10 ~ Pelukan Arel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Hah? Kok, bisa? Bukannya selama ini perusahaan papa aman-aman aja, Ma?” Sandrina membawa Mamanya ke sofa, dan mengambil air minum untuknya agar lebih tenang. “Minum dulu.”

Shita meminum airnya sedikit, dan kembali mengucapkan, “Sekarang lagi diselidiki papamu kenapa bisa rugi segitu banyaknya. Tim akuntan perusahaan lagi berkumpul  untuk mendeteksi adanya kebocoran keuangan. Sementara ini, baru beberapa karyawan yang tahu, dan nggak boleh bocor ditakutkan karyawan lain panik dan mereka berpikir akan ada pengurangan karyawan.”

“Iya, Sandrina tau. Itu mungkin ada yang salah dalam perhitungan, Ma. Kita berdoa aja, semoga segera membaik. Aamiin.”

Terlepas dari masalah ini, kepala akuntan perusahaan Rian adalah Andra, ayah Deandra. Dia yang bertanggung jawab jika keuangannya terjadi kendala di perusahaannya. Juga, yang bisa mengakses seluruh keuangan perusahaan karena dirinya yang menjadi kepala akuntan.

Sandrina mengelus punggung mamanya, dan mencoba tegar menghadapi masalah ini demi sang mama. Tidak mungkin dirinya menunjukkan kesedihan dalam keadaan di mana Sandrina harus menjadi kuat disaat Mamanya sedang terpuruk.

“Om Andra bukannya lagi ke luar negeri ngurus kerja sama, ya, Ma?”

“Iya. Papamu mungkin mau nyusul dan bawa pulang ommu.”

Tinggal menunggu kabar tentang peusahaannya, jika semakin memburuk kemungkinan terbesarnya adalah bangkrut. Karena kerugian yang terjadi bisa menyebabkan kekurangan dana untuk membayar karyawan yang otomatis akan mengurangi jumlah karyawan.

Sandrina tidak tahu harus berbuat apa karena dirinya belum mengetahui betul bagaimana menjalankan perusahaan. Terlebih tentang penjualan di perusahaan ayahnya. Ia sama sekali tidak tahu berapa harga yang ditawarkan, berapa harga pembuatan barangnya. Memikirkan hal ini membuat kepalanya berdenyut.  

Shita istirahat di kamar, dan Sandrina pergi bersepeda santai ke taman Spathodea untuk menjernihkan pikirannya yang sumpek. Begitu banyak masalah dalam hidupnya.

Mengira setelah Deandra jadian dengan Arel masalah akan selesai, ternyata semakin panjang. Belum lagi masalah dalam keluarganya. Sambil mengayuh sepedanya menuju taman, Sandrina berhenti untuk membeli minum di pinggir jalan, lalu melanjutkan lagi mengayuhnya.

Jalan di taman Spathodea saling terhubung dan dekat dengan jalan raya sehingga mudah untuk menuju lokasi.

Banyak keluarga bersantai di taman, mereka mengajak anaknya untuk bermain ayunan atau berolah raga. Tempat parkir yang luas, serta banyaknya fasilitas membuat pengunjung betah berlama-lama menikmati pemandangan asri nan adem. Sandrina memarkirkan sepedanya di parkiran ujung, lalu berjalan masuk sambil merentangkan kedua tangannya untuk menghirup udara.

Mengambil bola sepak yang ditendang anak kecil melewati dirinya. Sandrina berjongkok, dan tersenyum sambil memberikan bolanya. “Ini.”

“Makasih, Tante.”

Sandrina membelalakkan mata, ia terkejut dirinya dipanggil tante oleh anak kecil. Emang wajahnya tidak sebanding dengan umurnya apa? Batinnya. Ia bergumam sambil menjauh dari anak kecil tersebut sambil mengerucutkan bibirnya.

Sambil membawa air minumnya, Sandrina mencoba untuk bermain ayunan. Udara sore yang sejuk seperti udara di pagi hari membuatnya rindu untuk ke taman. Pepohonan yang rindang juga asri lah yang membuat udara menjadi sejuk.

“Eh, itu Sandrina. Ke sana, yuk!” ajak Deandra. Ia menarik lengan pacarnya.

Sandrina terkejut saat menoleh ke samping sudah ada Deandra dan Arel di sini. Dunia terasa sempit saat melihat mereka berdua di depan mata. Ingin menghilangkan stres karena aktivitas sehari-hari, di sini, malah ketemu dengan si pembuat stres.

“Udah lama, San?”

Melihat Arel sekilas, lalu menoleh pada Deandra. “Baru, kok.”

Deandra duduk di ayunan sebelah Sandrina, dan meminta Arel untuk mengayunnya pelan. “Sayang, pelan-pelan, ya, ngayunnya!”

Mendengar ucapan Deandra membuat  Sandrina merasa mulas. Ucapannya terdengar dibuat-buat, manja seperti anak kecil yang minta dibelikan permen. Ia terus menatap dua anak kecil yang sedang bermain perosotan. Mereka saling tertawa lepas, menertawakan hal kecil yang yang dianggap remeh orang dewasa yang nantinya akan mereka rindukan saat sudah dewasa nanti. tanpa memikirkan masalah, tanpa memikirkan urusan orang dewasa, dan tanpa memikirkan hubungan dengan lawan jenis.

“Enak, ya, jadi anak kecil, tuh?” Sandrina tersenyum, lalu menoleh pada Deandra. “Eh, Deandra mana?”

Arel yang berada di sebelahnya juga tersenyum dan mengucap, “Deandra lagi ke toilet, lo tadi diajak diem aja, jadi dia sendiri.” Arel duduk di ayunan bekas Deandra. “Lo lagi liatin anak kecil yang mainan perosotan, ya?”

“Heem.” Sandrina menggangguk melihat Arel, lalu melihat dua anak kecil lagi, sesekali mengayun pelan ayunannya. “Ngeliat mereka jadi pengen kecil lagi. Tanpa masalah, nggak peduli urusan orang dewasa, nggak ngerti apa namanya dimanfaatin, yang ada cuma saling memberi apa yang dipunya.”

Sandrina membayangkan semasa kecilnya dulu, sering bermain di rumah Deandra hingga lupa waktu. Membawa boneka, juga mainan Barbie lengkap satu set—dari rumah-rumahan hingga seisinya—semua berwarna merah muda.

“Harusnya yang udah dewasa jangan mau hidup cuma dimanfaatin doang. Kita hidup, tuh, dengan hukum give and take. Kalo lo nggak nerima apa yang udah lo kasih, ya, jangan ngasih. Jangan membebani diri dengan label sepupu, kenal dekat, atau saudara."

“Juga, dalam hidup ini jangan percaya apa pun sama orang lain, meskipun itu saudara kandung lo. Karena demi menyelamatkan harga dirinya, orang itu berani menusuk saudaranya.”

Ada benarnya ucapan Arel. namun, tidak sepenuhnya benar. Sandrina merasa, jika menjalaninya dengan ikhlas, semua itu tidak akan ada masalah. Cewek dengan rambut pendek sebahu itu mendengarkan dengan seksama setiap kata yang diucapkan Arel. ia tidak menyangka jika orang selengean seperti dia bisa memberi petuah. Benar jika ada istilah jangan nilai buku dari kovernya. Nyatanya, Arel yang notabene terkenal dengan ceplas-ceplos dan selengean bisa memberi nasehat hidup yang belum pernah Sandrina dapatkan dari Mamanya.

Shita selalu bilang, beri saudaramu selama kamu mampu. Jangan pernah membandingkan hidup orang lain dengan dirimu, juga jangan membeda-bedakan. Hingga kini, Sandrina terapaku pada kata beri saudaramu. Sandrina selalu memberikan apa yang ia punya pada Deandra, terlebih waktu senggang.

Selalu mengangguk mendengar ucapan Arel, tiba-tiba Deandra sudah ada di sebelah Arel. Ia menatap Sandrina dengan memegang ponselnya. “Na, lihat grup sekolah, deh! Apa bener kalo lo suka sama Arel? Lo mau ngerebut dia dari gue?”

Terdengar dari nada suaranya membuat Sandrina mengernyit, seperti marah tapi ditahan. Sandrina segera membuka ponselnya, di sana banyak sekali pesan yang membuatnya terpaku pada umpatan-umpatan murid lain. Tidak lama ponselnya bergetar, nada panggilan masuk. Ditolaknya panggilan tersebut, kemudian pesan pribadi bermunculan.

Dalam pesan grup itu terdapat video Arel yang menyatakan cinta padanya. Ia tidak menyangka saat Arel menariknya ke taman belakang dulu, kini tersebar cepat di grup sekolah. Siapa yang tega mengunggahnya ke grup? Video itu tidak sepenuhnya apa yang Arel ucapkan waktu itu.

Seakan dunia memang kejam pada Sandrina, tidak membiarkannya hidup dengan tenang tanpa masalah. Baru tadi siang ia membatin masalah apa lagi yang akan menimpanya. See? Mata Sandrina berkaca-kaca melihat video itu.

Arel juga membuka ponselnya. Di sana, benar apa yang diucapkan Deandra pada Sandrina, tapi video itu tidak menampilkan seluruh ucapan yang dulu dikatakannya pada Sandrina.

Deandra langsung pergi, ia tidak menyangka jika cintanya akan direbut oleh sepupunya sendiri. Sepupu yang sudah ia anggap seperti adik kandungnya, dan juga seperti sahabat sendiri. Arel langsung menyusul Deandra, ia harus menjelaskan ini semua pada Deandra apa yang terjadi sebenarnya. “De, berhenti,” teriaknya.

Tetap berlari menghindari Arel. Deandra marah jika cowoknya menyukai perempuan lain, bukan dirinya. Egois? Iya. Deandra ingin menjadi cewek egois saat ini, yang tidak peduli pada perasaan orang lain.  Ia memberhentikan taksi yang saat itu lewat di depannya.

Sementara Sandrina masih mencari tahu siapa dalang semua ini. Saat di taman belakang ia merasa tidak ada yang melihatnya berduaan dengan Arel. untuk mencari tahu siapa dalang dibalik ini semua, tidak mungkin akan ada yang mengaku jika ditanya satu per satu. Di dalam grup itu ada ratusan murid, dari kelas 10 hingga 12. Tidak mungkin juga Sandrina akan menanyai mereka satu per satu.

Mematikan ponselnya, Sandrina memilih untuk pulang ke rumah. Ia tidak ingin diganggu siapapun untuk saat ini.

Sepertinya cuaca sangat mendukung Sandrina untuk menumpahkan segala keluh kesah yang ada di dalam hatinya. Seperti berpihak pada Sandrina, gerimis menggguyur seluruh tubuh, Sandrina tetap mengayuh sepedanya. Menangis dalam rintik hujan bukankah tidak ketahuan? Sandrina ingin menumpahkan semua amarah di hatinya.

Rasa marah karena selalu menjadi tukang pos untuk Deandra, marah karena tidak bisa membantu perusahaan orang tuanya, juga marah karena selalu berdekatan dengan Arel.

suara klakson menggema, hingga teriakan orang di sekitar tidak Sandrina hiraukan. Ia terus mengayuh sepeda hingga di pertigaan jalan, tepat di tengah-tengahnya sebuah sepeda motor melintas dan hampir menyerempet Sandrina apabila Arel tidak memberhentikan motornya tepat di depan sepeda Sandrina.

“Lo gila? Kalo ngelamun jangan naik sepeda!” Sambil basah kuyup, Arel memarahi Sandrina yang sudah diajak minggir.

Tadi Arel sengaja membuntuti Sandrina karena air dari langit sepertinya juga ikut menumpahkan kekesalannya karena penduduk bumi yang terus memakai rumah kaca, atau membuat polusi udara. Saat di pertigaan, suara klakson sudah menggema.

Sandrina hanya bisa menangis, tanpa menjawab Arel. Cowok itu langsung memeluk Sandrina dengan baju basahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro