Queen Of My Heart

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bersama Arwen dan Saskia, Lucas mendatangi salah satu toko mebel terlengkap yang ada di Bogor atas rekomendasi Verra. Toko itu berlabel Furnitur Mania, berada tak terlalu jauh dari rumah keluarga Arwen.

Sepanjang perjalanan, Saskia duduk di pangkuan ibunya, berceloteh tentang bermacam hal yang membuat Lucas tertawa geli. Arwen begitu sabar menghadapi putrinya, menjawab semua keingintahuan Saskia dengan bahasa sederhana.

Diam-diam, Lucas teringat pada Audy yang belum pernah ditemuinya. Apa kira-kira reaksi anak itu ketika nanti bertemu dengannya? Apakah Audy anak yang pemalu atau cerewet seperti Saskia? Bagaimana pula sikap Izara menghadapi putrinya? Pernahkah Audy bertanya tentang ayahnya?

Pertanyaan-pertanyaan itu menggebah Lucas nyaris tanpa henti, sejak dia tahu tentang keberadaan putrinya. Izara belum menghubunginya lagi. Lucas bahkan tak tahu kapan perempuan itu berencana untuk mempertemukan dirinya dengan Audy. Karena tampaknya agenda utama Izara hanya memberi tahu Lucas tentang keberadaan putrinya.

"Mam, apa aku halus manggil 'papa' juga ke Om Lucas?" tanya Saskia, mengagetkan. Kalimat gadis cilik itu meremahkan monolog di kepala Lucas. Selama beberapa detik, Arwen cuma terdiam.

"Saskia maunya gimana?" Lucas yang akhirnya bersuara. "Pokoknya, yang bikin Saskia nyaman aja."

"Iya, Mama setuju," dukung Arwen.

"Nggg, oke. Aku tetap manggil 'om' aja," putus Saskia. "Ini kita mau beli pelabotan untuk apa, Mam?"

"Untuk rumah baru Om Lucas. Setelah Mama dan Om Lucas nikah, kita bakalan ikut pindah," jelas Arwen. "Makanya, dikit-dikit kita mau beli perabotan karena rumahnya masih kosong."

"Emang lumahnya Om Lucas di mana?" tanya Saskia lagi. Kali ini, anak itu menoleh ke arah Lucas.

"Di Indraloka Residen, perumahan baru yang dekat rumah Nenek. Kapan hari kita pernah lewat situ dan Mama nunjukin ke Saskia. Mama bilang, pernah nemenin Om Lucas ngeliat rumah di situ. Ingat?"

"Ingat, Mam. Jadi, kita mau pindah ke sana?"

"Iya, Sas," sahut Lucas. "Nanti Saskia bisa milih tempat tidur dan lemari sendiri. Nanti deh kita liat, apa aja yang cocok untuk kamar Saskia."

Gadis cilik itu merespons dengan suara riang nan nyaring. "Aku punya kamar sendili, Om? Boleh milih lemali dan tempat tidulnya juga? Benelan?"

"Iya, beneran,"Arwen menegaskan. "Kamu hepi mau punya kamar sendiri, ya?"

"Hepi dong, Mam. Bisa guling-gulingan sendili di lanjang. Kalau bobo sama Mama, suka diplotes kalau aku nendang Mama. Padahal kan nggak sengaja. Namanya juga lagi bobo."

Arwen dan Lucas tertawa berbarengan. "Diprotesnya gimana, Sas?" tanya Lucas.

"Ah, macem-macem, Om. Aku udah nggak inget semuanya."

"Mama nggak protes, kok! Cuma ngasih tau kalau kamu nggak bisa diam dan sering nendang Mama pas lagi bobo. Kadang perut dan punggung Mama sampai sakit karena tendanganmu kencang banget."

"Itu namanya plotes, Mam. Bukan ngasih tau," bantah Saskia. Anak itu kembali menatap Lucas. "Om, kapan kita pindahnya? Hali ini atau besok?"

"Secepatnya ya, Sas. Tapi nggak bisa hari ini atau besok. Om Lucas dan Mama harus nikah dulu. Mama pakai gaun cantik kayak yang tadi Saskia bilang."

Alis Saskia berkerut. "Om, secepatnya itu jangan lama-lama, ya?"

"Ish, bawel!" kata Arwen. "Saskia tenang aja pokoknya."

"Aku pengin tinggal sama Om Lucas juga, Mam. Tlus pengin bobo di kamal sendili. Hmm, pengin juga tinggal di lumah yang cakep, nggak panas dan sempit kayak lumah kita."

Arwen menatap Lucas tak berdaya. "Dia udah bisa ngehina rumah yang selama bertahun-tahun kami tinggali."

Saskia protes. "Mama suka nuduh. Aku nggak ngehina lumah kita. Tapi di sana kan memang panas dan sempit. Masa aku halus bohong?"

Lucas mengulum senyum. Sementara Arwen menciumi pipi anaknya. Tatapan Lucas mendadak berhenti pada jari manis Arwen yang dilingkari cincin. Dia tak mengira jika neneknya memaksa Lucas untuk datang ke Jakarta demi mengambil cincin untuk melamar Arwen. Lucas awalnya menolak tapi Imelda bergeming.

"Oma punya banyak perhiasan bagus, Luc. Ketimbang kamu beli, mending pakai punya Oma aja. Arwen pasti suka. Lagian, anggap itu sebagai restu dari Oma. Kalau kamu tetap nolak, Oma nggak bakalan datang pas nanti kamu nikah. Nggak akan belain kalau kamu bermasalah sama mama dan papamu."

"Oma, jangan kejam gitu kenapa, sih?" protes Lucas tadi pagi. "Ngancemnya serem. Oma udah kayak teroris, nggak bisa diajak kompromi."

"Cuma kamu yang bilang omanya kayak teroris. Ya udah, Oma beneran...."

"Iya, Oma. Iya. Aku bakalan ngasih cincin Oma untuk Arwen," Lucas mengalah. "Ya Tuhan, tabahkanlah aku karena dikasih Oma tukang paksa gini."

Maka, Lucas pun mengebut ke Jakarta. Dia harus memilih cincin yang akan digunakan untuk melamar kekasihnya di antara koleksi perhiasan neneknya yang cukup banyak.

"Oma, boleh kubawa pulang semuanya? Kalau dijual, duitnya bisa untuk beli rumah."

"Bawa aja. Tapi jangan ngambek kalau Oma lapor polisi," sahut Imelda, enteng.

"Oma bakalan tega ngelaporin aku ke polisi?" tanya Lucas sambil mengamati satu per satu cincin berlian yang dijajarkan neneknya di atas meja.

"Mau nggak mau ya harus tega." Imelda membuka kotak perhiasan lain yang berisi kalung. "Minggu depan, kamu bisa ngajak Arwen makan malam di sini?"

"Kalau Arwen nggak ada acara, kami akan ke sini," janji Lucas. "Nanti aku kabarin kalau ada perubahan rencana."

"Mama dan papamu udah tau sama rencanamu ini, Luc?"

"Belum, Oma. Nanti ajalah aku ngomong sama mereka. Kalau dikasih tau sekarang, udah pasti nggak setuju. Karena mereka kan maunya aku nikah sama Izara."

"Tapi tetap harus dikasih tau lho, Luc. Jangan sampai nggak."

"Iya, Oma. Aku tau," balas Lucas, serius.

Tadi, Lucas mendadak teringat upaya ibunya menjodohkan dirinya dengan beberapa perempuan yang dianggap sebagai kandidat yang cocok. Termasuk Elisa. Kenapa tidak sejak awal Martha meminta Lucas menikahi Izara karena mereka sudah memiliki anak? Pemikiran itu membuat Lucas makin curiga dengan niat ayah dan ibunya.

"Luc," panggil Arwen. Perempuan itu menepuk paha kiri Lucas dengan lembut. "Saskia tanya, apa kamarnya boleh dicat warna biru?"

"Boleh, dong," balas Lucas. "Pokoknya, semua terserah Saskia. Karena nanti Saskia yang akan bobo di kamar itu. Jadi, harus bikin kamu merasa nyaman ya, Sayang." Lelaki itu menatap Arwen sesaat. "Om kira Saskia bakalan minta kamarnya dicat warna pink."

"Aku bosan liat walna pink, Om. Temen-temenku yang cewek, semua doyan pink. Aku sukanya bilu dan ungu."

Lucas pun teringat cerek ungu di rumah kekasihnya. "Oke, itu bagus. Saskia nggak harus ngikutin selera orang-orang."

"Balang-balang di lumah kita, nanti mau dibuang ya, Mam?" Saskia masih mengajukan pertanyaan.

"Nggak dong, Sas. Nanti kita pikirin lagi mau diapain. Tapi nggak akan dibuang," tegas Arwen.

Mobil yang dikemudikan Lucas berbelok ke pintu masuk Furnitur Mania. Ada banyak kendaraan yang memenuhi halaman parkir nan luas itu. Mereka bertiga memasuki toko mebel itu beberapa menit kemudian. Lucas benar-benar merasa bahagia. Aktivitas memilih perabotan saja pun bisa membuatnya begitu bersemangat. Padahal, hingga tadi pagi, tak pernah terbayangkan bahwa Lucas akan segera mencari furnitur untuk memenuhi rumahnya bersama calon istrinya.

Dalam waktu singkat, Saskia sudah menemukan ranjang, meja belajar, dan lemari yang diinginkannya. Lucas cukup takjub karena gadis cilik itu sudah memiliki selera yang bagus. Khusus tempat tidur, Arwen menyarankan altenatif lain. Sebuah ranjang yang dilengkapi dengan laci-laci di kanan dan kirinya.

"Laci-lacinya bisa jadi tempat menyimpan boneka kamu, Sas," usul Arwen. "Kamar pun lebih rapi karena bonekanya nggak berantakan."

Saskia langsung menyatakan persetujuannya. "Iya, Mam. Aku pilih yang ada lacinya aja." Gadis cilik itu mengangguk sebagai penegasan kata-katanya.

Mereka juga membeli lemari untuk kamar tidur utama dan sofa, tapi belum menemukan ranjang yang sesuai keinginan. Lucas meminta supaya semua pesanannya dikirim keesokan harinya. Karena besok adalah hari Minggu, sehingga Arwen bisa ikut menata barang-barang yang mereka pilih.

Saat meninggalkan Furnitur Mania, jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Lucas mengajak Arwen dan Saskia makan malam. Mereka memilih restoran yang menyediakan ayam goreng cepat saji, tentunya atas permintaan Saskia. Selama mereka makan, Lucas diam-diam sering mencuri pandang pada Arwen dan Saskia yang duduk di depannya.

Akhirnya, dia akan membangun keluarga sendiri. Lucas bersumpah, dia takkan membuat ulah. Arwen adalah perempuan yang dibutuhkannya, sosok yang sudah dicari Lucas bertahun-tahun ini. Arwen adalah perempuan tulus yang bisa menerima Lucas apa adanya. Dulu, Lucas mengira Izara pun tipe perempuan yang sama. Ternyata dia salah. Buktinya, Izara bisa dibeli oleh ibunya. Mungkin, memang sejak awal Izara tak pernah mencintai Lucas dengan sungguh-sungguh.

"Wen, Sabtu depan kamu ada waktu, nggak? Oma ngundang kita makan malam. Kita ajak Saskia sekalian, biar kenalan sama Oma dan Opa juga."

"Sabtu ini, sebenarnya jadwal Saskia nginep di rumah papanya. Nanti deh, aku ngomong dulu sama Jemmy," janji Arwen.

"Aku pengin ikut ke lumah omanya Om Lucas, Mam. Sekalian mau bilang makasih kalena udah dikasih anting yang cantik banget ini," sergah Saskia. "Besok kita telepon Papa ya, Mam? Atau sekalang aja?"

Arwen menjawab setelah berpikir sesaat, "Besok aja ya, Sas."

"Oke, Mam."

Lucas tak sabar menunggu Sabtu depan tiba. Bersama Arwen, dia ingin berdiskusi langsung dengan Imelda dan Quentin tentang rencana pernikahannya. Lelaki itu ingin orang-orang yang dicintainya terlibat dalam merancang hari bahagianya.

Seperti dugaan Lucas, Saskia langsung merebut hati semua orang yang ditemuinya di rumah kakek dan nenek Lucas. Ramon yang belum lancar bicara pun tampak begitu gembira melihat Saskia yang nyaris tak henti berceloteh.

Imelda mengusulkan agar Lucas dan Arwen menggelar resepsi di resor eksklusif di Filipina, tempat Quentin dan Cybil menikah. Namun Lucas menolak tanpa pikir panjang karena mempertimbangkan kesehatan kakeknya.

"Aku pengin Opa ngeliat kami nikah, Oma. Kalau harus terbang ke resor, nggak ideal banget," tolak Lucas dengan berat hati. Lelaki itu menatap Arwen sekilas. Calon istrinya mengangguk, tanda Arwen setuju dengan keputusan lelaki itu.

Quentin memberi ide lain. "Kalian mau bikin resepsi gede-gedean? Kalau iya, minimal akad nikahnya di sini. Tapi, andai milih pesta pribadi dengan undangan terbatas, di sini ajalah. Biar Opa bisa ngeliat tanpa harus bepergian. Kalian tinggal ke Filipina untuk bulan madu."

Arwen yang menjawab, "Kami nggak berniat bikin pesta gede-gedean. Maunya bikin acara sederhana yang dihadiri kerabat terdekat aja."

Quentin mengangguk. Lalu, lelaki itu menatap Lucas dan mengucapkan kata-kata yang dipenuhi canda. "Luc, boleh-boleh aja nggak ada resepsi gede. Tapi, bulan madunya harus spektakuler. Resor Oma dan Opa itu sangat memenuhi syarat."

"Anak-anak! Di sini ada Saskia dan Wyn," sela Imelda.

Lucas tertawa. "Oma, Saskia lagi ngobrol sama Opa, dia nggak dengar omongan Quentin barusan. Sementara Wyn, masih terlalu kecil. Dia belum paham kalau bapaknya agak-agak sesat."

Imelda memandang ke arah Arwen, meminta pemakluman. Arwen malah tertawa geli.

"Jadi, kapan kalian pengin nikah?" tanya Imelda sembari menatap Lucas dan Arwen bergantian.

"Aku sih, pengin secepatnya, Oma," sahut Lucas. "Toh, kami nggak bikin resepsi gede yang ribet dan butuh waktu untuk nyiapinnya. Cuma, belum ketemu waktu yang pas. Nanti mau diskusi lagi sama orangtua Arwen."

"Kamu udah ngasih tau mama dan papamu, Luc?"

"Belum Oma. Tapi, secepatnya aku mau ketemu mereka untuk ngomongin masalah ini," janji Lucas. Sebenarnya, dia sengaja menunda-nunda untuk memberi tahu ayah dan ibunya. Karena Lucas sudah menebak, respons keduanya terkait rencana masa depan lelaki itu.

Dugaan Lucas, dirinya dan Arwen takkan mendapat restu dengan mudah. Karena Izara yang diinginkan Martha dan Rudolf sebagai menantu mereka meski dengan alasan yang masih misterius. Lucas bahkan sudah menduga kalimat-kalimat apa yang akan diucapkan ibunya untuk membuat Lucas mengurungkan niatnya. Kalaupun tak bisa memberi efek sejauh itu, minimal Martha ingin membuat Lucas merasa bersalah dan tak berguna, seperti biasa.

Dugaannya tepat. Ketika Lucas memberi tahu orangtuanya, Martha meradang.

"Kamu udah melamar perempuan yang nggak pernah nikah tapi punya anak dari laki-laki lain? Apa kamu udah gila, Luc? Kenapa nggak nikah sama Izara, perempuan yang jelas-jelas ibu dari anak kandungmu? Mama dan Papa nggak akan ngasih restu untuk kalian!"

Yang Lucas tidak benar-benar siap adalah mengetahui alasan di balik kegigihan Martha meminta putranya mempersunting Izara. Uang memang sasaran utama ibunya. Namun ketika tahu apa yang diincar Martha, Lucas tak tahan lagi. Dia benar-benar meledak.

Lagu : Queen Of My Heart (Westlife)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro