunggal yang juga sudah memasuki kamar terus berpikir resah. Bukan hanya tentang persahabatan tapi juga tentang sosok manis bernama Amelia yang belakangan sedang didekatinya di Kampus. Lagipula, pindah Kampus ke Yogya tidak pernah ada dalam bayangan Tunggal. Bagaimana nanti dia harus beradaptasi? Bahasa jawa-pun, Tunggal hanya bisa mengerti sedikit. Kebanyakan tulatitnya. Hanya karena rasa sayang yang besar pada Bhin dan mbah putri, Tunggal mau berkorban.

Ayah dan Ibu bercakap pelan di kamar sebelah. Memperbincangkan Bhin dan Tunggal yang akan meninggalkan rumah, dua bulan lagi. Rumah ini akan sepi dari teriakan Bhin, tawa Tunggal dan pertengkaran-pertengkaran remeh mereka. Namun, setiap peristiwa akan membawa hikmah. Pertimbangan inilah yang menjadi dasar Ayah dan Ibu merestui mereka. Apalagi, mereka akan menemani mbah putri. Mungkin kehadiran cucu-cucu, akan membuat mbah putri melupakan kepedihannya kehilangan Kakek.

Malam semakin larut dalam dekapan sepi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro