Best Mistake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arwen menatapnya dengan wajah merengut. Kejadian hari ini sama sekali di luar dugaan Lucas. Dia tidak berniat memberi tahu siapa pun tentang nama belakang yang disandangnya. Dia cuma ingin mengoreksi kesalahan Arwen setelah resepsi ini selesai. Atau, setelah mereka meninggalkan Bali.

Akan tetapi, rencana hanya tinggal rencana. Lucas tak pernah sedetik pun mengira bahwa dia akan bertemu seseorang yang dikenalnya di acara resepsi itu. Apalagi jika orang tersebut ternyata pernah nyaris menjadi ipar Arwen. Karena identitasnya terbuka, keluarga besar Arwen malah antusias mengajaknya mengobrol.

Hal semacam itu bukanlah sesuatu yang asing bagi Lucas. Nama Chakabuana menjadi beban berat yang harus dipikulnya. Banyak orang yang memandangnya dengan cara berbeda setelah tahu asal-usulnya. Lalu, tak keberatan memanfaatkan Lucas untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Dulu, dia sempat merasa terintimidasi dan terganggu. Hingga Lucas memutuskan untuk mengabaikan hal-hal semacam itu. Dia tak mau terus-menerus terganggu karena sesuatu yang tak bisa diubahnya. Dia juga makin fasih mengucapkan kata "tidak" jika merasa tak nyaman.

"Aku minta maaf banget ya, Luc. Tapi kamu juga andilnya gede. Kenapa mau aja digeret sampai ke sini. Berarti, kamu nggak niat-niat banget untuk benerin kesalahanku."

Itu argumen yang masuk akal. Lucas pun menjawab, "Memang, sih. Awalnya sebelum kita ketemu Mawar dan Lena di restoran, aku memang mau ngasih tau kamu yang sebenarnya. Tapi, aku berubah pikiran setelah kenal mereka. Aku nggak pernah suka ngeliat orang-orang penindas. Jadi, aku berubah pikiran dan berniat bantuin kamu hari ini. Setelah kita balik, baru deh bakalan ngomong jujur kalau aku bukan gigolo."

"Ya ampun! Kamu bikin aku makin malu. Aku nggak tau harus ngomong apa." Wajah Arwen memerah lagi. "Luc, kalau kubilang kamu orangnya baik, itu bukan gara-gara aku baru tau kamu berasal dari keluarga Chakabuana. Tapi karena kamu mau bantuin aku sejauh ini, padahal nggak ada untungnya. Aku bahkan ngira kamu ... gigolo."

"Mungkin memang aku punya gen pahlawan, Wen," balasnya enteng.

"Jujur aja, aku nggak pernah dengar nama Chakabuana. Itu tadi Shawna yang ngomong," imbuh Arwen dengan ekspresi lucu. "Balik dari sini, ibu dan ayahku pasti penasaran pengin tau gimana ceritanya aku bisa 'pacaran' sama kamu," ungkapnya sembari membuat tanda petik di udara.

Lucas cenderung memiliki insting yang bisa membedakan kapan seseorang berbohong atau sebaliknya. Detik ini, dia memercayai pengakuan Arwen. Kecuali perempuan ini ahli berakting, ekspresi kagetnya saat bicara dengan Shawna tadi, benar-benar natural.

"Bisa kita berhenti ngobrolin soal ini? Aku lapar," kata Lucas. Lelaki itu memandang ke sekelilingnya. Tamu-tamu dengan pakaian bagus memenuhi ruangan berlangit-langit tinggi itu. Meja-meja makanan tersebar di berbagai pernjuru, ditata dengan cantik dan memikat. Sementara di bagian tengah ruangan, tertata meja-meja bundar dengan kursi-kursi berlapis kain putih yang mahal.

"Aku udah nggak lapar. Keburu kenyang karena terlalu kaget," gumam Arwen. "Kamu mau makan apa? Mau keliling dulu ngeliat apa aja yang ada di tiap meja?"

"Boleh juga."

Suara napas tajam Arwen terdengar. "Mamanya Mawar manggil tuh, minta kita bergabung di meja mereka. Percaya nggak kalau kubilang, selama ini mereka nggak pernah bersikap baik sama aku? Cuma keluarga Tante Hana yang perhatian. Tante Yasmin, biasa aja."

Perempuan itu mungkin tidak menyadari jika nada suaranya seolah mengiris udara. Menyedihkan. Lucas mengikuti pandangan Arwen dan mendapati ibunda dari Mawar dan Lena kembali melambai ke arah mereka. Lucas hanya mengangguk sopan.

"Ayah dan ibumu nggak keliatan, Wen."

Arwen menunjuk dengan tangan kanannya. "Lagi keliling nyari makanan enak," candanya. "Ayahku doyan makan, tapi punya riwayat sakit jantung dan darah tinggi. Jadi, Ibu selalu ngekorin kalau Ayah pengin makan di acara kayak gini. Supaya nggak kebablasan."

Lucas mengecek arlojinya. Mereka baru berada di ruangan itu kurang dari setengah jam. "Kamu mau di sini sampai jam berapa?"

"Sebenarnya, ini udah nggak betah. Kenapa emangnya?"

"Gimana kalau kita makan di restoran aja?"

Arwen menimbang-nimbang sesaat. "Boleh juga." Perempuan itu kembali menatap ke sekeliling mereka. "Kalau kelamaan di sini, ntar kamu malah diajakin bisnis. Makin nggak enak jadinya. Mending kita pergi sekarang, mumpung tamunya masih ramai."

Mereka meninggalkan ruang resepsi dengan berdampingan. Di tengah jalan, Arwen berubah pikiran. Dia mengusulkan untuk memesan makanan saja.

"Oke, rasanya itu lebih nyaman. Kita mau makan di mana? Di kamarku atau kamarmu? Kali ini, tanpa tawaran aneh-aneh kayak kemarin," goda Lucas.

"Aku memang bodoh banget karena percaya aja sama kamu," gerutu Arwen. "Makan di kamarmu aja? Di kamarku situasinya rada chaos karena agak berantakan."

"Kita pesan dari kamarku aja kalau gitu."

Keduanya berbelok ke kamar Lucas dan memesan makanan berdasarkan buku menu yang ada di tiap kamar. Arwen memilih nasi campur ayam bali dan jus semangka. Sedangkan Lucas memesan sate lilit, serombotan, tum ayam, serta nasi.

"Nggak pesan minuman?" tanya Arwen setelah Lucas selesai menelepon ke pihak restoran.

"Nggak, minum air mineral aja," tunjuk Lucas ke arah dispenser mungil yang ada di kamarnya. "Sebenarnya, aku lebih suka minum air putih doang pas makan."

Arwen yang nyaris duduk di sofa, mendadak menegakkan tubuh. "Aku ganti baju dulu deh, ya? Sekalian ganti sepatu. Pegel banget pakai sepatu setinggi ini."

"Lagian, kenapa maksain pakai sepatu itu?" Lucas memandang ke arah sepatu stiletto nude yang melekat di kaki Arwen. Dia memang terbiasa melihat para mantannya mengenakan alas kaki dengan hak runcing setinggi lebih dari sepuluh sentimeter. Akan tetapi, Lucas tetap tak paham alasan kaum hawa menyiksa kaki mereka karena sudah pasti sepatu model seperti itu tak nyaman digunakan dalam waktu lama.

"Alasan klise semua perempuan pendek. Pengin nambah tinggi secara instan," sahut Arwen sembari berjalan ke arah pintu. "Kamu jangan makan duluan."

"Siap, Nyonya."

"Ih, nyebelin!" kata Arwen sebelum menghilang di balik pintu.

Sepeninggal Arwen, Lucas pun bergegas berganti pakaian. Dia mengenakan kaus hijau dan joger longgar yang nyaman. Pegawai resor yang bertugas mengantarkan makanan tiba nyaris berbarengan dengan Arwen. Perempuan itu mengenakan terusan selutut lengan pendek dari bahan kaus bergambar Winnie The Pooh. Tampil sesantai itu, Arwen terlihat lebih muda.

Seperti saat pertama kali mereka makan, kali ini pun Arwen menyantap makanannya dengan konsentrasi penuh. Mereka nyaris tak bicara. Meski ingin mengobrol sambil makan seperti kebiasaannya, Lucas terpaksa menahan diri. Dia menghabiskan makanannya dengan cepat. Pria itu dua menit lebih dulu selesai dibanding Arwen.

"Kamu barusan makan atau balapan? Cepat amat, sih?" gumam Arwen setelah isi piringnya licin.

"Aku nggak betah makan sambil diam kayak orang musuhan. Aku lebih suka makan sambil ngobrol," aku Lucas.

Perempuan itu meraih gelas jus semangkanya. Di depan Arwen, Lucas bersandar di sofa dua dudukan dengan perut kenyang. Makanan yang dipesannya benar-benar enak. Lucas sengaja memilih masakan khas bali ketimbang pasta atau steak yang juga tersedia.

"Kelemahanku, nggak bisa makan sambil ngobrol atau main hape."

Lucas meralat, "Bukan kelemahan, sih. Malah bagus. Tapi, aku nggak punya kebiasaan kayak kamu."

Arwen meletakkan gelasnya. "Luc, aku harus ngapain supaya kamu mau maafin kesalahan fatalku?" tanyanya. Ekspresi perempuan itu terlihat aneh. Mungkin paduan antara rasa bersalah, malu, dan ketidaknyamanan.

"Kenapa aku harus maafin kamu? Nggak ada yang bisa maksa aku terbang ke sini."

"Bukan itu!" Arwen membenahi posisi duduknya. "Tapi karena aku udah ngira kamu gigolo. Trus, aku...."

"Nggak usah dibahas lagi! Kamu juga udah dapat pelajaran, kan? Lain kali, jangan nyerocos terus dan nggak ngasih kesempatan orang ngomong." Lucas tertawa sambil menggerakkan tangan kanan di depan wajah. "Aku kan udah jelasin alasanku mau bantuin kamu. Karena ada DNA pahlawan super di dalam darahku," candanya.

"Tetap aja merasa tolol. Aku udah lancang banget beliin kamu baju." Arwen mengedikkan bahu dengan gaya putus asa.

"Bajumu masih ada di dalam kantongnya, belum dibuka sama sekali. Rencananya mau kubalikin setelah kita kembali ke Bogor. Aku juga mau ngeganti biaya tiket dan nginep di sini. Aneh banget dibayarin cewek. Walau cewek itu salah duga dan ngira aku gigolo."

Arwen menutup mukanya dengan kedua tangan, membuat Lucas tertawa kencang. Dia tak mengira jika ternyata begitu menikmati hari ini. Mulai dari ekspresi Arwen, sikap super ramah yang ditunjukkan Mawar dan Lena setelah mengetahui siapa Lucas, hingga sambutan hangat dari paman dan tante Arwen yang di luar dugaan.

"Aku nggak mau kamu gantiin biaya apa pun. Anggap aja kita impas."

Lucas awalnya tak setuju. Namun, dia tak mencoba untuk adu keras kepala dengan Arwen karena sudah yakin mereka akan ngotot-ngototan dalam waktu lama.

"Oke. Tapi kamu nggak boleh kesal kalau semua bajumu kubalikin."

"Setuju." Arwen meraih gelas minumannya lagi. "Omong-omong, aku tadi sempat browsing soal kamu. Ada banyak gosip ya, soal Lucas Chakabuana," guraunya.

"Gosip yang mana, nih?"

"Soal deretan mantan yang nggak terhitung. Semuanya bule, ya?"

"Ini interogasi?" balas Lucas.

"Nggak, kok! Cuma pengin tau doang," Arwen membela diri. "Aku juga baca berita soal kamu yang keluar dari jaringan supermarket Buana Mart."

Lucas menyergah, "Itu bukan gosip. Aku memang keluar sejak setahunan lalu. Sekarang, aku ngurus pet shop. Bukan bisnis keren, tapi udah jadi mimpiku selama bertahun-tahun." Laki-laki itu menghela napas. "Tadinya, pengin buka di rumahku, lokasinya di Depok. Tapi pas mau beroperasi, ditolak warga karena menampung anjing. Akhirnya, dapat info kalau ada pet shop yang mau dijual di Bogor. Itu yang bikin aku pindah ke Bogor beberapa minggu ini," urainya.

"Saskia demen banget sama anjing. Tapi, kami nggak mungkin punya hewan peliharaan. Nggak ada yang ngurus. Selain itu, rumah kami kecil banget."

Potongan informasi tentang anak Arwen itu membuat Lucas tertarik. Di masa remajanya, dia selalu bermimpi memiliki adik, tak peduli jenis kelaminnya. Lucas bahkan pernah mengusulkan agar ayahnya menikah lagi dan memicu pertengkaran hebat antara Rudolf dan Martha.

"Boleh liat fotonya Saskia nggak, Wen?"

Alis Arwen terangkat, mungkin keheranan mendengar ucapan Lucas. Akan tetapi, perempuan itu tidak menolak. Setelah mengutak-atik gawainya, Arwen menunjukkan potret balita berambut kriwil yang menggemaskan pada Lucas.

"Anakmu cakep banget," komentar Lucas. "Nggak terlalu mirip sama kamu."

"He-eh. Wajah Saskia memang perpaduan papa dan mamanya."

"Mantanmu ikut ngurus Saskia?" tanya Lucas. Matanya tetap tertuju pada layar monitor ponsel Arwen.

"Iya."

"Kenapa kalian nggak nikah aja?"

"Dia bikin kesalahan fatal." Arwen bercerita singkat tentang alasannya membatalkan pernikahan sekitar lima tahun silam. Lucas mendengarkan dengan tekun. Arwen lagi-lagi membuatnya terkesima. Kisah hidup perempuan itu bisa dibilang cukup dramatis.

"Kamu punya banyak kejutan, ya? Pertama kita ketemu, aku sampai ngaca lama di toilet Candrasa. Sambil bertanya-tanya apa mukaku memang mesum banget sampai dikira gigolo." Tawa Lucas meledak. Dia geleng-geleng kepala mengingat hal itu. "Lalu, sekarang cerita soal Saskia. Kayaknya, kamu tergolong cewek paling antik yang pernah kukenal."

"Hmmm, makasih untuk pujiannya," ucap Arwen, penuh percaya diri. "Eh iya, besok aku mau ngasih tau keluargaku. Sekalian minta maaf. Karena selama ini udah bohongin mereka soal kamu."

"Kenapa harus minta maaf?" Lucas keheranan. "Kenapa nggak kita terusin aja sampai beberapa minggu lagi? Supaya lebih meyakinkan."

"Tapi, kita nggak...."

"Aku hepi bisa bikin kesel Mawar dan Lena. Jadi, kenapa harus berhenti sekarang?"

Lagu : Best Mistake (Ariana Grande)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro