Remedy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat menyadari ada ketegangan yang memenuhi ruang makan, ditambah embusan napas tajam dari Lucas, Arwen mengangkat wajah. Saat itulah dia mendapati ada pasangan paruh baya berpenampilan modis yang baru saja bergabung di ruangan itu.

Arwen mengerjap beberapa kali dan segera menyadari bahwa mereka adalah orangtua Lucas. Itu pun setelah dia mendengar sapaan dari Quentin dan nenek Lucas. Rudolf dan Martha tak terlalu mirip dengan putranya. Lucas memiliki banyak kesamaan garis wajah dengan Quentin dan Imelda.

"Luc, Mama kira kamu lagi di Bogor. Dari pagi ditelepon, nggak diangkat sama sekali," tegur Martha dengan nada tajam. Perempuan itu menarik kursi di sebelah Cybil, membuat Martha berhadapan dengan putranya. Sementara Rudolf duduk di sisi kiri istrinya yang memang kosong.

"Kalian sudah makan?" sergah Imelda, sebelum Lucas menjawab. "Ponsel Lucas ketinggalan di sini, makanya dia nggak bisa mengangkat telepon dari kalian."

Pembelaan Imelda itu tampaknya tak dipercaya menantunya meski perempuan itu tidak mengatakan apa pun. Arwen bisa melihat ekspresi Martha saat mendengar kata-kata mertuanya. Sesaat kemudian, tatapan perempuan itu berhenti pada Arwen. Mungkin baru menyadari kehadiran orang asing di meja makan keluarga Chakabuana.

"Luc, ini siapa?" Rudolf yang lebih dulu bersuara.

"Pacarku, Pa. Namanya Arwen," sahut Lucas dengan suara datar. "Arwen, ini mama dan papaku."

Arwen hendak berdiri untuk menyalami kedua tamu yang baru datang itu, tapi Imelda melarang. "Makan aja dulu, Wen. Nanti bisa salaman dengan mama dan papanya Lucas."

Arwen pun akhirnya cuma menyapa dengan sopan sembari memperkenalkan diri dengan singkat. Dia tak pernah merasa sebagai seseorang yang mudah terintimidasi. Akan tetapi, melihat alis Martha bertaut dan mata Rudolf yang agak menyipit saat mendengar kata-kata Lucas tadi, Arwen menyadari dirinya mendadak cemas.

Lucas menggeser piringnya yang masih berisi makanan. Tampaknya, lelaki itu kehilangan nafsu makannya. Arwen pun sama. Entah mengapa, dia mencium aroma pertikaian. Apalagi, dia mendapati Quentin yang memberi isyarat pada Lucas berupa gelengan samar. Entah apa maksudnya.

"Arwen, sejak kapan kenal sama Lucas?" tanya Martha, tanpa membuang waktu lagi.

Imelda lagi-lagi menukas, "Kalau mau tanya-tanya, nanti aja. Lucas bisa jawab semuanya. Sekarang ini, Arwen adalah tamu Mama dan Papa. Mama nggak mau dia nggak nyaman dan merasa diinterogasi."

Martha tak berkutik. "Hmm, iya, Ma."

"Kalian udah makan atau belum?" ulang Imelda. "Kalau belum, biar diambilin piring."

"Udah, Ma. Kami mampir ke sini karena ada yang mau dibahas sama Mama. Soal Lucas," sahut Rudolf.

"Kalau memang kalian udah makan, mending tunggu di ruang tamu aja. Atau ke lantai dua, supaya Papa jangan sampai terganggu. Nanti Mama akan menyusul ke sana," pinta Imelda.

Rudolf dan istrinya menuruti saran Imelda. Begitu keduanya meninggalkan ruang makan, Arwen baru sadar bahwa dia menahan napas entah berapa lama. Sementara itu, nenek Lucas meminta mereka kembali melanjutkan makan malam. Sayang, perut Arwen mendadak kenyang. Namun dia tetap memaksakan diri untuk menghabiskan makanannya.

"Kamu nggak apa-apa kutinggal sebentar, Wen?" tanya Lucas setelah mereka selesai makan. Lelaki itu menarik tangan Arwen yang bersiap mengekori Cybil dan Quentin menuju ruang tamu. Sedangkan Imelda sedang berada di dapur. "Aku harus ngobrol dulu sama orangtuaku. Kayaknya, ini berkaitan sama masalah hmmm ... Izara."

Tengkuk Arwen mendadak dingin. Apa artinya itu? "Papa dan mamamu udah tau? Tadi, kamu bilang...."

"Aku bohong," sergah Lucas. Lelaki itu tampak frustrasi. Tangan kiri Lucas meremas rambutnya sendiri. "Terpaksa, Wen. Karena, kalau tadi aku jujur sama kamu dan cerita segalanya, aku yakin, kamu bakalan ninggalin aku. Makanya, kupikir cara terbaik adalah ngasih tau kamu pelan-pelan."

Arwen tidak paham maksud Lucas. Namun dia hanya merespons, "Aku nggak suka dibohongi, Luc. Jujur itu, sepahit apa pun, selalu lebih baik."

"Aku tau. Nanti, setelah kita pulang dari sini, aku akan cerita semuanya. Janji."

Arwen menatap Lucas, merasakan kecemasan makin kencang berputar di perutnya. "Aku takut, Luc. Kayaknya...."

Lucas kembali memotong kata-kata Arwen. "Jangan takut! Kita akan baik-baik aja, sepanjang kamu percaya sama aku dan nggak akan mundur." Pria itu meremas tangan kanan Arwen dengan lembut. "Aku cinta sama kamu, Wen."

Jika mereka hanya berdua, Arwen pasti akan memeluk Lucas. Perempuan itu memiliki firasat, mereka akan dipaksa untuk berpisah. Atau, paling tidak, dirinya dan Lucas akan menghadapi sandungan yang benar-benar menguji kekuatan cinta mereka.

Arwen mungkin terlalu polos karena mengira masalah putri kandung Lucas takkan membawa konsekuensi serius untuk hubungan mereka. Sepanjang Lucas tidak berencana kembali pada Izara dan membesarkan anak mereka berdua. Tampaknya, keberadaan Audy akan mengubah segalanya.

"Nggak usah cemas," kata Lucas lagi. Tangan kanannya mengelus pipi Arwen. "Kita tetap akan baik-baik aja."

Arwen benar-benar berharap kata-kata Lucas itu akan terwujud. Karena itu, dia mengulangi kalimat lelaki itu. "Ya, kita tetap akan baik-baik aja." Bukankah orang bijak selalu bilang, ucapan adalah doa?

"Luc, jangan kayak mau pergi ke medan perang gitu," gurau Imelda yang kembali memasuki ruang makan. Arwen pun sontak menjauh dari Lucas karena sungkan dengan nenek dari pacarnya. "Luc, kamu duluan ke lantai atas, ajak Quentin juga. Oma mau ngomong sebentar sama Arwen."

Lucas tampak cemas tapi lelaki itu akhirnya meninggalkan ruang makan. Sementara Arwen, merasa darahnya nyaris mendekati titik beku. Dia memang tak mengenal Rudolf dan Martha. Namun, melihat reaksi Lucas dan juga sikap Imelda, Arwen tahu bahwa kedatangan keduanya bermakna ada hal serius yang akan dibicarakan. Hampir pasti, menyangkut Lucas dan Arwen.

"Arwen, Lucas udah cerita kalau kamu tahu soal Audy dan Izara. Apa kamu benar-benar nggak merasa keberatan? Ini masalah serius yang harus dipikirin masak-masak," kata Imelda. Perempuan itu berdiri di depan Arwen. "Kamu bisa bebas bicara di depan Oma. Kalaupun ada hal yang mengganggu, jangan disimpan aja. Karena takut nantinya malah jadi bumerang yang akan merugikan kamu dan Lucas."

Arwen tak butuh waktu untuk menjawab itu. Dia merespons sambil melawan rasa lemas yang menyerang lututnya. Seharusnya, Arwen tidak berbagi kisahnya dengan cara ini. "Sebelum ke sana, ada baiknya saya cerita tentang masa lalu saya, Oma."

"Oh, itu sama sekali nggak perlu! Lucas udah cerita semuanya," tukas Imelda.

Arwen menelan ludah, tak mengira Lucas benar-benar melakukan hal itu. "Dari masa lalu, saya belajar bahwa tiap orang pasti pernah berbuat kesalahan. Makanya, waktu Lucas ngasih tau soal Audy, saya bisa menerimanya dengan lebih santai. Kaget, pastinya. Tapi, itu nggak cukup jadi alasan untuk pisah dari Lucas. Kecuali, dia memang berniat balikan dengan Izara. Kalau itu pilihan Lucas, tentunya saya nggak bisa ngapa-ngapain."

Imelda mendesah, "Oma lega dengarnya. Walau Oma percaya sama Lucas, tetap takut kalau dia salah paham sama sikap kamu." Perempuan itu tersenyum. "Makasih ya, Wen. Karena bisa terima Lucas apa adanya. Oma cuma mau bilang satu hal, Lucas memang sering dianggap nggak serius. Termasuk oleh Oma. Tapi, hampir setahun setengah ini, dia benar-benar berubah. Lucas berusaha nunjukin kalau dia adalah orang yang bertanggung jawab. Kalau udah bilang A, dia akan konsisten dengan pilihannya."

Arwen mengangguk sebagai persetujuan untuk kata-kata Imelda. "Iya, Oma. Di mata saya, Lucas memang tipikal orang yang bertanggung jawab."

"Kalau kamu bisa seyakin itu sama Lucas, sekarang pun harus tetap begitu. Jangan goyah. Jadi, nggak ada yang perlu kamu cemaskan. Apa pun yang terjadi, Oma dan Opa ada di belakang Lucas."

Beban di kedua bahu Arwen seolah merepih jadi debu. "Makasih Oma, karena bisa menerima semua kelebihan dan kekurangan saya."

Imelda mengelus lengan kiri Arwen. "Ini saat-saat yang berat untuk Lucas. Dia membutuhkan dukungan dari kamu." Perempuan itu menunjuk ke atas dengan tangan kanannya. "Oma harus ke atas dulu sekarang. Kamu tunggu aja sebentar di ruang tamu bareng Cybil ya, Wen?"

Arwen tersenyum. "Baik, Oma."

"Eh iya, sebelum Oma lupa. Kamu satu-satunya pacar yang pernah dibawa Lucas ke sini. Oma nggak perlu jelasin lagi apa artinya itu, kan?"

Ketika dia berjalan sendiri menuju ruang tamu yang luas dan ditata apik itu, pikiran Arwen seakan melayang-layang. Hari ini, ada terlalu banyak kejutan yang diberikan Lucas pada dirinya. Pengakuan pria itu tentang anaknya saja pun sudah membuat Arwen terperangah. Apalagi ketika Lucas nekat membawanya mendatangi rumah kakek dan neneknya. Apa yang dilakukan Lucas, sudah memenuhi kuota kejutan yang pantas diterima Arwen selama setahun.

"Lucas tau cara membela dirinya, Wen. Dia akan baik-baik aja," gumam Cybil, seolah isi pikiran Arwen bisa dibacanya dengan mudah. Arwen duduk di sofa tunggal, tepat di depan Cybil.

"Aku tau," sahut Arwen. Dia memang baru bertemu dengan Cybil dan saling mengenal. Mereka belum sempat banyak mengobrol. Namun, Arwen menyukai istri Quentin yang namanya cukup familier di telinganya. "Wyn mana, Cy?"

"Ngikut papanya," kata Cybil.

"Gimana rasanya karena menjadi cucu mantu keluarga Chakabuana?" gurau Arwen, mencoba meredakan ketegangan yang membuat urat-uratnya terasa kaku.

Cybil tertawa. "Biasa aja, sih. Mungkin karena Oma dan Opa memang nggak pernah bersikap sok cuma untuk nunjukin kalau mereka punya banyak duit. Apalagi, aku udah kenal Oma lumayan lama sebelum nikah sama Quentin. Oma itu donatur tetap di organisasi yang kubangun untuk cewek-cewek yang jadi korban pelecehan dan kekerasan. Selain itu, gaya hidup Quentin pun normal-normal aja. Nggak ada hal-hal aneh yang bisa jadi gangguan serius."

Arwen sudah melihat cara Quentin memandang istrinya, begitu juga sebaliknya. Mereka adalah pasangan yang saling mencintai. Padahal, menurut Lucas, awalnya Cybil menikahi Quentin bukan karena cinta.

Ponsel Arwen mendadak berbunyi. Perempuan itu buru-buru menjawab panggilan telepon itu saat melihat nama ibunya terpampang di layar. Verra ingin memastikan apakah putrinya jadi menginap di rumahnya atau tidak. Sementara Saskia tampaknya nyaman berada di antara kakek dan neneknya. Anak itu hanya dua kali menanyakan keberadaan ibunya.

"Aku lagi di Jakarta, Bu. Nantilah cerita detailnya, ya? Cuma, kayaknya aku balik ke rumah aja. Takut kemalaman kalau nanti ke rumah Ibu dan malah jadi ngeganggu. Besok kan Sabtu, aku akan ke rumah Ibu sebelum jam makan siang. Aku mau nginep."

Verra menyetujui keputusan Arwen sembari kembali mengingatkan agar putrinya hati-hati. Verra juga mengaku tidak memberi tahu pada Adrian apa pun tentang aktivitas Arwen seharian ini.

"Lucas itu laki-laki baik, Wen. Tapi kadang rada konyol orangnya. Kalau udah gangguin Oma, aku cuma bisa jadi penonton. Ketawa melulu," ucap Cybil setelah Arwen menutup teleponnya. "Tapi, kalau udah serius pengin sesuatu, nggak ada yang bisa bikin Lucas berubah pikiran."

"Ya, betul. Dia memang konyol dan kadang nyebelin," Arwen akhirnya bisa juga tertawa kecil. "Aku nggak nyangka kami bisa pacaran."

Tawa Cybil pecah. "Lucas pernah cerita gimana kalian sampai kenalan. Benar-benar antik dan nggak terduga. Kurasa, cuma kamu yang berani ngira kalau Lucas itu gigolo."

"Hahaha, iya. Aku malu banget kalau ingat itu. Aku beneran pede nuduh dia gigolo. Untungnya Lucas nggak marah."

Mengobrol dengan Cybil, membuat Arwen lebih rileks. Namun dia kembali menjadi tegang setelah semua orang kembali ke ruang tamu. Wajah Lucas datar saja, tapi tidak demikian dengan kedua orangtuanya. Rudolf dan Martha langsung pamit pulang tanpa mengindahkan Arwen dan Cybil.

Tak lama setelah itu, Arwen dan Lucas pun berniat pulang. Imelda sempat melarang dan meminta keduanya bertahan setengah jam lagi.

"Nggak bisa, Oma. Kami harus balik ke Bogor. Perjalanan udah pasti makan waktu lumayan lama. Kecuali Oma beliin aku helikopter biar bisa bolak-balik Jakarta-Bogor tiap hari," kata Lucas untuk menolak permintaan neneknya. "Oma ini gimana, sih? Cucunya lagi belajar jadi orang yang bertanggung jawab, tapi malah digoda supaya...."

Kata-katanya tidak tergenapi karena Imelda melempar cucu sulungnya dengan bantal kursi. "Ya udah, pulang sana! Baru diminta nunda pulang aja, udah berani minta helikopter. Mungkin Oma akan mempertimbangkan untuk ngasih bagian warisanmu untuk Quentin aja. Atau malah buat Wyn."

Lucas mengedikkan bahu. "Terserah Oma ajalah. Orangtua kan memang rada susah dikasih tau. Mau menang sendiri karena merasa yang paling bener." Dia menggamit kekasihnya. "Yuk, Wen, kita pulang sekarang."

Arwen benar-benar terhibur melihat interaksi Lucas dengan neneknya. Hatinya berubah dipenuhi rasa haru saat Imelda memeluknya. Jika diingat lagi, sejak pertama kali dia menginjakkan kakinya di rumah keluarga Chakabuana, semua orang menyambutnya dengan hangat. Termasuk kakek Lucas yang baru pulih dari serangan stroke. Arwen belum pernah merasakan penerimaan semacam itu dari siapa pun di luar keluarga intinya.

Di perjalanan pulang menuju Bogor, sebelum Arwen sempat mencari tahu apa saja yang dibicarakan Lucas dengan keluarganya tadi, lelaki itu kembali mengejutkannya.

"Kamu keberatan kalau kita ngobrol dan aku tetap nyetir? Untuk menghemat waktu karena banyak banget yang pengin kuomongin."

"Nggak keberatan, Luc. Ngomong aja," pinta Arwen.

Lucas berdeham. "Aku punya cerita panjang tentang hubungan yang nggak harmonis sama orangtuaku, Wen. Titik terendah yang membuatku nggak bisa terus hormat sama mereka, terjadi enam tahun silam. Aku pulang dari Aussie tanpa ngasih kabar lebih dulu. Sampai di rumah, aku dapat kejutan mengerikan." Lucas menoleh ke kiri. "Itu juga kali pertama aku ngeliat orangtua Elisa. Kamu ingat kan sama perempuan yang heboh waktu kopernya ketabrak kamu di bandara?"

Mana mungkin Arwen bisa lupa. "Yang pengin dijodohin sama kamu, kan?"

"He-eh. Waktu itu, orangtuaku bikin pesta bejat di rumah kami. Mereka meliburkan semua orang yang kerja di rumahku. Kalau menurut bayanganmu, pesta apa yang mereka bikin?"

Arwen seketika merinding. "Aku nggak mau jawab, ah! Takut salah dan malah bikin kamu kesal," tolaknya.

"Aku nggak akan kesal," bantah Lucas. "Tebak ajalah. Ntar kita lihat apakah imajinasimu lebih liar dibanding kenyataan yang kuliat sendiri."

Arwen menolak tapi Lucas begitu gigih membujuk. Hingga dia menjawab, "Swinger?"

"Wow, kamu cukup jago berimajinasi juga ya, Wen. Tapi sayang, bukan itu yang terjadi," sahut Lucas. "Kejadian aslinya, jauh lebih parah dibanding sekadar swinger."

"Nggak ada kata 'sekadar' untuk swinger, Luc," protes Arwen.

"Eh, iya juga, ya." Lucas menginjak rem karena kendaraan yang dikendarai lelaki itu, teradang lampu merah. "Ini pertama kalinya aku ngomongin masalah ini sama seseorang. Nggak ada yang tau, termasuk Quentin atau Oma."

"Tau apa?" desak Arwen.

"Orangtuaku memiliki kelainan seksual, Wen. Papaku seorang transvetisme, sama kayak bokapnya Elisa. Sementara mamaku dan mamanya Elisa, ternyata biseksual. Tanpa sengaja, aku memergoki mereka sedang 'berpesta'. Para pria mengundang pelacur, sementara yang perempuan menjadi pasangan. Bisa bayangin perasaanku ngeliat itu? Sedikit banyak, itu mengubah hidupku."

Lagu : Remedy (Adele)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro