3 ~ Suka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Apa kamu bahagia kalau aku jauh darimu? Sedangkan, diri ini tidak bisa jauh darimu, Sayang.” Arel melangkah, mendekat pada Sandrina yang duduk di bangku taman.

Suasana ruang Teater diubah seperti taman, dengan sedikit pepohonan dalam pot, serta lampu hias yang tingginya sejajar dengan tinggi Sandrina. Bangku panjang untuk mereka berdua beradu akting.

“Mas ... Mungkin ini sudah jalan kita harus berpisah. Hubungan kita tidak direstui keluargamu. Aku bisa apa?” Sandrina menutup matanya, dengan pundak bergetar.

“Sudah, Sayang. Kita akan berjuang bersama melalui cobaan ini. Hubungan yang murni, tidak akan mudah untuk melaluinya.” Tangan Arel memegang pundak Sandrina, diajaknya berdiri, lalu memeluk Sandrina.

Dengan sesenggukan, Sandrina berkata, “Apa berdosa jika kita tetap menjalin hubungan ini? Apa salah kalau kamu dan aku tetap menjalin hubungan ini?” 

Suara musik dibuat mengalun pelan untuk mengiringi suasana sedih yang Arel dan Sandrina mainkan.

“Oke. Bagus!” ujar Bu Hani selaku pembina dan pelatih Teater dari kursi penonton. Sandrina dan Arel menghentikan drama mereka, membungkuk sebelum akhirnya Bu Hani berjalan ke arah mereka.

“Sandrina, penjiwaan kamu kurang dikit lagi, ya! Pas nangis itu kamu kurang terlihat sedih. Kalo kamu Arel, pas bilang sedangkan itu kamu sudah di dekat Sandrina, terus waktu bilang ‘Diri ini tidak bisa jauh darimu, Sayang’ itu sudah pegang pundak Sandrina.” Bu Hani menggulung naskah yang dipegang, lalu menatap Sandrina dan Arel lagi, juga melihat ke sekeliling yang sedang berdiri di sekitar mereka. “Oke. Cukup untuk hari ini. Yang lain, semangat, ya! Besok latihan lagi. Oh iya, pembagian peran untuk drama ulangtahun sekolah nanti. kita akan menampilkan Cinderella sama Rakyat Jelata. Dua drama itu.”

“Baik, Bu.” Sandrina menjawab diikuti juga yang lainnya.

“Oke, selamat pulang dan beristirahat.” Bu Hani mengemasi barang-barangnya lalu keluar. Begitu juga yang lainnya.

Sandrina mengenakan jaket, lalu menggendong tasnya yang langsung ditarik sama Arel. “Apaan, sih?”

“Gue anterin pulang!”

“Gue udah dijemput sama sopir.” Sandrina membenarkan posisi tasnya lagi. Mereka berjalan menuju gerbang.

“Gue udah WA-an sama sepupu lo. Thanks, udah ngasih nomer gue ke dia.”

“Gue berharap, lo segera jadian sama sepupu gue biar gue nggak jadi tukang pos mulu yang tiap hari ngasih surat atau kabar lo ke dia.”

“Masih ada Sheina, lo lupa?”

Tanpa disadari, mereka sudah sampai di gerbang sekolah. Sandrina berhenti dan melihat ke sekeliling, tempat mobilnya terparkir.

“Gue tau lo bakal milih siapa. Gue pulang dulu,” pamitnya. Sandrina menuju mobil, dan diangguki oleh Arel.

“Andai lo tau siapa yang gue pilih,” ucapnya pada diri sendiri, pasalnya Sandrina sudah masuk ke dalam mobil. Arel menuju tempat parkir untuk mengambil sepeda motornya.

Suasana sekolah semakin sepi, para murid yang mengikuti ekstra kurikuler sudah pulang. Ada satu dua murid yang masih terlihat di depan gerbang karena menunggu jemputan mereka.

Sore hari ini tampak indah karena oranye dari warna sinar mentari menghiasi ufuk barat. Langit terlihat bersih dari awan yang menggumpal.

Berbeda halnya dengan jalanan, yang kian sore makin padat karena jam pulang kerja, ditambah beberapa murid baru saja pulang lantaran ada les tambahan. Arel menyusuri jalanan ibukota dengan bersenandung pelan menikmati polusi jalanan yang kian menumpuk.

Banyak mobil dan juga kendaraan roda dua yang memenuhi jalanan. Suara bising dari klakson bus memenuhi gendang telinganya, bau asap dari truk atau metromini membuat Arel membuka helm dan mengenakan penutup hidung saat di lampu merah.

Semakin banyaknya perempuan berovulasi, semakin banyak pula manusia baru yang terlahir ke bumi dan menambah sesak penduduk planet yang dulunya berwarna biru.

“Arel pulang,” teriaknya saat memasuki rumah.

Seperti biasa, rumah sepi bak tak berpenghuni menyelimuti rumah keluarga Dwicaksono. Ayahnya seorang pebisnis yang mengelola properti, Ibunya seorang designer yang juga mengurus butik. Hanya ada Arel dan adiknya yang masih sekolah di bangku SMP.

“Udah makan, Ra?” sapanya saat melihat Ara tengah duduk di depan televisi. Arel langsung duduk di samping Ara yang terlihat serius melihat televisi.

Ara menatap Arel sambil melirik seperti tatapan seorang pemilik rumah kedatangan penagih hutang. Tatapan tidak suka karena acara nonton televisinya diganggu.

“Sssst....” Mengerucutkan bibir sambil mengangkat jarinya di depan bibir, menyuruh Arel untuk diam. Ia tidak ingin acara menonton Upin dan Ipin diganggu oleh sang kakak.

Sebuah ide terlintas di otak Arel. Ahaa.... sambil menjentikkan jarinya, Arel berjalan ke depan, dekat dengan tangga sambil mencabut colokan listrik televisi. Ia langsung berlari sebelum mendapat amukan dari Ara.

“Bang Areeelll....” Dengan sekuat tenaga, Ara mengejar Arel yang sudah sampai di tengah tangga.

“Kejar kalo bisa!” ledeknya sambil menjulurkan lidah saat menengok ke belakang, lalu naik lagi menuju kamarnya.

“Buka nggak!” Ara menggedor pintunya. “Buka, Bang! Liat aja, ntar. Ara bilang ke Bunda. Bang... buka!” Menunggu di depan pintu kamar Arel.

Selama dua menit tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka, Ara turun ke bawah lagi sambil menggerutu. “Awas aja kalo Bunda pulang, bakal Ara aduin ke Bunda! Emangnya Bang Arel aja yang bisa berulah.” Melirik lagi ke atas, pintu kamarnya masih tertutup.

Tertawa sepuas hati, Arel langsung mengambil handuk untuk membersihkan diri, lalu mengecek ponselnya untuk membalas pesan dari Deandra.

Diliriknya jam weker yang ada di atas nakas, sudah hampir jam enam. Arel pun bersiap diri untuk pergi ke rumah Deandra.

To: Sun_drina
Di rumah nggak? Gue dateng ya setelah dari Deandra

Sambil menunggu balasan dari Sandrina, Arel merapikan penampilannya dengan memakai deodoran dan minyak wangi ke seluruh kemeja juga kaos dalamnya. Diciumnya ketiak serta lengan kanan kiri untuk memastikan jika dirinya benar-benar wangi untuk memikat hati para cewek yang akan ia datangi.

Malu, dong, kalo datang tiba-tiba bau badan, ‘kan? Bukan Arel banget kalau sampai ia bau badan. Mau taruh di mana muka gantengnya yang terkenal dengan raja drama?

Hari ini, ia memakai kaos dalam berwarna putih, kemeja warna biru dongker, serta celana jin yang bagian lututnya sobek. Setelah mengecek barang bawaannya, yang hanya membawa kunci sepeda motor serta dompet dimasukkan ke dalam saku, ponselnya berbunyi. Iapun langsung membaca pesannya.

From: Sun_drina
Jam berapa? Kalo sekarang gue nggak bisa

Arel hanya membaca, tidak berniat membalas. Ia pun mengirim pesan pada Deandra jika dirinya akan ke rumahnya saat ini.

Setelah melihat ruang keluarga tidak ada Ara, Arel langsung berlari ke garasi untuk mengeluarkan motor kesayangannya yang akan digunakan untuk mendatangi setiap cewek yang akan ia pacari.

Ngomong-ngomong soal pacaran, Arel sudah lama tidak menjalin hubungan setahun ini. Selama setahun pula ia tebar pesona ke sana ke mari, terutama pada Sandrina.

Tepat pukul tujuh malam, Arel sudah berdiri di depan rumah bercat putih abu-abu, dengan gerbang warna hitam. Rumah Sheina tidak kecil, untuk parkir cukup sekitar lima mobil garasinya.

To: Shein mobil
Gue di depan, keluar dong!

Tak butuh waktu lama setelah mengirimkan pesan, Sheina keluar dengan memakai celana pendek yang membuat mata Arel terpaku pada kaki jenjang nan mulus milik Sheina. Rambut panjangnya sengaja digerai terombang-ambing terkena angin malam.

“Udah lama? Masuk, yuk! Banyak angin di luar.” Sheina merapatkan jaket yang dipakainya, berdiri di depan Arel. Arel langsung terkesiap mendengar ucapan Sheina, matanya langsung menatap Sheina. 

“Di sini aja, nggak apa-apa. Gue cuma sebentar.” Sambil memutar-mutar ponselnya, Arel bersandar di motornya.

Selepas mengobrol cukup lama, Arel berpamitan untuk pulang. Pamitnya karena Ara mengirim pesan agar Arel segera pulang, yang terjadi adalah Deandra yang mengiriminya pesan jika dia sudah sampai rumah setelah berbelanja dengan ibunya.

“Gue pamit, ya!” Memakai helm, setelahnya Arel menyalakan mesin.

“Lain kali kalo main harus masuk rumah, jangan di luar gini! Kalo main nggak pernah mau masuk rumah.”

“Iya, kapan-kapan. Gue cabut, dulu.”

Arel langsung menjalankan motornya menuju rumah Deandra. Selama sepuluh menit perjalanan, ia telah menyiapkan kata-kata untuk mengatakan sesuatu yang membuat setiap cewek merasa di atas angin. Deandra sangat senang jika dirinya dipuji, apalagi dipuji oleh Arel. Serasa dunia hanya milik berdua dengan Arel, yang lain ngontrak.

Untuk menuju rumah Deandra, Arel melewati rumah Sandrina. Rumah bercat putih, dengan banyak kayu-kayu yang menjadi pagarnya, gerbangnya terbuka membuat Arel bisa melihat dalam rumah itu. Terlihat ada pembantu yang sedang membuka pintu belakang mobil.

Saat melihat rumah Deandra, dia sudah ada di depan gerbang dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya, menunggu Arel lebih tepatnya.

“Kok, di depan? Nunggu siapa?” Turun dari motornya, melepas helm dan juga hoodie untuk ditaruh di atas motor.

“Nungguin lo sambil nunggu tukang nasgor lewat. Eh, kebalik, ding.” Deandra tersenyum menampilkan giginya yang gingsul.

“Gue juga belum makan tadi, sekalian, ya. Ntar gue aja yang bayar!”

Tukang nasi goreng langganan sudah terlihat dari ujung jalan, suara kentung sudah terdengar membuat Deandra yang sudah dilanda kelaparan terlihat semringah. Deandra masuk ke dalam rumah untuk mengambil dua piring. Setibanya di depan, tukang nasi goreng sudah berada di sebelah rumah.

“Tuh, udah deket!” tunjuk Deandra menghilangkan grogi ketika Arel menatapnya seperti sedang menelanjangi korban.

Arel melihat ke arah kanan, di mana tukang nasi goreng tiba. “Bang, dua, ya! Yang satu pedes banget.” Arel melihat Deandra. “Lo pedes nggak, De?”

“Kayak biasa, abangnya udah tau.”

Menunggu sekitar sepuluh menit, nasi goreng sudah siap. Deandra membawa nasi goreng, sedangkan Arel menuntun motornya memasuki rumah Deandra.

“Gue ambil minum dulu, ya!” Deandra pamit masuk lagi.
Tanpa menunggu si empunya rumah, Arel memakan nasi gorengnya. Mungkin, untuk menunggu Deandra mengambil air minum berasa seperti seabad karena Arel sudah sangat lapar.

“Gue makan duluan, nungguin lo kelamaan.” Nasi gorengnya tinggal setengah, Arel mengambil minum yang sudah dituangkan Deandra. “Dimakan, De!”

Deandra bengong melihat cara makan Arel. Bagaimanapun juga, orang ganteng tetap ganteng. Deandra langsung duduk, memakan nasi gorengnya. Jarang-jarang bisa dinner sama orang ganteng, ‘kan?

Meskipun baru dua kali bertamu, Arel tampak biasa saja, tidak canggung, apalagi merasa malu karena bertamu untuk makan.

“De,” panggilnya. Arel melihat Deandra menyuapkan nasi goreng terakhirnya.

“Iya?” sambil menutup mulutnya karena mengunyah sambil berbicara, Deandra langsung meminum air putih. “Kenapa?” 

"Lo cantik," pujinya. Memang cantik. Deandra memakai riasan ringan seperti yang ada di drama-drama Korea, tipis tapi manis.

"Mmmm... Makasih," tulusnya. Deandra tersenyum sambil mengeratkan jaketnya dengan tangan kiri.

“De, misal lo punya dua kucing kesayangan. Terus lo pengen bawa salah satu kucing itu ke luar negeri. Kucing mana yang bakal lo bawa? Kucing ini beda-beda kriterianya. Sebut aja yang kuning ini, cuek, tapi penyayang. Yang putih sebenernya baik, tapi agresif, ember, gitu. Lo bakal pilih yang mana?”

“Tunggu.” Deandra memajukan badannya, dengan tangan bersedekap di meja, kepala condong ke depan. “ini bukan cewek yang naksir elo, ‘kan, yang lo sebutin?”

“Bukan, ya kali ada dua cewek. Banyak bener. Gue itu cowok yang nggak mau pacaran sama dua atau tiga cewek. Satu aja nggak abis-abis.” Arel bersandar pada kursi yang ia duduki, melipat tangannya di dada. “buruan, kucing yang mana?”

Mata Deandra menelusuri wajah Arel, menatapnya dengan seksama. Adakah dirinya berbohong? Jari telunjuknya diketuk-ketukkan di dagu, bibirnya mengerucut, dengan kepala manggut-manggut. Kucing mana yang akan Deandra pilih, apakah menentukan siapa yang akan Arel pacari?

“Gue punya pertanyaan, emang kucing bisa ngomong? Kok, lo bilang ember tadi?” Deandra ikut menyandarkan tubuhnya di kursi seperti Arel.

“Dia suka nyakar, teriak-teriak. Anggep aja ember.” Arel berdiri, menepi di tepi teras membelakangi Deandra sebentar, lalu menghadap Deandra. 

“Oh, gue suka kucing yang putih. Soalnya gue suka warna putih.”

“Gue sukanya sama lo,” bisik Arel berdiri membungkuk di samping Deandra. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro