13. Kebaikan Terakhir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 13 Kebaikan Terakhir

Marcuss tak pernah menjadi sebaik dan sesabar sebanyak seperti yang sudah ia lakukan pada Eiza. Entah kenapa wanita itu terasa lebih special dengan keinginannya terhadap Eiza yang tak pernah sebesar ini. Setiap kali ia mengabulkan keinginan wanita itu, tentu saja ada kecemasan yang lebih besar yang sering ia abaikan. Kemungkinan wanita itu akan mengkhianatinya, pasti akan selalu ada. Kepatuhan dan kepasrahan Eiza saat ini hanyalah karena wanita itu tak mampu melawannya. Jika ada kesempatan untuk menusuknya, Marcuss yakin Eiza tak akan melewatkan kesempatan tersebut. Kedua mata coklat yang jernih lebih dari cukup menyiratkan kekeras kepalaan dan ketololan yang tidak ada obatnya.

Dan Eizara Nada memang tak patuh diberi kebaikan. Tepat jam sembilan, Marcuss sudah siap dengan setelan tuxedo putihnya. Tak sabar ingin segera memiliki wanita itu secara resmi ketika melihat penata rias dan penata rambut yang seharusnya mempersiapkan Eiza serta dua pembantu keduanya berdiri di depan pintu kamar tamu.

“Apa yang kalian lakukan di sini?”

“Nona Eiza meminta kami menunggu di luar sementara …”

Firasat buruk yang sempat muncul tersebut kini mencuat. Tak butuh mendengar penjelasan si penata rias ketika langkahnya lebih dulu berbicara. Mendorong pintu yang dikunci dari dalam. 

Marcuss menggeram, mendobrak pintu dengan dua kali dorongan kuat hingga engsel pintu hancur. Hanya untuk menemukan gaun pengantin Eiza yang tergeletak di lantai dan jendela kamar yang terjemblak terbuka. “Berapa lama kalian menunggu di luar?” desisnya tajam. Suaranya lirih, tetapi berhasil membuat tubuh keempat wanita di hadapannya mengkerut dan kepala tertunduk dalam.

“S-sekitar 15-20 menit yang …”

“Dan tak ada satu pun di antara kalian yang menggunakan otak kalian untuk memeriksa apakah dia butuh bantuan atau tidak?” Ketajaman desisan dan tatapan Marcuss membuat tubuh keempatnya bergetar oleh ketakutan.

“M-maa …”

“Enyah kalian dan jangan pernah muncul di hadapanku. Secara kebetulan atau tidak atau kalian tahu apa yang mampu kulakukan pada orang tak becus seperti kalian.”

Keempat wanita itu tak menunggu setengah detik pun untuk enyah dari hadapan Marcuss. Lari terbirit-birit menuju pintu keluar.

“Lempar barang-barang mereka keluar,” perintahnya kemudian pada dua pelayan yang muncul. Tepat ketika ia memasuki ruangan tengah, tiga pengawalnya muncul. Dari raut ketiganya, kabar yang dibawa pasti bukanlah kabar baik. “Katakan,” bibirnya yang menipis nyaris tak bergerak.

“Saya baru saja memeriksa paviliun dan putri Anda tidak ada.”

Kedua tangan Marcuss mengepal dengan wajah yang merah padam. Geramannya menggelegar memenuhi seluruh ruangan. Ketika satu kepalannya melayang, salah satu tubuh pengawalnya tersungkur di lantai dengan keras. Darah segar mengucur dari hidung hingga membasahi lantai di sekitar.

Selanjutnya, dua yang lain ikut bergabung di lantai. Menjadi samsak pelampiasan amarah sang Tuan.

*** 

Kedua tangan Serra tak berhenti saling meremas di atas pangkuannya menyaksikan Danen dan Jessi yang saling mengucap janji pernikahan di atas altar. Senyum yang melengkung di kedua ujung bibir Danen tak sampai di kedua mata pria itu. Ia bisa memelihat dengan jelas. Berbanding terbalik dengan Jessi yang tampak begitu bahagia. Keduanya saling berciuman, hanya sekilas dan disambut tepuk tangan riuh para undangan. Ialah satu-satunya yang tidak bertepuk tangan.

Pandangan Serra beralih pada Maria Lee dan sang sahabat yang duduk di samping meja tempatnya terduduk. Kelicikan yang tersirat dalam senyum wanita paruh baya itu begitu jelas. Setelah mendepak Eiza dari hidup Danen dengan cara yang kejam, akhirnya wanita itu mendapatkan keinginan untuk mendapatkan menantu yang diinginkan. Jessi Calanthe. Putri tunggal salah satu pemilik perusahaan ternama di kota ini. Yang akan menyokong perusahaan keluarga Lee dengan pernikahan penuh tipu muslihat ini.

Danen dan Jessi berjalan berdampingan menuju meja pengantin. Jessi tak berhenti bergelayut manja pada lengan Danen yang masih memasang senyum palsu untuk para tamu undangan. Menerima ucapan selamat dari kerabat dekat dan para tamu undangan.

Serra lekas berdiri, bergabung dalam barisan untuk mengucapkan selamat. Ketika tiba gilirannya, tangannya menyelipkan selembar nota yang dilipat-lipat kecil ke telapak tangan Danen. Tanpa melepaskan kontak matanya pada pria itu.

Danen yang memahami isyarat tersebut pun menggenggam nota tersebut dan menyimpannya ke dalam saku celana. Mengangguk samar pada Serra saat wanita itu melangkah pergi.

Tak lebih dari tiga menit menunggu di pintu gerbang keluarga Calanthe, Serra akhirnya melihat mobil hitam familiar melaju keluar dan berhenti tepat di hadapannya.

“Naiklah,” pintah Danen membuka pintu penumpang untuk Serra, yang langsung naik dan mobil melaju meninggalkan area kediaman Calanthe,

“Apa yang terjadi dengan Eiza?” Kepanikan menyelimuti wajah Danen. Satu tangannya mengurai dasi kupu-kupu yang terasa mencekik dan melemparnya ke jok belakang. Menyusul ponsel pria itu yang berdering, yang langsung pria itu matikan sebelum bergabung di belakang.

“Kau mengenal tuan Marcuss Rodrigo? Dia yang menculik Eiza dan putrinya. Eiza meminta bantuanku untuk menyiapkan pelarian mereka. Kami berjanji bertemu di persimpangan motel Mawar Putih. Tepat di seberang café tempat kami biasa berkumpul saat masih kuliah. Aku sudah menyiapkan tiket kereta dan taksi yang akan menunggu kalian setiba di tujuan. Tapi aku tak mengatakan akan melibatkanmu dalam pelarian ini. Kupikir, setidaknya kalian perlu menyelesaikan kesalah pahaman ini sebelum memutuskan untuk benar-benar berpisah. Kau tahu dia sangat mencintaimu, Danen. Dia tak mungkin mengkhianati pernikahan kalian. Anak itu memang anak tuan Rodrigo, tapi semua terjadi atas kelicikan mamamu. Sampai ia melihat hasil tes DNA itu, ia tak pernah tahu kalau anak dalam kandungannya bukan milikmu.”

“Aku tahu.”

Serra yang masih tersengal oleh napasnya karena penjelasan panjang lebarnya, tiba-tiba membeku dengan jawaban singkat Danen. Mata wanita itu berkedip satu kali, dengan mulut yang melongo. “A-apa?”

“Aku tahu semuanya, Serra. Sejak awal.”

*** 

Eiza tak berhenti menenangkan bayi dalam gendongannya yang tak berhenti merengek. Susu dalam botol di tangannya sudah habis, sementara ia tak memegang sepeser pun uang untuk membeli susu sampai bertemu dengan Serra. “Lebih cepat,” pintahnya. Berusaha tetap sopan meski ia sendiri terburu. Berusaha mengayun kedua lengannya demi menenangkan baby Ezlin.

“Maafkan mama sayang. Sebentar lagi kita sampai,” bisiknya pada baby Ezlin. Pandanganya kemudian beralih ke luar mobil taksi. Ia perkirakan lokasinya saat ini sampai di tempat tujuan tak lebih dari satu kilo. Ia melirik ke depan, ke layar samping setir mobil yang menunjukkan jam 09.58 AM. Serra pasti sudah ada di sana, batinnya merasa tenang.

Dan tepat jam 10, mobil taksi berhenti di depan bangunan tingkat tiga. Eiza lekas turun, mencari keberadaan sang sahabat. Di tengah kepanikannya karena Serra tak bisa ia temukan, seseorang muncul dari arah belakangnya, langsung menghampiri si sopir taksi dan memberikan beberapa lembar uang sebagai ongkosnya.

“D-danen?” Eiza membeku. Mengamati penampilan pria itu yang masih mengenakan tuxedo putih. Ah, bukankah sekarang juga hari pernikahan Danen dan Jessi. Lalu …. “Apa yang kau lakukan di sini?”

Danen tak menjawab. Pria itu maju satu langkah dan memeluk Eiza. Hanya sesaat, karena rengekan bayi dalam gendongan wanita itu lekas membuatnya menguraikan kedua lengannya. Wajah pria itu tertunduk. Menatap wajah mungil dengan pipi gembul yang merengek dan teringat sesuatu. “Serra menitipkan ini.” 

Kedua mata Eiza melebar. Serra? Mengamati Danen yang merogoh kantong di tangan kiri pria itu dan mengeluarkan sebotol susu padanya. Eiza mengambil botol tersebut dan langsung memberikannya pada baby Ezlin, yang langsung kembali tenang.

“Jadi dia anak kita?” Danen tak berhenti mengamati wajah mungil yang mulai kembali terlelap dalam pangkuan Eiza setelah menghabiskan isi botol yang diberikannya. Tangannya terulur, menyentuhkan ujung telunjuknya di hidung mungil bayi perempuan tersebut.

“Dia bukan anak kita, Danen.” Eiza menelan kegetiran yang menyelimuti suaranya. “Kau tahu.”

Senyum yang tersirat di wajah Danen membeku. Lalu bergerak menatap kedua mata Eiza. “Aku tahu. Sejak kau memberitahuku tentang kehamilan itu, aku tahu kemungkinan itu pasti ada, Eiza.”

Wajah Eiza yang sudah pucat, kini dicampuri keterkejutan. “A-apa?”

“Di malam pernikahan kita, mama memasukkan obat tidur di minumanmu. Semua kesepakatan itu terjadi tanpa sepengetahuanku, sampai aku terbangun di kamar yang berbeda dan …”

“Kau tidur dengan Jessi,” lanjut Eiza. Menelan sakit hatinya yang mengganjal di tenggorokannya.

Danen mengerjap terkejut. “K-kau tahu?”

“Mamamu yang memberitahuku. Saat kita bertemu untuk terakhir kalinya.”

Danen terdiam. Keduanya saling pandang dalam beberapa saat. “Mama mengancam akan memberitahumu tentang hal itu jika aku buka mulut tentang kesepakatan mama dan si berengsek Rodrigo itu. Dan saat melahirkan, dia juga mengancamku untuk menandatangani surat perceraian itu karena kau berada dalam kondisi yang kritis. Melarangku menemuimu di rumah sakit. Begitu pun pernikahanku dan Jessi. Semua … semua ini bukan keinginanku, Eiza. Aku hanya mencintaimu. Kau tahu itu. Semua yang kulakukan untukmu.” Tangan Danen meraih telapak tangan Eiza dan menempelkannya di dada. Lalu pandangannya menatap lurus wanita itu.

Eiza bisa merasakannya. Tatapan dan sentuhannya di dada Danen. Debaran itu. Tatapan penuh cinta itu. Semuanya masih sama. Miliknya. Danen masih mencintainya. Seperti yang selalu ia yakini di tengah hatinya yang hancur oleh kekecewaaan. 

‘Aku juga masih mencintaimu, Danen.’ Kata-kata itu sudah ada di ujung lidah Eiza. Tetapi bibirnya kelu, kalimat itu tertahan kembali ke tenggorokan. Ketulusan dan kesungguhan cinta Danen padanya sama sekali tak berkurang. Hanya saja … ada sesuatu yang sudah berubah di antara mereka. Di antara hubungan mereka. Ia memiliki Ezlin dan Danen memiliki Haidar. Yang semakin membentangkan jarak di antara mereka. Juga pernikahan Danen dan Jessi.

“Aku tak peduli tentang tes DNA itu. Yang kutahu, dia adalah putri kita. Buah hati yang sudah kita tunggu …”

“Lalu bagaimana dengan anakmu dan Jessi?” Eiza segera memenggal kalimat penuh harap yang begitu besar di wajah Danen terhadap dirinya. Mencegah keduanya tenggelam dalam kekecewaan yang lebih besar.

“A-anak?” Kedua alis Danen menyatu, tak memahami pertanyaan Eiza. “Apa maksudmu anak?”

Mata Eiza berkedip dua kali. Menyadari bahwa itu ternyata Maria Lee juga berbohong tentang hal itu. “Mamamu …”

“Kau tahu itu tidak benar, Eiza. Malam itu, tidak terjadi apa pun antara aku dan Jessi. Mama yang berbohong padaku. Pada kita berdua.”

Eiza tak mengatakan apa pun. Wanita itu hanya menatap sang mantan suami dengan kesedihan yang lebih pekat. Semua tipu muslihat Maria Lee pada hubungan keduanya kini sudah terbongkar. Namun …

“E-eiza?” Suara rintihan dari arah belakang Danen seketika mengalihkan perhatian keduanya. Keterkejutan memucatkan wajah Eiza, mengenali benda bermoncong yang menempel di pelipis Serra adalah sebuah pistol, dengan pelatuk yang sudah ditarik oleh ujung jemari.

“M-marcuss?”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro