19. Nyonya Rodrigo

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 19 Nyonya Rodrigo

Eiza bernapas. Butuh tiga detik bagi Eiza untuk mencerna dan meyakinkan telinganya tak salah dengar. Marcuss setuju untuk mengembalikan kehidupan normalnya. Selama sebulan penuh ia merenung, hanya ini satu-satunya jalan keluar agar tidak mati perlahan di dalam sangkar emas pria itu.

“Tapi tidak dengan merawat putri kita. Kau butuh kepercayaan yang sangat besar sebelum sampai di titik itu, Eiza,” tambah Marcuss kemudian. Yang mengurangi setengah kelegaan Eiza.

Satu anggukan tipis terpaksa Eiza berikan. Ia hanya butuh tahu sang putri baik-baik saja, tak masalah jika ia harus memendam rindu yang terasa mencekik lehernya tersebut.

“Sekarang kemarilah.” Marcuss mengangkat tangan kanan dan menjentikkannya satu kali. Kepalanya bergerak ke samping sebagai isyarat pada Eiza untuk mendekat. Lampu di seluruh ruangan dipadamkan bersamaan dengan Eiza yang beranjak dari kursi. Memutari meja dan berhenti di samping kursinya.

Eiza memberikan tangannya yang kemudian diletakkan di pundak pria itu. Kepalanya tertunduk dan wajah Marcuss sedikit terdongak membalas tatapannya. Eiza tahu apa yang akan dilakukan oleh Marcuss begitu lampu dipadamkan. Salah satu tangan pria itu menyelinap di antara belahan gaunnya. Menyentuh lutut dan bergerak ke atas sebelum kemudian menarik pahanya. Membawa tubuhnya di atas pangkuan pria itu dengan kedua kaki terbuka. 

Kedua lengan Eiza melingkari leher Marcuss ketika bibirnya ditangkap dalam pagutan yang panjang. Tak ada yang bisa Eiza lakukan ketika Marcuss menginginkannya. Di mana dan kapan pun pria itu ingin selain mengikuti permainan panas yang tak pernah berhasil menyeretnya dalam puncak kenikmatan. jatuh terlunglai di atas tubuh pria itu dengan penuh keringat.

*** 

Marcuss menepati janji pria itu. Membiarkannya bertemu dengan Serra, dan bahkan memberinya sebuah ponsel yang lebih sering digunakan untuk memantau keberadaannya. Eiza tak mempermasalahkan hal tersebut karena memang tak ada apa pun yang perlu ia sembunyikan dari pria itu. 

Karena hari itu adalah akhir minggu, ia mengunjungi apartemen Serra. Jelas butuh teman untuk bicara.

“Dua hari yang lalu. Dan dia masih terlihat murung.” Jawaban Serra tentang Dashia membuat Eiza menekuk bibirnya. “Kami beberapa kali bertemu dan makan siang bersama, tapi dia jadi lebih pendiam.”

“Apakah dia begitu mencintai Marcuss?” Suara Eiza semakin dipenuhi sesal.

“Sepertinya. Aku tak berani mengungkit tentang Marcuss. Ketika aku tak sengaja mengungkit namamu saja, wajahnya terlihat begitu geram dan meninggalkanku di restoran penuh kekesalan. Aku merasa lebih nyaman jika dia tidak mengajakku bertemu. Berhadapan dengannya benar-benar membuatku serba salah. Entah kenapa dia menjadi begitu menyebalkan. Apakah patah hati memang membuat orang berubah menjengkelkan seperti itu?”

Eiza menghela napas panjang dan rendah. Tubuhnya semakin terhenyak di sofa yang empuk.

“Kau sendiri? Bagaimana dengan pernikahanmu? Apakah semuanya berjalan dengan baik?” Serra menatap sang sahabat penuh prihatin. Raut muram Eiza seharusnya sudah cukup sebagai jawaban.

Helaan napas Eiza semakin berat. “Marcuss bilang, kesempatanku bebas hanya ketika dia sudah merasa bosan denganku. Yang entah kapan.”

“Aku tak tahu apakah harus sedih atau mendoakan tuan Marcuss cepat bosan padamu, Eiza. Tidakkah menjadi nyonya Rodrigo memberimu banyak keuntungan?”

Kepala Eiza berputar menatap Serra. “Apa maksudmu?”

“Tuan Marcuss sepertinya sangat tergila-gila padamu. Apakah tidak ada kemungkinan kau menerima pernikahan ini dengan sepenuh hatimu?”

Kedua alis Eiza menukik tajam, menatap tak percaya pada sang sahabat yang sekarang telah kehilangan otak kanan dan kirinya. “A-apa?”

“Kau hanya perlu menyenangkannya dan kau akan mendapatkan apa pun yang kau inginkan. Abaikan Danen dan Dashia. Bukan karena aku meremehkan persahabatan dan cintamu. Tapi … cobalah bersikap realistis. Ini tuan Marcuss Rodrigo. Yang hampir menguasai seluruh negeri ini. Dan dia begitu menyukaimu.”

“Menyukai tubuhku,” koreksi Eiza dengan kesal.

Serra malah mengibaskan tangan di depan wajah. “Ada banyak wanita-wanita yang rela melakukan apa pun agar bisa membuka kedua kakinya hanya untuk tuan Marcuss. Tapi kau, dialah yang menginginkanmu. Ditambah sudah ada seorang putri di antara kalian. Apalagi jika kau mengandung anak keduanya.” Serra berhenti. Matanya membulat penuh ketakjuban.

Eiza mendesah dengan kasar. Menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir dengan apa yang sedang sang sahabat coba katakan. “Sekarang. Yang perlu kau lakukan hanyalah membantuku bicara dengan Dashia, Serra. Bagaimana caraku menghadapi pernikahanku akan menjadi urusanmu.”

Ketakjuban di wajah Serra seketika memudar, digantikan cemberut yang meruncing di bibir.

“Apa kau mengerti?”

Kepala Serra mengangguk. “Apa yang harus kulakukan?” tanyanya tak bersemangat.

“Cobalah bujuk Dashia agar kami bisa bertemu dan bicara. Selebihnya akan menjadi urusanku.”

*** 

“Loorena Rodrigo. Mama Marcuss. Mama sudah bicara dengannya. Dia juga tak menginginkan pernikahan ini. Bahkan dia tahu tentang kedekatanmu dan Marcuss selama ini. Ingin mengenalmu lebih dekat.”

Dashia yang sejak tadi sengaja menyibukkan diri pada layar ponselnya seketika menoleh dengan ketertarikan yang mulai muncul. Menatap kedua mata sang mama yang tampak dipenuhi senyum.

“Mama sudah berjanji akan memperbaiki kesalahan mama, bukan? Akan membuat Marcuss menjadi milikmu.”

Dashia sudah bersabar sepanjang sebulan ini sejak pernikahan Marcuss dan Eiza akan janji sang mama yang tak juga menunjukkan perkembangan. Tak berhenti meresapi patah hatinya yang hingga saat ini belum tersembuhkan. Keinginannya terhadap Marcuss dengan pernikahan tersebut bukannya semakin surut, malah semakin hari semakin besar. Membuatnya sering uring-uringan hanya dengan dengan mengingat nama Eiza. Namun, pagi ini kabar yang dibawa sang mama adalah setengah dari harapannya yang sudah berada dalam genggaman mereka.

“Sejak pernikahan, Marcuss mengurung Eiza di rumahnya. Dan …” Senyum Maria semakin mengembang ketika kedua matanya berkilat licik. “Sudah waktunya kau memperbaiki hubunganmu dengan Eiza.”

*** 

“Kau tidak terlambat,” senyum Marcuss menyapa Eiza yang muncul dari dalam rumah. Menyambut kedatangannya seperti biasa. Wajah wanita itu juga terlihat sedikit lebih baik dibandingkan hari-hari sebelumnya yang tampak muram.

Eiza hanya memberikan seulas senyum tipis. Kebebasan yang diberikan oleh Marcuss memang memiliki beberapa batasan yang harus ia tepati. Tidak boleh mengabaikan panggilan pria itu dan harus ada di rumah sebelum pria itu pulang. Kehidupannya hanya ketika Marcuss sibuk dengan pekerjaan kantor.

Marcuss melepaskan jasnya dan memberikan pada Eiza sembari menangkap pinggang sang istri. Menangkap satu lumatan yang panjang demi melepaskan semua penat yang memenuhi kepalanya sepanjang hari ini. Rasa manis bibir Eiza selalu berhasil memberinya kesegaran. 

“Malam ini aku harus mengurus beberapa berkas di ruang kerjaku. Bawakan makan malamku,” pintahnya setelah melepaskan pagutannya. Sedikit melonggarkan kedua lengannya dan membawa sang istri masuk ke dalam rumah.

Marcuss langsung ke kamar dan Eiza berbelok ke area dapur untuk membantu pelayan mempersiapkan makan malam pria itu. Satu dentingan samar dari ponsel yang berada dalam saku sejenak mengalihkan perhatiannya. Satu pesan dari Serra.

‘Besok siang aku akan bertemu dengan Dashia. Kau ingin aku bicara dengannya lebih dulu atau langsung bicara dengannya?’

Eiza baru saja akan mengetikkan balasannya ketika satu pesan kembali masuk. ‘Baru saja dia menelponku. Sepertinya suasana hatinya sudah jauh lebih baik. Tiba-tiba menanyakan tentang kabarmu.’

Eiza mendesahkan kelegaan. Senyum melengkung di antara celah bibirnya ketika jemarinya kembali menari-nari di atas layar.

‘Aku akan bicara dengan Marcuss. Jika dia mengijinkan, aku akan menemui kalian berdua. Di mana?’

‘Red’s Rodrigo. Dashia yang menentukan. Dia bilang sedang memiliki sedikit urusan di sana.’

Kening Eiza berkerut. Tempat yang asing tapi pasti salah satu tempat milik Marcuss. Yang mungkin juga akan sedikit menguntungkannya untuk mendapatkan ijin dari pria itu.

“Red’s Rodrigo?” ulang Marcuss dari balik gelas cangkir kopi pria itu. Tatapannya mengarah lurus pada sang istri yang duduk di sampingnya. Baru saja meletakkan gelas berisi air putih yang kemudian mengangguk pelan.

“Hanya pertemuan yang biasa kami lakukan.”

Marcuss menurunkan cangkirnya dan mengangguk. Tanpa mempertimbangkan. “Ya, lakukanlah. Kau bisa membawa salah satu sopir. Tak perlu menggunakan taksi seperti kemarin.”

“Ehm.” Eiza mengamati dengan hati-hati wajah Marcuss sebelum melanjutkan. “Bolehkah aku pergi tanpa sopir?”

Kedua alis Marcuss saling bertaut.

“Aku hanya terbiasa pergi sendirian ke mana pun.”

“Ya, aku tahu.”

Eiza pun tak perlu terkejut dari mana Marcuss tahu. Semua hal tentangnya, sudah bukan rahasia bagi pria itu. Bahkan tentang masa lalunya. “Aku akan berhati-hati.”

Marcuss mengangguk sekali. “Aku akan meminta Marco mengantarmu untuk mendapatkan mobil baru.”

“Tidak perlu,” tolak Eiza. “Ada banyak mobil di carportmu. Kau hanya perlu meminjamiku salah satunya.”

“Oke.” Sekali lagi Marcuss mengangguk. “Pakai saja yang membuatmu nyaman.”

Eiza terdiam dengan permintaannya yang dikabulkan oleh Marcuss dengan begitu mudah. Mengedipkan mata menatap pria itu yang juga menatapnya lebih dalam. Terkadang, Marcuss memang bisa sebaik ini kepadanya. Pun dengan kekejaman dan sikap kasar pria itu. “Terima kasih,” gumamnya kemudian dengan lirih.

Marcuss tak menjawab, tatapannya semakin intens ketika tangannya bergerak menyentuh paha Eiza. Mengusap lembut tiga kali sebelum menangkap pinggang sang istri dan menarik ke pangkuannya. “Hanya terima kasih?”

Wajah Eiza memerah. Menelan ludahnya dengan dengan hasrat yang mulai muncul di manik hitam pria itu. Menarik tubuhnya lebih menempel di tubuh pria itu. Dengan gugup, Eiza mendekatkan wajahnya. Menempelkan bibirnya lebih dulu di bibir Marcuss. Keterdiaman Marcuss membuatnya semakin gugup, seolah pria itu sengaja menginginkan dirinya yang memulai permainan ini.

Selama satu bulan melayani nafsu pria itu, setidaknya belajar cukup banyak apa yang disukai oleh Marcuss darinya. Bibirnya mulai bergerak menyapu di atas bibir Marcuss, gerakannya tak cukup lembut. Terasa kaku karena kegugupannya sendiri.

Marcuss terkekeh. Membuat mata Eiza yang terpejam kembali terbuka. Mengerjap beberapa kali dan hendak menjauhkan wajah mereka. Tetapi tangan Marcuss menahan punggung wanita itu. “Kau masih saja tak berpengalaman,” gumamnya. Bibirnya mulai bergerak melumat bibir bagian bawah Eiza. Menyesap dan menghisap dengan gairah yang mulai menggebu. Sudah bisa ia pastikan pekerjaannya akan sedikit melambat karena Eiza.

Sial.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro