Bab 10. Baik-baik saja

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gue bukan sok-sokan jadi pahlawan, men!" Tangan Azky memutarnya dengan kuat, tak peduli jika ia akan meringis. Kaki kanan Azky menendang kaki yang menjadi tumpuan dari pria itu. Setelah pria itu terjatuh, Azky mengangkat sebelah alis lalu menyengir.

Teman dari pria tersebut tidak terima. Ia melirik ke bawah. Kakinya melangkah untuk mengambil tanah kering. Segenggam tanah itu ia lemparkan ke arah Azky. Sontak, Azky menutup mata dengan erat. Terasa sakit, menusuk, dan perih. Ia berusaha menghilangkan sisa tanah dengan punggung tangan. Setelah berhasil menangkap sebuah cahaya. Ia membuka matanya perlahan-lahan. Sial. Kedua pria itu berlari dengan cepat. Seperti sebuah kereta yang baru saja melintas. Azky menundukkan wajah. Kedua tangannya berada di antara kedua lutut. Ia memejamkan mata dengan napas terengah, lalu kembali mengangkat wajah dan berjalan menemui ibu tadi.

Ibu itu masih duduk di tepi jalan. Ia menyadari Azky sedang berjalan ke arahnya lalu bertanya,"Gimana, Nak? Dapet, dompet Ibu?"

Lantas, Azky langsung duduk di sampingnya. Ia menggeleng pelan. "Maaf, Bu. Azky sudah berusaha ...," ia menarik napas panjang dan dihembuskan perlahan dengan netra melirik ke ujung jalan, tempat ia mengejar kedua pria itu. "Tapi, mereka lari, Bu. Azky minta maaf!"

Mata ibu itu berbinar. Satu bulir kristal bening berhasil meloloskan diri. Ia menghela napas. "Astagfirullah." Kedua tangannya menutup wajah.

Azky tidak tega melihat ibu itu. Tangannya mengelus bahu sang ibu. "Azky ganti uangnya ya, Bu!" Ia memasukkan telunjuk dan ibu jari ke dalam saku. Uang berwarna hijau kini sudah berada di tangannya. Azky menghela napas. "Tapi Azky hanya punya segini, Bu!"

Ibu itu menatap Azky dalam. Kepalanya menggeleng. "Tidak!" Tangannya menolak kala Azky memberikan uang itu. "Tidak. Tidak usah, Nak! Mungkin itu bukan rezeki Ibu."

Jujur. Keadaan ini membuat Azky serba salah. Ia amat bingung.

"Ibu sudah mengikhlaskannya!" lanjut ibu itu.

Tidak. Azky berani bersumpah bahwa ucapan ibu itu barusan adalah suatu kebohongan. Ia hanya tidak ingin Azky merasa bersalah karena telah gagal mendapatkan dompetnya.

"Tapi, Bu—" sesal Azky.

Ibu itu mengelus bahu Azky dengan lembut. "Makasih karena sudah mau membantu Ibu. Tidak usah kamu ganti!"

Azky menggigit bibir bawah dan mengangguk pelan. Ia merasa bersalah sudah meminta ibu itu menunggu dan akan mendapatkan dompetnya, tetapi hasilnya nihil.

Ibu itu berdiri. "Kalau begitu, Ibu pamit dulu!"

Azky tersenyum canggung. Namun, ibu itu tetap melebarkan senyum. Azky yakin, hatinya pasti tidak ikhlas. Siapa yang tidak sedih, sakit hati, dan marah kalau seseorang terkena musibah seperti itu. Azky menunduk. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Perkelahian dengan Reksi ditambah lagi dengan pria tadi. Sungguh. Semua tulang-tulang Azky seakan remuk.

Ibu itu sudah melangkah, tetapi ia ingin bertanya sesuatu tentang wajah Azky yang lebam. Namun, saat netranya melirik ke belakang, Azky masih menunduk. Ibu itu tersenyum kecut dan kembali berjalan. Azky melirik sang ibu yang sudah menjauh dari pandangannya. Ia berdiri dan berjalan untuk pulang.

***

"Azky!"

Terdengar suara seseorang memanggil Azky dari belakang.

Azky menoleh. "Kak Rinda!"

"Azky!" Rinda menatap Azky bingung. "Muka kamu?" Tangannya langsung meraba wajah Azky. "Kok lebam? Jelasin ke Kakak!"

"Kak, jangan lebay deh!" pinta Azky, "Azky gak kenapa-kenapa kok, ini kena pukul dikit aja!"

"Kamu berantem? Sama siapa?"

***

Rinda keluar dari dapur dengan membawa sebuah mangkuk berukuran sedang yang di dalamnya sudah berisi air dingin dan kain, mungkin untuk mengompres lebam di wajah Azky.

"Jelasin ke Kakak, Azky! Jelasin!" pinta Rinda. Ia berjalan dengan tergesa-gesa kemudian duduk di samping Azky. "Berantem sama siapa?"

Azky menghela napas. "Oke, Azky coba jelasin!"

Rinda mengangkat wajah dan mulai meneliti lebam Azky. Wajah Azky tidak keruan. Di ujung bibir kiri masih ada cairan merah yang begitu kental. Sedangkan, di dekat bibir kanan sebuah lingkaran berwarna hijau perpaduan dengan ungu. Begitu pun, di pelipis serta di bawah hidung. Rinda mulai mengompres perlahan-lahan.

"Azky tadi bantu ibu-ibu yang kena jambret, Kak!"

"Terus?" Rinda memasukkan kain itu ke dalam air dan kembali mengompres wajah Azky.

"Ya, ini!"

"Jangan sok-sokan mau jadi pahlawan!" Rinda menekankan kain tersebut di pelipis Azky dengan kuat.

Refleks, Azky meraba area pelipis lalu menjerit kesakitan. "Kak Rinda!"

Rinda menyengir, seakan yang dilakukannya barusan bukan sebuah kesengajaan.

Azky menjauhkan tubuhnya sedikit dari Rinda. "Udah ah, makin tambah sakit kalau Kak Rinda gituin!"

Rinda cemberut menatap Azky tajam. Namun, dengan jailnya Azky mencubit pipi Rinda dengan keras dan berhasil membuatnya berteriak.

Rinda mendelik. "Udah ah." Ia menaruh kain itu kembali ke dalam mangkuk. "Kakak gak akan ngompres lagi, biarin aja!"

Azky menghela napas. Berusaha menenangkan Rinda yang mungkin khawatir. "Azky gak apa-apa kok, Kak!" Ia mengelus pelipisnya dan tersenyum ke arah Rinda. "Malem juga bakalan sembuh. Mungkin!"

Rinda mengangkat bahu.

"Oh iya, Kak Rinda kenapa pulang jam segini?" Azky mencoba mencairkan kembali suasana di antara mereka yang sedikit merenggang.

Rinda memperbaiki posisi duduknya dan menatap Azky. "Tebak, hari ini hari apa?" Kepalanya mengangguk-angguk pelan.

Azky menepuk dagu dengan jari telunjuk. Berusaha menebak apa yang Rinda katakan. "Hari senin dong, Kak! Masa hari jum'at!"

"Selain hari senin, Azky!" Rinda mengerakkan alis ke atas dan bawah lalu tersenyum dengan lebar.

Azky makin bingung dengan apa yang Rinda katakan. "Hari ... hari-hari yang telah kulalui."

Rinda menepuk lengan Azky kasar. Azky berusaha menghindar. Namun, tepukkan itu memang sudah menyentuh lengannya. "Kak Rinda sekarang kejam ya!"

"Kamu malah nyanyi!"

Azky menyengir dan Rinda membalasnya dengan senyuman. Tangannya mengguncang lengan Azky pelan. "Hari ini Kakak gajian, Azky!"

"Serius?" Netra Azky membelalak.

Rinda tersenyum dengan yakin.

"Widih, asyik tuh." Azky mencolek wajah Rinda manja. "Bisa dong ajak Azky jalan-jalan!"

Rinda menampar wajah Azky lembut. "Muka kamu aja lebam kayak gitu!"

"Yah," pasrah Azky.

"Enggak nanti, tapi sekarang!"

"Serius?

"Becanda."

Azky membulatkan mata.

"Ya udah kalau gak mau!" Rinda tidak mau kalah. Ia membulatkan mata dan membelakangi Azky.

Kedua tangan Azky menangkap bahu Rinda. Bagai seekor Harimau yang menangkap buruannya. "Oke. Azky siap-siap dulu!" Ia berdiri dan hendak berlari. Namun, tidak terjadi karena kaki kanannya menabrak meja dengan keras. Hampir saja mangkuk yang bergeser cepat ke arah samping itu terjatuh. Sedikit lagi.

"Azky!" tegur Rinda.

Azky membungkuk dan membenarkan mangkuk tersebut. Ia menghela napas lega karena mangkuk itu tidak pecah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro