Walk This Way

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arwen malah terbahak-bahak sembari meletakkan piringnya ke atas meja. Lucas cemas perempuan itu akan terbatuk-batuk lagi. Dia lega saat memastikan makanan Arwen sudah habis.

"Wahai Lucas yang malang, aku beneran bersimpati sama kamu. Siapa tadi nama cewek norak itu? Elsa, ya?" tanya Arwen setelah gelaknya reda.

"Elisa," balas Lucas sembari mencebik. "Aku memang malang."

"Dia beneran nggak ngenalin kamu? Trus, kamu nggak ngomong kalau kalian pernah ketemu dan menyisakan memori yang luar biasa keren?"

"Wew, ledek aja terus," gerutu Lucas. Dia meraih air minumnya. Lucas menghabiskan isi gelasnya. Sedetik kemudian, Arwen meninggalkan ruang tamu itu dan kembali dengan cerek ukuran sedang berwarna ungu. Perempuan itu mengisi gelas Lucas yang sudah kosong dengan air putih. "Cereknya imut banget, Wen," komentar Lucas.

"Pilihan Saskia waktu mampir ke Ekalokasari," sahut Arwen sembari tertawa kecil. "Anak itu udah punya selera sendiri untuk urusan perabotan dan fashion."

Lucas memerhatikan saat Arwen berjalan mengitari meja dan kembali duduk di sebelah kanannya. Arwen tidak memakai riasan, rambut sebahunya diikat asal-asalan. Perempuan itu mengenakan legging warna mint sepanjang betis, serta kaus pas badan putih bergambar Winnie The Pooh. Mungkin, selama lima tahun terakhir, Arwen adalah satu-satunya lawan jenis yang bisa begitu santai di depan Lucas. Tentu saja Martha, Imelda, dan Cybil tidak masuk hitungan.

"Kamu belum jawab pertanyaanku, lho!" Arwen mengingatkan.

Lucas pun terkenang pada ekspresi kaget Elisa sekitar dua jam silam. Senyumnya merekah. "Kutanya, apa dia beneran nggak ingat sama aku, yang menurutnya belum tentu sanggup beli satu koper kayak punya dia? Harusnya sih tadi kufoto, biar kamu liat sendiri ekspresinya kayak apa. Mungkin, orang yang shock karena ngeliat hantu kepedesan pun nggak sanggup menyamai mimik kagetnya Elisa."

"Apa pula itu hantu kepedesan?" Tawa Arwen meledak. "Astaga, Luc! Kalau ngelucu, jangan lebay gitu, ah!"

"Aku nggak ngelucu. Itu perumpamaan yang cukup ngasih gambaran tentang situasi tadi," kata Lucas, kalem. "Ibaratnya gini. Andai kejutan bisa mencabik-cabik seseorang, Elisa pasti udah termutilasi."

"Ish, kok malah serem?"

"Kamu ya, semua diprotes. Tadi katanya aku ngelucunya lebay. Sekarang malah serem. Padahal, aku ngomong jujur. Elisa itu kagetnya luar biasa. Entahlah, kok bisa nggak ngenalin sama sekali. Atau, mungkin aja cuma pura-pura karena telanjur malu. Kemarin itu udah ngehina-hina, kan? Nggak taunya laki-laki yang dia maki, cucunya konglomerat." Lucas mengedikkan bahu. "Apa nama belakang itu ngaruh banget ya, Wen? Begitu pakai Chakabuana, aku langsung keliatan lebih keren seratus kali lipat."

"Nggak, kok. Kamu tetap keren walau nama belakangmu Wagiman atau Simorangkir."

Lucas bersandar di sofa. "Ah, itu melegakan. Ada juga yang ngaku kalau aku keren."

Sekilas, dia menyapukan pandangan ke seantero ruang tamu yang berukuran kecil itu. Sofa yang didudukinya menghadap ke arah televisi yang berada di atas bufet pendek. Dua buah sofa tunggal dipasang saling berhadapan, di kiri Lucas dan di sebelah kanan Arwen. Di salah satu dinding, ada beberapa foto Saskia dengan Arwen dan keluarga perempuan itu. Tidak ada foto Jemmy. Sebuah rak buku menempel di sebelah kiri bufet, dipenuhi buku dan boneka.

"Rumah kamu nyaman ya, Wen."

"Kamu itu ngehinanya halus ya, Luc."

"Nggak ngehina, beneran nyaman," bantah Lucas. "Rumah kontrakanku juga nggak jauh beda ukurannya sama rumahmu. Tapi kesannya berantakan dan bikin nggak betah. Aku belum sempat nyari rumah."

"Serius kamu mau pindah ke Bogor."

"Ya iyalah. Pet shop-ku ada di sini. Ngapain aku bertahan di Depok? Lagian, rumahku di sana udah ada peminat seriusnya. Minggu depan kayaknya bakalan transaksi," beri tahu Lucas.

"Kalau gitu, berarti harus buru-buru cari rumah dong, Luc! Apalagi kalau kamu merasa nggak betah. Karena, rumah itu seharusnya bikin penghuninya merasa nyaman dan nggak pengin sering-sering keluar. Kecuali terpaksa."

"Besok, deh. Kemarin Vonny dan dokter hewan yang praktik di Animal City sempat rekomen beberapa perumahan." Lucas bertukar tatap dengan Arwen. "Kalau kamu lagi nggak sibuk, mau nggak nemenin aku?"

Arwen mengangguk tanpa pikir panjang. "Maulah. Besok aku nggak punya acara. Saskia pun baru diantar setelah magrib. Karena besok dia mau ke rumah neneknya." Arwen meraih gelas berisi jus semangka. "Balik lagi ke masalah Elisa tadi. Apa reaksinya?"

"Nggak bisa ngomong sama sekali. Trus, aku langsung pamit sama mamaku sambil bikin pengakuan kalau aku udah punya cewek. Mamaku nggak percaya. Kubilang, silakan aja tanya sama si Elisa karena aku dan pacarku ketemu dia di bandara minggu lalu."

Wajah ibunya terlintas di benak Lucas. Perempuan itu menuding Lucas hanya mengarang cerita, demi menghindari perjodohan dengan Elisa. Namun, tak ada yang bisa mencegah Lucas meninggalkan rumah keluarganya. Dia mengabaikan Martha dan Rudolf yang berusaha membuat Lucas tetap tinggal hingga usai makan malam.

"Eh, maaf ya, Wen. Aku nggak ngomong dulu, udah langsung ngaku-ngaku aja ke mamaku."

Arwen menjawab, "Nggak apa-apa. Kita kan simbiosis mutualisme, Luc."

"Tadi, kepalaku udah mau pecah rasanya. Sampai aku nyaris keceplosan." Lucas berhenti mendadak. Dia tak mungkin membahas tentang perilaku menyimpang orangtuanya kepada Arwen, kan? Selama ini, semua rahasia mengerikan itu ditelan Lucas sendirian.

"Keceplosan apa?"

"Keceplosan kalau aku mau nikah sama pacarku," gumam Lucas asal-asalan, setelah jeda selama dua denyut nadi. "Saking eneknya ngebayangin Elisa yang itu jadi pasanganku, otakku otomatis bikin cerita karangan. Supaya Mama nyerah jadi makcomblang," imbuhnya buru-buru. "Dulu, Mama dan Papa nggak pernah ngurusin soal pasanganku. Mendadak sekarang jadi kayak gini. Jujur, aku curiga ada pemicunya meski belum tau pasti."

Arwen menepuk lengan kanan Lucas dua kali. "Jangan benci sebenci-bencinya, Luc. Nanti malah jadi cinta secinta-cintanya," kelakarnya.

"Astaga! Kenapa sih, nggak doain yang bagus-bagus?" protes Lucas. Lelaki itu mengibaskan tangan kanannya. "Udah ah, jangan ngomongin Elisa lagi. Tutup buku, ya? Mending ngebahas yang lain. Kapan nih, kamu mau ngajak Saskia main ke Animal City, lagi?"

Arwen bersandar di lengan sofa, dia menghadap ke arah Lucas. Kakinya terlipat di atas sofa. "Aku masih nyari waktu yang enak, sih. Tadinya mau hari ini, tapi batal karena Saskia mau nginep di rumah papanya."

Lucas teringat sesuatu. "Jadi, gimana reaksi mantanmu setelah tau kalau kamu sekarang punya pacar, Wen? Cowok kelas paus pula," gurau Lucas.

Arwen terkikik geli. "Paus, ya?"

"Karena kakap udah terlalu mainstream, Wen. Lagian, dari sisi ukuran, paus jelas-jelas menang dari semua hewan yang hidup di laut," argumen Lucas. "Ayo, cerita! Jangan sungkan."

"Kami sempat ribut pas hari Selasa. Jemmy datang ke kantor. Intinya, dia cemburu dan takut kamu bisa bikin Saskia jatuh hati. Dia nggak ngaku terang-terangan, sih." Arwen tersenyum pada Lucas.

"Dia beneran masih cinta sama kamu, ya?" selidik Lucas.

"Katanya sih gitu. Tapi, perasaan kan nggak bisa dipaksa, Luc. Dulu aja, pas masih cinta-cintanya sama dia, aku nekat batalin pernikahan kami. Nggak ada alasan kalau sekarang aku harus berubah pikiran. Apalagi, saat ini udah beneran tawar, nggak ada perasaan apa pun."

Lucas manggut-manggut. Dia suka dengan kejujuran Arwen. "Jadi, andai kami ketemu, bakalan sampai berantem nggak, Wen?"

"Luc, jangan terlalu menghayati peran kayak gitu," respons Arwen. Dia memajukan tubuh untuk meninju bahu Lucas. "Kamu kira ini kayak cerita drama romantis? Ada pacar baru dan mantan yang selalu membayangi, trus keduanya terlibat kontak fisik karena cemburu?" Perempuan itu mengecimus.

Lucas tertawa. Dia tidak mengira jika bertemu dan mengobrol dengan Arwen membuat sebagian bebannya seolah lenyap begitu saja.

"Keluargamu gimana? Udah kelar kehebohan gara-gara kamu ngegandeng cucunya Ramon Chakabuana?" canda Lucas lagi.

"Keluarga besar, kayaknya masih sibuk ngebahas soal kita. Mungkin banyak yang nuduh kalau aku pakai pelet atau susuk untuk dapetin kamu." Arwen tersenyum lebar. "Sementara di keluarga inti, mereka beneran kaget. Bukan karena nama belakangmu, lho! Tapi karena akhirnya aku punya pacar setelah lima tahunan hidup kayak pertapa. Itu kejutan besar buat mereka."

Lucas mendadak terpikirkan satu hal. Dia buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku celananya. "Selfie, yuk! Aku mau kirim foto kita ke sepupuku, Quentin. Aku udah pernah cerita sekilas soal dia, kan? Itung-itung mulai menyusun bukti kalau sekarang aku memang punya pacar. Bukan bule buduk kayak yang selalu omaku bilang."

"Hah? Bule buduk? Kok bisa?"

"Omaku memang suka menghina cewek-cewek yang pernah kencan sama aku. Padahal, omaku sendiri bule tulen. Tapi enak aja ngatain orang." Lucas geleng-geleng kepala sembari mengutak-atik gawainya. "Tapi, aku sayang banget sama Oma dan Opa."

Arwen tidak keberatan berfoto berdua dengan Lucas. Perempuan itu bahkan mengambil tongsis sehingga mereka bisa berpose lebih leluasa. Lucas mengambil beberapa foto dan mengirimkan dua di antaranya kepada Quentin via WhatsApp.

Lucas Virgil C. : Breaking news. Pasangan anyar yang lagi bahagia.

Balasan Quentin datang tak sampai satu menit kemudian.

Quentin Kalani C. : Bener-bener kejutan! Selamat ya, akhirnya ketemu juga cewek non bule buduk.

Quentin Kalani C. : Namanya siapa, Luc? Dari suku pedalaman mana?"

Lucas tertawa saat membaca pesan dari sepupunya. Dia buru-buru mengetikkan balasan.

Lucas Virgil C. : Namanya Arwen. Sama kayak pasangannya Aragorn di film The Lord of The Rings.

Quentin Kalani C. : Kapan aku dan Cybil bisa kenalan sama Arwen yang namanya kayak pasangan Aragorn di film The Lord of The Rings?

Lucas Virgil C. : Nantilah. Kalau memang waktunya pas.

Setelah mengirim pesannya, Lucas kembali memasukkan ponselnya ke kantong celana. Lelaki itu sempat melirik jam tangannya. Sudah pukul setengah sebelas. "Besok gimana? Aku yang jemput kamu ke sini, ya? Jam berapa kira-kira enaknya, Wen?"

"Aku sih bisa jam berapa aja. Karena memang lagi nggak ada kerjaan," sahut Arwen.

"Jam sembilan?"

"Oke."

Lucas bangkit dari tempat duduknya. "Aku beneran betah di sini," akunya jujur. "Tapi, ini udah malam. Aku pulang dulu, ya?"

Arwen ikut berdiri. "Oke. Ati-ati nyetirnya, Luc. Kalau pas nyampe rumah ternyata masih bete, telepon aja. Kita masih bisa ngobrol tentang hantu kepedesan atau kekagetan yang bisa memutilasi seseorang."

Lucas tergelak. "Siap, Nyonya. Kayaknya kamu beneran menghayati kerjaan sebagai temen curhat di Share With Me, ya?"

Saat mobilnya bergerak meninggalkan rumah Arwen dan melihat perempuan itu melambai ke arahnya, Lucas benar-benar tak ingin pulang. 

Lagu : Walk This Way (RUN DMC ft. Aerosmith)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro