Bab 16. Kecoa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dari ujung kelas itu, Azky tahu bahwa Bu Loly sudah sampai di kelas.

"Abigail," ujar Bu Loly sambil menunduk melihat absensi siswa dan menatap siswa-siswi di hadapannya.

Siswa yang dipanggil Abigail itu mengangkat tangan kanan seraya berkata, "Hadir, Bu!"

"Yani Ariska." Bu Loly melanjutkan.

Azky sengaja memperlambat langkahnya. Menunggu namanya disebut. Bu Loly memang seperti itu, selalu mengabsen dari atas dan bawah sampai akhirnya bertemu di tengah-tengah. Aneh sekali.

Siswi itu tersenyum ke arah Bu Loly karena meja mereka berhadapan. "Hadir, Bu."

Bu Loly kembali menunduk dengan tangan menyusuri nama selanjutnya dari huruf A. "Adzkiya."

"Hadir, Bu!" pekik Azky di ambang pintu.

Semuanya menoleh. Mungkin ada sebagian siswa-siswi yang bertanya-tanya kenapa Azky tiba-tiba muncul di luar kelas.

Bu Loly membuka kacamata. "Dari mana kamu?"

"Saya habis dari toilet, Bu!"

Siswi yang semula membukakan jendela untuk Azky, sudah mengangkat tangan kanan. Mungkin ia ingin memberitahu Bu Loly bahwa Azky terlambat.

Azky melirik siswi itu. Tidak. Ia tidak akan membiarkan siswi tersebut mengatakan kejadian yang sebenarnya. Azky berteriak dengan lantang. "Kecoa!" Tangannya menunjuk ke bawah meja Bu Loly. "Kecoa nya di bawah meja Ibu!"

Tanpa diduga, Bu Loly langsung menjerit-jerit. Ia berusaha menaikkan kaki ke kursi meskipun itu sangat tidak mungkin karena tubuhnya yang gemuk. Namun, Bu Loly tetap berusaha. Kursi itu sedikit memutar karena ketidak seimbangan Bu Loly. Tangannya berusaha memegang samping papan tulis sebagai pegangan. Netranya membelalak. "Azky! Serius kamu?"

Berbeda halnya dengan Bu Loly, sebagian siswi justru hanya menjerit karena kaget. Namun, sebagiannya lagi hanya menatap Azky dengan datar.

Sontak, siswa-siswi tertawa keras karena melihat Bu Loly. Lucu. Mereka yakin, kursi itu pasti tidak akan sanggup menahan tubuh Bu LoLy yang mungkin bisa dikatakan seperti Kerbau yang sedang berdiri. Itu mustahil. Tidak pantas ditonton.

Romi menunjuk Azky yang masih berdiri di ambang pintu. "Wah, Azky. Keterlaluan lo buat Bu Loly sampe kayak gitu. Parah!" Kepalanya menggeleng. "Parah!"

Azky menatap semua siswa yang masih tertawa. "Kapan lagi gue ngibulin Bu Loly?"

Wajah Bu Loly memerah. Kakinya sudah lemas dan tidak akan sanggup kalau berdiri terlalu lama. Tangannya masih memegang bolpoin yang digunakan saat mengabsen muridnya. Ia tidak terima dengan Azky yang membohonginya. "Azky! Saya tau apa yang kamu omongin sama Romi. Kamu mau mempermainkan saya?" Ia melemparkan bolpoin itu ke arah Azky. Sayangnya, Azky langsung mengelak. "Kualat kamu!"

Azky menyengir kuda. Tangannya menggaruk tengkuk. "Iya sok atuh turun, Bu. Kalau udah tau mah, ngapain masih berdiri di situ?"

Bu Loly menggebrak papan tulis. Namun, posisinya yang masih berdiri di atas kursi tidak seimbang. Semua murid-muridnya kembali tertawa dengan sangat keras saat mereka melihat Bu Loly terjatuh sampai menimbulkan suara.

Bibir Azky melebar sehingga memperlihatkan baris gigi yang rapi. Pria berkumis tipis itu meringis. Netranya mendongkak. "Bu Loly baik-baik saja?"

"Azky!" teriak Bu Loly. Ia menendang kursi yang menjatuhkan dirinya. Bu Loly kesal bukan karena sakit akibat terjatuh, tetapi lebih tepatnya ia malu. Malu sekali.

"Bu, perlu saya bantu?" tawar Romi.

Bu Loly menggeleng walaupun semua siswa tidak akan melihatnya karena terhalang meja. "Gak perlu! Kalian berdua sama saja, Romi, Azky!" Bu Loly berusaha berdiri. Kedua tangannya menggapai meja dengan kaki yang menjadi tumpuan.

Romi terdiam. Begitupun dengan Azky.

Namun, sepertinya tubuh Bu Loly memang gemuk. Ia kembali terjatuh dan meringis. Sebagian siswi berlari ke arah Bu Loly. Mereka mencoba membangunkannya. Sekitar lima sampai enam siswi berhasil mengangkat Bu Loly. Dua siswa yang maju ke depan berusaha membenarkan kursi dan menyuruh Bu Loly untuk duduk.

Azky hendak melangkahkan kaki. "Maaf, Bu."

Bu Loly yang sudah duduk, kembali berdiri. "Et! Et! Et!" Tangan kirinya memegang pinggang lalu mengelusnya perlahan. Ternyata tidak ada untungnya mempunyai badan gemuk. Buktinya, Bu Loly tetap merasakan sakit. Sedangkan, telunjuk dari tangan kanannya mengacung dan diarahkan ke wajah Azky. "Enak saja, main nyelonong gitu aja kamu!"

Azky berhenti dari langkahnya. "Tapi kan saya mau duduk, Bu!"

Siswi-siswi yang baru saja membantu Bu Loly kembali ke meja masing-masing. Sebagian dari mereka melirik Azky dan menertawakannya.

Azky yang mengetahui itu langsung berteriak. "Woi! Gak lucu tau!"

Bu Loly menutup telinga karena suara Azky yang melengking. "Azky!"

Azky menghela napas pasrah. "Saya salah apa lagi sih, Bu!"

"Salah kamu? Bohongin saya. Tau?" Bu Loly melangkah mendekati Azky. "Kamu diam di sini dan jangan duduk sebelum saya selesai mengabsen. Paham?"

"Tapi itu kan lama, Bu. Ibu aja ngabsen baru sampe nama saya. Siswa-siswi di kelas ini banyak loh, Bu."

"Saya gak peduli, itu nasib kamu! Awas aja kalau berani jongkok di sini!"

"Bu, nanti kaki saya pegel dong. Duduk aja ya, Bu!"

"Enggak! Diam kamu dan berdiri di situ!"

Semua siswa tertawa. Namun, tawa Romi yang paling keras di antara mereka.

"Sudah-sudah. Diam kalian!" sembur Bu Loly.

Azky menunduk dan memundurkan tubuhnya sampai mepet ke dinding.

Bu Loly mendelik Azky dan kembali duduk untuk mengabsen. "Windi Fandira."

"Hadir, Bu," balas siswi itu.

Azky menghela napas. Sudahlah. Bu Loly memang seperti itu. Ia tidak akan membiarkan siswa-siswi menghalanginya saat mengabsen karena mungkin Bu Loly takut kalau menyebut nama muridnya dua kali. Bu Loly memang mempunyai masalah dengan penglihatan. Kacamata nya saja setebal itu. Azky yakin, pasti Bu Loly menderita penyakit itu sudah lama, bisa saja dari tubuhnya yang semula kecil sampai bisa sebesar ini.

Namun, Azky merasa aneh. Sedari tadi Yuppi sama sekali tidak memperhatikannya. Bahkan, tawanya saja juga hilang entah ke mana. Netra Azky terus diarahkan kepada Yuppi yang sibuk menunduk sambil membolak-balikkan buku di hadapannya. Tidak biasanya wanita dengan rambut hitam sepinggang itu membaca buku.

***

Dari ambang pintu Azky melihat Yuppi yang sedang menatap buku. Tangan kirinya menopang dagu, sedangkan tangan kanannya mengetuk-ngetuk buku yang terbuka di atas meja. Namun, tatapannya seperti kosong. Bisa jadi, ia sedang memikirkan sesuatu.

Azky berjalan mengendap dan duduk di kursi samping Yuppi tanpa membuat gadis itu menyadarinya. Dengan jail, ia mengukir bentuk hati di pipi Yuppi.

Yuppi merasakan ada sesuatu yang bergerak-gerak di wajahnya. Ia melirik dengan ujung mata kanan. "Ih ... kamu, ih!" Bibir mungil dengan polesan lipstik nude itu tampak lucu. Yuppi cemberut. Bibirnya maju tiga centi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro