17. Sengaja Disiksa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 17 Sengaja Disiksa

Eiza benar-benar dibuat kewalahan dengan lumatan Marcuss yang semakin dalam. menggigit bibirnya hingga memberikan celah bagi lidah pria itu untuk menyelinap ke dalam mulutnya. Mengabsen semua barisan giginya. Rasa jijik dan muak yang ia rasakan sama besar dengan gairah Marcuss yang semakin berkobar.

Ketika pria itu melepaskan pagutannya, ia bahkan tak memiliki kesempatan untuk berteriak. Sibuk meraup udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-parunya. Satu sentakan kuat di bagian dada membuatnya tersentak dengan keras, pakaiannya dilucuti dengan cara yang kasar. Setiap jengkal kulit tubuhnya tak lepas dari cumbuan pria itu. Tak sampai di sana. Dengan napas Marcuss yang semakin memberat dan kedua mata pria itu berkabut penuh hasrat, ia tahu apa yang terburuk akan segera menyambutnya. Kedua tangannya yang dilepaskan oleh Marcuss sempat memberinya kesempatan untuk membebaskan diri, tetapi itu hanya harapan yang semu.

Celana dalamnya disentakkan dengan kasar, kedua kakinya dibuka dengan kasar.  Tak seperti malam itu, malam ini Marcuss menyentuhnya dengan penuh pemaksaan. Menyatukan tubuh keduanya dengan cara yang kasar. Menjadikan tubuhnya tak lebih dari pemuas nafsu pria itu semata.

Kepala Eiza menoleh ke samping. Air mata menganak sungai di kedua matanya yang terpejam, menggigit bibir bagian dalamnya demi menahan rasa sakit di pangkal paha ketika tubuhnya dihentakkan oleh gerakan Marcuss yang semakin intens.

Erang kepuasan sebagai tanda Marcuss telah mencapai puncak kenikmatannya mengakhiri semuanya. Pria itu melepaskan tubuhnya dari Eiza dan berguling ke samping. Menatap langit-langit kamar sembari mengembalikan napasnya yang masih terengah.

Eiza memiringkan tubuhnya. Dress yang dikenakannya masih menempel di kedua lengan meski bentuknya sudah tak layak pakai karena robekan kasar Marcuss. Air matanya kembali tumpah tanpa suara, di tengah engahan Marcuss di belakang punggung. Tubuhnya terasa kotor dan menjijikkan, semua tumpukan emosi sudah cukup membuatnya kehilangan tenaga hanya untuk sekedar bangkit dari ranjang. 

Ketika napas Marcuss sudah kembali normal, pria itu menarik pundak Eiza hingga jatuh telentang. “Kau menangis?” dengusnya.

Eiza hanya membuang wajahnya ke samping. Hanya sesaat karena perhatiannya kembali dipaksa sepenuhnya untuk pria itu.

“Ya, kau bisa bersedih sebanyak yang kau mau. Hanya saja, aku tak suka acara bersenang-senangku dengan tubuhmu diganggu oleh kesedihanmu itu. Jadi …” Raut Marcuss berubah dingin hanya dalam sepersekian detik. Telapak tangannya mencengkeram rahang Eiza hingga wanita itu tak mampu mencegah rintihan lolos dari bibir. “Hentikan tangisan tololmu itu dan ikut bersenang-senang denganku. Kali ini, kau akan menjerit penuh kenikmatan karenaku.”

Eiza menelan kembali isakannya meski air mata yang membanjir tak mampu ia hentikan lajunya. Cengkeraman di rahangnya dilepaskan, tubuhnya dibalik hingga tengkurap dan pakaiannya ditanggalkan hanya dalam satu gerakan sebelum dibuang ke lantai. Kali ini tubuhnya sepenuhnya telanjang, berada di bawah tindihan Marcuss yang juga tak mengenakan apa pun.

*** 

Eiza bangun dengan tubuh yang remuk redam. Rasa sakit yang berpusat di pangkal paha berhasil meloloskan erang kesakitannya ketika tubuhnya bergerak turun dari tepi ranjang. Cahaya terang dari dinding kaca yang berada di sisi kanan ranjang memberitahunya bahwa hari sudah sangat siang. Meraih kain yang ada di sekitarnya, Eiza menggunakan kemeja putih Marcuss untuk membungkus tubuh telanjangnya untuk ke kamar mandi. Melihat tubuh Marcuss yang sama sekali tak bergerak dan tampak sangat lelap dalam tidur, Eiza yakin pria itu masih lama tidur. Memutuskan untuk mengunci pintu kamar mandi dan berendam.

Setengah jam kemudian, dengan tubuh yang sudah lebih segar. Eiza keluar dari kamar mandi dan menemukan ranjang yang masih berantakan, tetapi tak ada Marcuss di sana. Juga ada troli yang ia yakin berisi makan pagi untuk mereka. Rasa lapar dan haus membawa langkah Eiza mendekati troli tersebut. Membuka penutupnya dan mengisi perut dengan hidangan super mewah tersebut dengan lahap. Isi piringnya baru tandas ketika pintu kamar terbuka dan Marcuss melangkah masuk. Pria itu hanya mengenakan celana karet dan kaos polos, dengan ponsel yang menempel di perut.

“Pastikan keadaannya baik-baik saja dan kabari perkembangannya setiap jam apakah panasnya sudah turun,” pintah Marcuss sebelum mengakhiri panggilan. Menutup pintu di belakangnya dan menatap Eiza yang duduk di sofa.

Eiza meletakkan sendok dan garpunya. Kecemasan yang masih tersisa di wajah Marcuss, membuatnya bertanya-tanya. “Apakah baby Ezlin sakit?”

Marcuss meletakkan ponselnya di meja sebelum duduk di samping Eiza. Tanpa melepaskan pandangannya dari wajah wanita itu yang terlihat sudah segar dan rambut yang masih lembab. Bibir wanita itu juga masih terlihat bengkak, dengan ujungnya yang sedikit lecet karena perbuatannya. Dan masih banyak jejak gairahnya yang terlihat jelas di setiap jengkal tubuh Eiza. Sial, ia benar-benar tak melewatkan kesempatan sedikit pun untuk memuaskan hasratnya pada Eiza, yang seolah tiada habis dan puasnya. Semakin ia terpuaskan oleh wanita ini, semakin banyak tubuhnya menginginkan Eiza. Lebih dan lebih.

“Kau ingin kabar buruk atau kabar baik lebih dulu?” Marcuss memutar tubuhnya ke arah Eiza, meletakkan lengannya di punggung sofa, tepat di belakang punggung wanita itu. Lalu mencondongkan tubuhnya ke depan, memangkas jarak di antara wajah mereka.

“Buruk.” Eiza tak yakin kabar baik dari Marcuss akan tetap menjadi kabar buruk untuknya.

“Ya, dia sakit karena acara pelarianmu yang sembrono itu. Membawanya keluar dari perlindunganku, naik mobil asing dan kau biarkan kelaparan. Minum susu yang tak biasa ia minum. Dan jangan lupakan dengan goncangan batin yang diterimanya di tengah keributan, dan kaulah penyebab utamanya, Eiza.”

Rasa sesal mencengkeram dada Eiza dengan keras. Ia benar-benar hanya memikirkan keegoisannya sendiri, tanpa memikirkan dampak yang harus diterima oleh sang putri.

“Kau tahu usianya baru satu bulan dan tubuhnya masih begitu ringkih dan sensitif. Bahkan seharusnya dia tidak melakukan perjalanan sembrono seperti ini. Apa kau memang sengaja ingin membunuhnya?”

Eiza menggeleng dengan cepat. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya yang kelu selain kedua mata yang mulai digenangi air mata penyesalan.

Marcuss mendengus. “Dan kabar buruk lainnya, aku tak akan mengijinkanmu menemuinya. Dalam waktu dekat.”

“Tidak, Marcuss. Kumohon.” Gelengan kepala Eiza semakin cepat. “Aku benar-benar minta maaf.”

Marcuss mendengus. Tangannya bergerak menyentuh tengkuk Eiza, menjambak rambut wanita itu dan mendongakkan wajah wanita itu ke arahnya. Jambakannya cukup kuat, tetapi tak cukup menyakiti Eiza. “Setelah semua kebaikan dan keluasan hatiku untukmu dan kau masih tetap berusaha mengkhianatiku, kau pikir aku akan percaya dengan permohonan dan air mata palsumu ini?”

Eiza tak menyalahkan kepercayaan Marcuss padanya yang sudah terkikis habis. Kebaikan Marcuss yang sudah ia manfaatkan untuk menusuk pria itu, bagaimana mungkin ia masih berharap pria tak punya hati tersebut akan memaafkan dan menerima permohonannya. Sudah cukup apa yang dilakukan Marcuss tadi malam adalah sebagian kecil dari keberengsekan dan kekejaman pria itu. Bahkan jejaknya masih membekas di seluruh tubuhnya. Ikatan di pergelangan tangan, lebam karena cengkeraman pria itu di pahanya, juga pangkal pahanya yang masih membuatnya kesulitan untuk berjalan dan duduk. 

“Jangan harap, wanita muda,” dengus Marcuss penuh cemooh. Satu tangannya yang lain mencengkeram rahang Eiza, mengusapkan ibu jarinya di bibir bagian bawah Eiza dengan tekanan yang cukup kuat. “Sekarang, kau akan tahu siapa sebenarnya Marcuss Rodrigo. Apa yang kulakukan untuk membawamu ke dalam cengkeramanku hanyalah sebagian dari kelicikanku. Jadi, berpikirlah dua kali jika kau ingin membuat keributan lagi.”

Eiza tak mengatakan apa pun meski mulutnya bisa bergerak oleh tekanan ibu jari Marcuss. 

“Apakah masih sakit?”

Eiza mengerjap. Dengan pembicaraan yang beralih dengan cepat. Menatap mata Marcuss yang tiba-tiba menginginkan dirinya.

“Kau sudah membersihkan tubuh dan menghabiskan makananmu, kan?” Tangan Marcuss di wajah Eiza bergerak ke pundak. Menurunkan belahan jubah mandinya hingga pundak dan sebagian dadanya terbuka. Menyentuhkan telapak tangannya di atas kulit telanjangnya ketika bergerak lebih turun. Menangkap pinggang wanita itu dan membawa tubuh mungkil tersebut di atas pangkuannya dengan kedua kaki yang terbuka untuknya.

Rasa nyeri dan sakit yang hanya berkurang sedikit dengan tidur yang bahkan tak lebih dari lima jam, kini harus kembali terkoyak-koyak dengan keinginan Marcuss terhadap tubuhnya. Pria itu benar-benar memperlakukannya seperti boneka pemuas nafsu. Menjadikannya sebagai samsak hasrat pria itu yang seolah tiada habisnya.

*** 

Marcuss membatalkan acara bulan madu tersebut karena keadaan baby Ezlin yang butuh pantauan lebih. Keduanya meninggalkan hotel setelah makan siang, singgah di rumah sakit tetapi tak mengijinkan Eiza turun dari rumah sakit. Bahkan untuk melihat putri mereka dari kejauhan.

Setengah jam lebih Eiza menunggu di dalam mobil. Tak berhenti mencemaskan sang putri dengan penyesalan yang semakin membengkak.

“Bagaimana keadaannya?” tanya Eiza begitu Marcuss duduk di sampingnya, memerintah sopir untuk melajukan mobil.

Marcuss hanya melirik sekilas ke arah Eiza, sama sekali tak berminat menjawab. Meski Eiza mengulang pertanyaan yang sama sepanjang sisa perjalanan, ia sengaja membuat wanita itu menderita dengan penyesalan tersebut.

Eiza benar-benar dibuat frustrasi, dipaksa memendam amarahnya oleh kekejaman Marcuss yang seolah tiada hentinya sepanjang minggu tersebut. Membiarkan tersiksa dengan kecemasannya terhadap putri mereka.

“Setidaknya biarkan aku tahu apakah keadaannya sudah membaik?” Sore itu Eiza benar-benar tak bisa menahan kesabarannya lebih banyak lagi. 

“Apakah kau begitu ingin tahu?”

Eiza mengangguk, tak peduli tatapannya dipenuhi kerakusan akan keingin tahuannya pada kabar putri mereka. Ia benar-benar sudah putus asa dalam ketidak tahuannya yang seolah tiada putusnya tersebut. 

Marcuss menyeringai. Kepedihan yang begitu pekat di wajah Eiza semakin membuat matanya berkilat dengan licik. “Sebanyak apa keinginan itu?”

“Aku ibu kandungnya, Marcuss. Apakah kau masih perlu mempertanyakannya?” Suara Eiza benar-benar dipenuhi emosi.

“Apakah lebih banyak dari keinginanmu untuk pergi dariku?”

Eiza terdiam. Isakannya tertahan. Kebebasannya sama sekali tak artinya dengan kehilangan putrinya. Seberapa pun ia membenci Marcuss. Merasa begitu muak dengan kelicikan Marcuss akan semua nasib sial yang datang di hidupnya. Sekarang ikatan batin antara dirinya dan baby Ezlin lebih kuat dari semua itu. Kepalanya mengangguk pelan sebagai jawaban.

Seringai Marcuss naik lebih tinggi, pria itu maju dua langkah dan berhenti tepat di depan Eiza. “Kalau begitu kau akan mendapatkan jawabannya setelah memuaskanku,” balasnya sembari melumat bibir Eiza dan mendorong tubuh wanita itu ke tengah ranjang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro