27. Ketegangan Ibu Dan Anak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 27 Ketegangan Ibu Dan Anak

Eiza melangkah mendekat, Marcuss menurunkan ponsel di telinganya dan mengakhiri panggilan dalam satu kata singkat. "Apa yang terjadi?"

Marcuss mengangkat salah satu alisnya, dengan senyum tipis. Sedikit kesal, akan kepanikan yang tak bisa ditutup dengan baik oleh sang istri. Yang ada hubungannya dengan Danen Lee. "Kau mendengarnya?"

Eiza tak menyangkal. "Apakah ada masalah?" tanyanya dengan hati-hati.

"Bukan aku yang mencari masalah." Marcuss memutari meja kerja yang dipenuhi tumpukan berkas.

"Apa yang sudah Danen lakukan?" Tubuh Eiza berputar pelan. Menghadap Marcuss yang bersandar di meja. Tangan pria itu menyentuh pinggangnya, membawa tubuhnya mendekat.

"Ini urusan pria."

Eiza menelan ludahnya.

"Jika kau terlihat terlalu peduli dengannya, aku tak menjamin bisa menahan diriku untuk tidak melewati batas, istriku."

"Dia bukan seseorang yang mencari masalah dengan orang lain."

"Apakah itu artinya aku yang memulai?"

Eiza tak berani menjawab. Tatapan menusuk Marcuss membuat bibirnya kelu. "Lepaskan dia kali ini. Aku berjanji dia tak akan membuat masalah lagi."

Marcuss terkekeh. "Itu hanya menunjukkan kau lebih peduli padanya dibandingkan denganku. Suamimu sendiri."

"Aku sudah merelakan hubungan kami. Juga tak akan kabur dari

pernikahan kita."

"Apakah itu artinya kau sudah siap memberikan anak laki-laki untukku?"

Tubuh Eiza seketika menegang. Matanya berkedip beberapa kali. "A-aku …"

"Kau benar-benar tak mempedulikan resiko yang akan kau dapatkan jika tak bisa memenuhi kesepakatanmu dengan mamaku, ya?"

Eiza memang tak peduli. Semua yang terburuk sudah pernah ia rasakan. Kehilangan suami dan anak di saat yang bersamaan. Berakhir di pelukan Marcuss. Tak ada yang lebih buruk dari situasinya saat ini.

"Jika aku tak bisa memberikanmu anak laki-laki, aku hanya perlu mundur dari posisiku, kan? Dan kuharap saat itu kau sudah bosan dengan tubuhku? Kau bisa melanjutkan hidupmu dengan Dashia."

"Tidak. Tidak akan semudah itu, Eiza." Marcuss menegakkan punggungnya, mengangkat tubuh Eiza duduk di meja. Membuka kedua kaki wanita itu sebelum berdiri merapat.

"Pertama, mamaku tak akan melepaskanmu semudah itu. Mamaku sangat menghargai darah murni keluarga kami. Darahmu yang berasal dari kelas sosial jauh di bawah kami, itu akan terus mengalir di dalam darah Ezlin. Jika ada orang yang mengetahuinya, percayalah. Itu akan menjadi mimpi buruk. Untukmu dan orang yang tak bisa menahan rasa penasarannya."

Eiza menelan ludahnya. Keseriusan ancaman Marcuss, juga oleh telapak tangan pria itu yang mulai bergerak menyingkap ujung dressnya. "Mamamu menunggu di bawah."

"Aku tahu."

Matanya berkedip gugup. Ujung jemari Marcuss berhasil menyentuh tali celana dalamnya. Menariknya turun. "Bukankah tadi malam …"

"Ya. Itulah masalahmu, istriku. Aku tak pernah tidak berhasrat kepadamu." Kepala Marcuss bergerak turun. Memagut bibir sang istri. Mulai menyesap manis yang sudah seperti candu baginya.

***

Setengah jam kemudian, Marcuss dan Eiza turun ke lantai satu. Meja makan sudah disiapkan dan Loorena menyambut keduanya dengan senyum yang dibuat-buat.

"Mama dengar ada sedikit masalah di perusahaan?" Loorena mendekatkan mangkuk berisi sup yang masih mengepulkan asap. "Ini akan membuatmu lebih tenang. Sup herbal."

Marcuss tak mengatakan apa pun. Mengambil sendok dan mengambil satu suapan yang segera menghangatkan tenggorokannya. Lidahnya mencecapi sesaat, sebelum kemudian melirik sang mama yang mengambil tempat di sampingnya. "Atau mencegah istriku hamil?" Satu tangan Marcuss menjauhkan mangkuk sup di depan Eiza. Yang sudah akan mengambil sesendok kuah.

Eiza membelalak terkejut, mulutnya yang sudah terbuka kembali merapat, menatap sang mertua dan Marcuss yang saling pandang dalam ketegangan.

"Apa maksudmu, Marcuss?" Loorena mempertahankan senyum di wajahnya.

"Laki-laki atau perempuan, aku akan memastikan mama tidak mendapatkan keinginan mama."

"Kau tidak lagi bisa berbuat sesuka hatimu, Marcuss."

"Atau?"

"Ada banyak orang mengincar posisimu. Mereka tak akan melepaskan kesempatan untuk menggulingkanmu."

"Hanya karena aku tak memiliki anak laki-laki?" dengus Marcuss.

"Kau perlu mengamankan posisimu dengan anak laki-laki." Loorena menekan setiap kata-katanya meski suaranya sudah sangat jelas.

Marcuss mendesah keras dan kepalan tangannya menggebrak meja hingga sup di mangkuknya menciprati sekitar.

Eiza tersentak, tak berani bergerak apalagi membuat suara sekecil apa pun untuk  menggangguk ketegangan di antara ibu dan anak tersebut. Kemarahan Marcuss begitu mengerikan.

“Lagipula, ini kesepakatan antara aku dan istrimu. Bukan denganmu.”

“Dia hanya terlalu bodoh dan termakan umpan mama.”

Loorena tersenyum tipis, tatapan berpindah pada Eiza dengan penuh arti sebelum menjawab, “Kita lihat saja nanti.”

Eiza menelan ludahnya. Sekarang Eiza tahu kenapa Marcuss begitu membenci sang mama. Sama seperti Maria Lee, Loorena Rodrigo akan melakukan apa pun untuk mencapai apa yang diinginkan. Yang membuat Eiza bimbang, kepada siapa sekarang ia harus berpihak. Marcusskah? Atau Dashia?

*** 

Benda-benda yang berserakan memenuhi seluruh ruangan membuat langkah Danen terhenti sebelum memasuki kamar tidurnya lebih dalam. Gerakan dari arah kamar mandi segera mengalihkan perhatiannya. Melihat Jessi yang langsung menatapnya dengan penuh kedongkolan.

“Kau sudah datang?” sinis Jessi. Mendekati sang suami yang bahkan masih mengenakan setelan kerja dengan jas dan dasi yang sudah dilepaskan, kemeja yang keluar dari celana dan rambut yang masih kusut. “Di mana kali ini kau bermalam? Wanita mana yang menemanimu, hah?”

Danen menyentakkan tangan Jessi yang berusaha menyentuh ujung lengan bajunya. Wajah wanita itu terdorong mendekat, mengendus sesuatu di bagian dada.

“Tadi malam kau minum?”

“Bukan urusanmu,” sergah Danen. Berjalan melewati Jessi menuju pintu kamar mandi. Tetapi baru beberapa langkah, sebuah bantal mendarat di punggungnya. Menghentikan langkahnya. “Apa masalahmu, hah?”

“Aku istrimu!” jerit Jessi mulai diselimuti kefrustrasian. “Aku berhak tahu semua urusan tentangmu.”

“Kau menikah dengan kesepakatan yang kau buat dengan mamaku, bukan denganku!”

Jessi mendelik. Tubuhnya menerjang ke arah Danen. “Berengsek kau, Danen. Tidak cukupkah semua pengorbanan yang sudah keluargaku dan aku lakukan untukmu? Sejak kita menikah, kau tak pernah tidur di rumah. Kita selalu jalan keluar hanya karena mamamu atau aku yang berhasil mengancammu. Apakah ini pernikahan?”

“Ini pernikahan yang kau inginkan. Apakah sekarang kau menyesalinya?”

Wajah Jessi semakin merah padam oleh amarah. Kedua tangannya terangkat, menghujani pukulan di dada Danen. “Sadarlah kau! Kau sudah menikah denganku dan wanita murahan itu sudah menjadi gundiknya Rodrigo. Pernikahan kalian bahkan sudah dihapus jejaknya.”

“Jaga ucapanmu, Jessi,” desis Danen. Menyingkirkan tangan Jessi dari hadapannya dengan kasar hingga tubuh wanita itu terhuyung satu langkah ke belakang. Amarah di wajahnya tak kalah pekat dengan yang menyelimuti wajah Jessi. “Kau dan mamaku bekerja sama untuk memisahkan kami.”

Jessi mendengus keras. “Wanita itu memang tak pantas berada di sisimu.”

Tangan kanan Danen terangkat, hendak melayangkan satu tamparan di wajah Jessi. Ia sudah cukup muak dengan semua masalah di perusahaan dan saat pulang, Jessi semakin memperburuk suasana hatinya.

“Cukup, Danen!” Suara Maria menyela pertengkaran keduanya. Berjalan masuk di kamar yang tak pernah rapi tersebut karena sering menjadi pelampiasan amarah Jessi. Kefrustrasian di wajahnya tak kalah besarnya dengan memenuhi wajah Danen. “Ada apa lagi kali ini, hah?”

Danen hanya membuang wajah, melempar jas dan dasi di tangannya ke lantai sebelum kemudian berjalan ke kamar mandi tanpa memberikan jawaban untuk sang mama.

Sementara Jessi, wajah wanita itu yang dipenuhi amarah, berubah pucat dan dipenuhi ketakutan dengan apa yang akan dilakukan Danen kepadanya. Seumur hidupnya, ia belum pernah diperlakukan sekasar ini. Tak ada yang berani memarahinya, apalagi sampai bermain tangan kepadanya. Hidupnya sebagai putri tunggal pasangan Calanthe selalu dipenuhi kasih sayang. Selalu memanjakannya dan semua keinginannya pasti terpenuhi. Termasuk menikah dengan pria yang diinginkannya.

“Kau baik-baik saja?” Maria berusaha bersuara dengan selembut mungkin. Jessi memang anak yang manja, tentu saja sikap kasar Danen begitu mengejutkan sang menantu. Danen benar-benar sudah berubah. Putranya yang lembut dan penurut itu sekarang menjadi lebih sering uring-uringan dan pembangkang. Bahkan sampai berani bermain tangan.

Jessi menggeleng.

“Duduklah.” Maria membawa Jessi duduk di tepi ranjang. Mengambilkan air minnum untuk sang menantu. “Minumlah.”

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro