32. Persekongkolan Keluarga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 32 Persekongkolan Keluarga

“Kau baik-baik saja?” Dashia mendekati Eiza yang masih tercengang dengan apa yang baru saja terjadi. Merangkul Eiza dan membawa wanita itu ke toilet. Membantu membersihkan rambut Eiza dari tumpahan jus meski tak bisa bersih sepenuhnya. Begitu pun dengan noda-noda yang mengotori dress wanita itu.

“Kau di sini?”

Dashia menunjukkan ponsel milik Eiza di tangannya. “Aku menyusulmu. Hendak memberikan ini.”

Eiza mengambil ponselnya saat pandangannya beralih pada sang mantan mertuanya yang baru disadari ikut masuk ke dalam toilet.

“Hmm, tadi aku memang bersama mama. Kami membuntutimu ketika melihat mobil Jessi. Tapi terlambat, Jessi rupanya sudah benar-benar kehilangan kewarasannya,” jelas Dashia kemudian.

“Ya, dia benar-benar membuat Danen kacau.” Maria menimpali. Wanita paruh baya itu maju satu langkah, meraih tangan Eiza dan menggenggamnya. “Terima kasih sudah menemukan Danen untuk kami, Eiza. Jika ponselnya tidak teringgal dan kami tidak mengikutimu, entah bagaimana lagi cara kami menemukan Danen. Mama benar-benar sudah putus asa menemukannya.”

Eiza tak tahu harus mengatakan apa. Benaknya masih dipenuhi ketercengangannya. Pandangannya kemudian turun ke arah tangannya yang digenggam lembut, lalu kembali menatap wajah Maria yang dipenuhi sesal. Tak ada lagi kebencian dan kemarahan wanita paruh baya itu kepadanya.

“Terakhir kali bicara, Danen mengancam mama akan menghilang jika mama tidak mengurus perceraiannya dengan Jessi. Sepertinya mama tak punya pilihan lain.”

Eiza masih bergeming, terutama dengan mantan mertuanya yang masih menyebutkan diri dengan panggilan mama. Tentu saja ia sangat ingat bagaimana ucapab sadis wanita itu kepadanya. Masih tertanam kuat di ingatannya.

“Mungkin ini benar-benar sudah terlambat, Eiza. Tapi … mama minta maaf. Mama benar-benar menyesal dengan semua perbuatan mama terhadap kalian berdua. Terlebih kepadamu.” Maria menampilkan raut semenyedihkan mungkin yang bisa ia buat. “Sekarang, mama benar-benar mendapatkan hukuman untuk semua perbuatan jahat mama padamu. Kumohon maafkan orang tua ini.”

Eiza masih kehilangan kata-kata akan perubahan sikap Maria. Matanya melirik ke arah Dashia, yang memberinya anggukan singkat. Ya, Dashia memang sempat mengatakan tentang penyesalan Maria Lee dengan kekacauan dalam pernikahan Danen dan Jessi. Yang tak diperkirakan dampaknya akan seserius ini pada perubahan diri Danen.

“Bila perlu, mama akan bersujud dan mencium kakimu untuk mendapatkan maaf darimu, Eiza.” Maria sudah akan menekuk kedua kakinya. Tetapi Eiza langsung menahannya, tepat seperti yang sudah ia perkirakan.

“Tidak, Ma. Jangan seperti ini.” Eiza menarik lengan Maria agar tetap berdiri tegak. “Eiza sudah memaafkan semua perbuatan mama.”

Mata Maria tampak berkaca-kaca, dengan keharuan yang dibuat-buat sebelum kemudian menghambur dan memelukkan kedua lengannya pada Eiza. “Terima kasih, Nak. Terima kasih sudah mau memaafkan kekhilafan orang tua ini,” ucapnya, diserati isak tangis yang dibuat-buat. Pandangannya di cermin bertemu dengan tatapan sang putri. Dengan seringai yang tersamar di ujung bibir keduanya.

*** 

Eiza memekik pelan menyadari ada notifikasi belasan panggilan yang muncul di layar ponselnya. Dari Marcuss. Dan ini benar-benar bencana.

“A-aku … mendengarnya berkali-kali tapi aku tak berani mengangkatnya,” dalih Dashia ketika ketiganya baru saja keluar dari dalam toilet.

Eiza hanya mengangguk pelan, kedua pundaknya turun lebih ke bawah dengan kepucatan yang semakin pekat.

“Kau baik-baik saja?” Danen muncul di hadapan ketiganya. Memegang kedua pundak Eiza. “Jessi benar-benar keterlaluan. Aku sudah …”

“Aku baik-baik saja, Danen.” Eiza mengangguk. Memegang kedua tangan Danen di pundak dan menurunkannya. Setelah keributan Jessi, dengan caci maki yang begitu jelas ditujukan padanya. Tentu saja ia sama sekali tak berhak mendapatkan perhatian Danen. Juga Maria yang bahkan lebih membelanya ketimbang Jessi sebagai seorang menantu. Sementara Danen dan Jessi masih terikat pernikahan yang sah. Dan ia memang tak lebih dari seorang mantan.

Mendadak Eiza dibuat bimbang, entah kenapa ia bisa memahami kemarahan Jessi kepadanya. Karena ia memang pernah berada dalam posisi yang sama.

“Aku … sepertinya harus pulang.” Eiza menatap ketiga anggota keluarga Lee tersebut bergantian. “Dan Danen, kau pun harus bicara dengan mamamu.”

Danen dan Maria saling pandang.

“Apa pun keputusan kalian. Aku hanya bisa berharap itu adalah keputusan yang terbaik dan hasilnya akan menjadi baik.” Hanya itu yang bisa Eiza katakan karena perasaannya yang merasa terburu setelah melihat ponselnya. Eiza pun mengangguk. Berpamit pada ketiganya.

Ketiganya hanya terdiam, menatap punggung Eiza yang semakin menjauh. “Apakah semuanya sudah cukup meyakinkan?” Ekspresi Maria berubah dingin, dengan kelicikan abadi yang memekati kedua bola matanya.

“Ya, Dashia sangat mengenal Eiza. Dan sekarang dia berada dalam masalah.” Jawaban Dashia membuat Danen tak terima.

“Kau bilang dia akan baik-baik saja, Dashia.”

“Ck, berurusan dengan Marcuss tak pernah menjadi baik-baik saja, Danen. Tapi yang terpenting dia akan kembali padamu, kan? Hanya itu yang kau butuhkan dengan persekongkolan ini?”

Danen terdiam.

“Tak perlu secemas itu, Marcuss. Yang perlu kau pikirkan sekarang adalah mengurus istrimu yang manja itu.”

“Juga proyek baru, yang akan segera menjadi milikmu.”

“”Apa?” Danen menatap sang mama. Dengan kilat licik yang melintasi kedua matanya.

“Kita berlanjut ke rencana selanjutnya.” Maria berjalan mendahului kedua anaknya.

***

Eiza kembali ke meja untuk mengambil tasnya. Memasukkan ponselnya ke dalam tas lalu berjalan keluar café. Satu helaan berat berhasil lolos dari celah bibirnya ketika memikirkan kemarahan Marcuss yang menunggunya. Ditambah hari yang sudah mulai gelap. Bisa dipastikan ia sampai di rumah lewat dari jam enam.

Perkiraan Eiza lebih lambat dari seharusnya karena jalanan yang macet. Sampai di halaman rumah Marcuss hampir jam tujuh malam.

Entah berapa kali Eiza menghela napas untuk menenangkan perasaannya. Jantungnya tak berhenti berdegup kencang, dicengkeram kepanikan akan apa yang menunggu di dalam rumah.

“Aku sudah memperingatkanmu untuk tak mencari masalah, Eiza.” Marco mendadak muncul di ujung tangga. Bersama tiga pelayan yang masih-masing membawa pecahan kaca. Entah dari vas bunga, guci, meja kaca, atau barang-barang pecah belah lainnya yang sudah tak bisa dikenali bentuknya.

“Ya, semua ini perbuatan Marcuss.” Marco menjawab pertanyaan yang tak berhasil lolos dari mulut Eiza karena saking pucatnya wajah wanita itu. “Sekarang, kau hanya bisa berharap obsesi gila Marcuss padamulah yang akan menyelamatkanmu. Aku tak lagi bisa membantumu meredakan kemarahannya.”

Eiza menggigit bibir bagian dalamnya demi menahan ketakutan yang mulai merebak di dadanya. Kedua tangannya yang gemetar hebat, meremas tali tasnya.

Marco memberikan satu tepukan di pundaknya sebelum berjalan melewatinya dan menuruni anak tangga. Sementara pandangan Eiza menatap gugup pada pintu kamar utama yang tertutup rapat. Terasa hening. Sangat hening hingga terasa mencekik lehernya.

Kedua kaki Eiza yang bergetar tetap melangkah. Pada akhirnya, cepat atau lambat ia akan berhadapan dengan kemarahan Marcuss di balik pintu.

Tangan Eiza yang berkeringat, memegang gagang pintu dan mendorong terbuka. Napasnya tertahan dengan keras, memasuki kesunyian yang begitu mencekam.

Lampu kamar menyala benderang, dengan beberapa barang yang sudah menghilang. Sudah dibawa pelayan. Termasuk kaca di pintu ganda balkon. Salah satu pintu sudah tak berkaca, sementara pintu yang lain menyisakan kaca yang pecah setengah. Bekas-bekas pecahan pun sudah dibersihkan di sekitar lantai. 

Eiza mengedarkan pandangan ke seluruh kamar, tak menemukan Marcuss di mana pun. Pintu kamar mandi yang setengah terbuka memberitahunya keberadaan pria itu. Berikut suara keran air yang menyala pelan. Bukan keran wastafel ataupun shower. Melainkan keran di bath up.

Eiza tak yakin apakah harus menyusul Marcuss dan menghadapi pria itu, atau menunggu kemarahan pria itu menghampirinya.

Eiza masih belum sempat memutuskan pilihan mana yang sedikit lebih baik, pintu kamar mandi terjemblak terbuka dan Marcuss melangkah masuk.

Wajah Marcuss dipenuhi kegelapan, berbanding terbalik dengan gestur tubuh pria itu yang diselimuti ketenangan. Pun dengan suara pria itu ketika berucap, "Kau datang di saat yang tepat."

Seluruh tubuh Eiza menegang dan semakin menegang di setiap langkah pria itu yang semakin menegang. Hingga berhenti tepat di depannya, napasnya tertahan dengan keras.

Manik Marcuss mengamati rambut Eiza yang tampak lengket dengan beberapa noda di pakaian sekitar pundak dan dada. Tangannya terulur, menyentuh helaian di ujung kepala dan berjalan lebih turun. "Dan kau terlihat sangat butuh mandi," bisiknya dengan suara mendayu. Yang malah membuat dada Eiza dicengkeram ketakutan.

Eiza tahu Marcuss sengaja bermain-main dengan ketakutannya. Tak butuh lebih dari satu detik, tangan pria itu menjambak rambutnya. Pekikannya tak sempat keluar sepenuhnya ketika tubuhnya diseret ke arah kamar mandi. Hukumannya kali ini tidak akan menjadi ringan. 

***

Next part yang lebih cepat bisa langsung ke Karyakarsa, ya. Langsung sampai end dengan judul yang sama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro