37. Kegelisahan Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 37 Kegelisahan Hati

Kedua alis Marcuss bertaut, menatap pada Marco yang sudah mendekati Eiza.

“Dia bekerja sama dengan pembunuh itu untuk membuatmu celaka. Itu bukan kecelakaan.”

“Aku akan menjelaskannya di ruanganmu.” Marco menjawab pertanyaan yang tersirat di kedua mata Marcuss dengan suara yang lirih.

“Tak perlu. Semua sudah jelas. Mama sudah mengurus gugatan percobaan pembunuhan dan perceraian padanya.” Loorena masih berapi-api.

Marcuss terdiam, tampak mempertimbangkan sejenak dan mengangguk pada Marco. Yang langsung membawa Eiza masuk ke dalam rumah. Melewati Loorena dan Dashia.

“Kau lebih mempercayai wanita murahan yang mengkhianatimu itu dibandingkan mama? Ibu kandungmu sendiri.”

“Mamalah yang mendukung Danen Lee untuk menyerangku, ingat?”

Mulut Loorena yang membuka lebar seketika membeku.

“Mamalah yang mengkhianatiku lebih dulu.”

“K-kau …”

Marcuss berjalan melewati sang mama. Tak butuh mendengarkan keributan ini lebih banyak lagi dengan kepalanya yang masih pusing dan tubuhnya yang belum pulih dengan baik. Sampai di lantai atas, Marco sudah menunggunya di ujung tangga. Dan keduanya langsung menuju ruang kerja.

“Aku curiga Eiza mengenali siapa pria yang mencoba mencelakai kalian.”

“Dia mengenalinya.” Marcuss meletakkan ponsel Marco yang baru saja menunjukkan rekaman di basement rumah sakit tepat sebelum mereka kecelakaan. “Danen Lee.”

Marco pun tak menyangkal kecurigaan tersebut. 

“Dan dia tak mau bicara untuk melindungi cecunguk itu.”

Marco tak berkomentar apa pun tentang itu. “Jadi apa yang akan kau lakukan?”

“Biarkan saja.” Marcuss beranjak dari duduknya. “Urus saja kekacauan yang dibuat mamaku. Hubungi pengacaraku untuk membatalkan apa pun itu yang diperintahkan mamaku.”

Marco mengangguk. “Lalu apa yang akan kau lakukan pada istrimu?”

“Itu akan menjadi urusanku,” jawab Marcuss. Tak mengurangi kecepatan langkahnya menuju pintu.

*** 

Kepala Eiza menoleh dengan cepat ketika pintu kamar terbuka dan Marcuss melangkah masuk. Pandangan mereka sempat bertemu, tetapi Marcuss membuang wajah lebih dulu, menyeberangi ruangan.

Kaki Eiza sudah bergerak mendekat, tetapi langkahnya tercegah ketika Marcuss melewatinya begitu saja. Eiza tercenung, menatap punggung pria itu yang menghilang di balik pintu kamar mandi. 

Ia menggigit bibir bagian dalamnya, merasakan cubitan yang keras di dadanya akan pengabaian Marcuss terhadapnya. Pria itu bersikap seolah dirinya tak ada di ruangan tersebut. Membuat perasaan Eiza semakin mencelos, ketika Marcuss keluar dari kamar mandi, sama sekali tak menoleh ke arahnya dan langsung masuk ke ruang ganti. Mengganti pakaian dan keluar tak lama kemudian.

“A-aku …” Suara Eiza terbata ketika mencoba menghadang pria itu di tengah ruangan.

Marcuss berhenti, menatap wajah Eiza yang gugup dengan datar.

Eiza menatap wajah Marcuss yang meski tampak begitu dingin, kepucatan di raut pria itu begitu jelas. Begitu juga dengan goresan dan luka-luka yang masih setengah kering di wajah Marcuss. “B-bagaimana keadaanmu?”

“Kenapa? Kau terkejut keadaanku tidak lebih buruk dari ini?”

Eiza tercengang lalu menggeleng dengan cepat.

Marcuss mendengus. “Kau terkejut aku masih hidup?”

“Kenapa kau berkata seperti itu, Marcuss?”

“Memang itu yang kau inginkan, bukan? Jadi tak perlu terkejut hanya untuk menjaga perasaanku. Aku sudah terbiasa dengan kebencianmu.”

Jawaban Marcuss yang telak membuat Eiza terpaku. Mulutnya merapat tanpa mengatakan apa pun. Membeku di tempatnya berdiri ketika Marcuss melewatinya dan berjalan keluar.

*** 

“Bukankah sudah tiga bulan kalian menikah dan istrimu belum menunjukkan tanda-tanda akan memberikan kabar bahagia untuk keluarga kita?” Kalimat Loorena yang diucapkan di tengah meja makan membuat tubuh Eiza diselimuti ketegangan. Menatap Dashia yang duduk di samping wanita paruh baya tersebut.

Sang sahabat hanya membalas tatapannya dengan senyum dan anggukan tipis, yang entah kenapa membuat Eiza diselimuti kebimbangan.

Setelah mengatakan wanita itu akan merawat sang putra sampai sembuh, kali ini Loorena memberikan alasan tentang keberadaan Dashia di rumah ini. Pandangan Eiza kemudian beralih pada Marcuss. yang sama sekali tak berkomentar dengan penjelasan panjang lebar Loorena. Yang artinya, Marcuss tak menentang keberadaan Loorena maupun Dashia di rumah ini.

Eiza menggigit bibir bagian dalamnya. Bukankah ini masih tiga bulan, sementara kesepakatan di antara mereka adalah satu tahun? Eiza segera menepis pertanyaan tersebut. Ia bahkan tak berhak mempertanyakan hal tersebut sementara dirinya jelas tak menginginkan kehamilan tersebut.

“Jadi Dashia di sini untuk lebih dekat dengan Marcuss.” Kali ini Loorena menatap ke arah Eiza. “Kau tak keberatan, kan?”

Eiza mengerjap, menoleh ke arah sang mertua dan memberikan satu anggukan.

Tepat ketika Eiza mengangguk. Marcuss meletakkan sendok dan garpunya ke piring lalu bangkit berdiri. Meninggalkan meja makan tanpa sepatah kata pun.

“Dan jika Dashia berhasil memberikan keturunan seperti yang keluarga kami inginkan. Kau tahu apa yang harus kau lakukan, kan?”

‘Menyerahkan posisinya pada Dashia,’ jawab Eiza dalam hati. 

Senyum Loorena mengembang puas. “Setidaknya kau memahami posisimu dengan baik,” ucapnya sebelum ikut meninggalkan meja makan.

“Kau akan membantuku, kan?” Dashia memulai pembicaraan setelah Loorena keluar dari ruang makan.

Eiza tak langsung menjawab, menatap raut penuh harap Dashia padanya. Lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling mereka sebelum mempertanyakan keraguan yang sejujurnya sudah teryakinkan di hatinya. "Dashia, bisakah kau membantuku untuk bertemu dengan Danen?"

Kedua alis Dashia menyatu. Tak percaya dengan ketololan Eiza yang masih bersikeras bertemu dengan Danen bahkan setelah semua kebencian dan kemarahan Loorena padanya. Ataukah Eiza masih terlalu percaya diri Marcuss akan tetap membela wanita ini? Tapi … apa pun itu, semua itu akan lebih menguntungkannya, kan? Jadi tak ada yang salah.

Dashia memberikan satu anggukan. "Ya, kita sudah sepakat untuk membantu sama lain, kan?"

Eiza tak mengangguk. Meski ia yakin bahwa Danenlah yang mencoba membunuh Marcuss dan mencelakakan dirinya, ada kecurigaan lain yang terasa memyentil hatinya pada Dashia.

Seperti yang pernah Serra katakan, bahwa Dashia telah berubah. Eiza tak yakin perubahan apa yang dikatakan oleh Serra, tapi …

Eiza menggeleng. Menepis pikiran buruk itu dari benaknya. Dashia tak mungkin mengkhianatinya, kan?

*** 

Kesunyian menyambut Eiza saat masuk ke dalam kamar. Ini bukan pertama kalinya ia masuk ke dalam kamar dan tak ada Marcuss di dalam sama. Tetapi entah kenapa kesunyian kali ini terasa berbeda. Mungkin karena ia tahu Marcuss ada di ruang kerja pria itu. Dan mengabaikannya.

Eiza membaringkan tubuhnya di tepi ranjang. Tanpa membersihkan diri atau mengganti pakaiannya dengan baju tidur. Berusaha memejamkan mata tetapi kemelut di benaknya semakin menjadi.

Semua masih terasa tak aman dan tak nyaman. Tapi … sejak awal semuanya memang sudah tak aman dan tak nyaman. Seharusnya dia tak merasa aneh atau terkejut dengan perasaan semacam ini, kan?

Seharusnya ia merasa baik-baik saja dengan pengabaian Marcuss, kan?

Tapi … jika ia memang baik-baik saja, tak perlu kata seharusnya dalam pertanyaannya.

Rasa bersalah di dadanya terasa semakin menumpuk. Pada Marcuss?

Eiza tak tahu berapa lama ia menghabiskan waktu hanya untuk berbaring dan kesulitan memejamkan mata. Saat ia menoleh ke jam di atas nakas, sudah dua jam sejak makan malam selesai.

Dan ia masih seorang diri di ruangan ini?

Ck, apakah ia berharap Marcuss akan tidur di sini?

Eiza menggeleng pelan. Beranjak dari ranjang dan berjalan keluar. Kedua kakinya melangkah ke arah ruang kerja Marcuss. 

Tepat ketika tangannya terangkat untuk mengetuk pintu, pintu terbuka dan Marco melangkah keluar. Membuatnya mundur satu langkah.

"Eiza?" Marco menahan pintu setengah terbuka. "Kau ingin masuk?"

Kepala Eiza menggeleng dengan cepat.

Kedua alis Marco bertaut sembari menutup pintu rapat-rapat.

"A-aku … apakah dia baik-baik saja?"

Marco menghela napas rendah. "Kau mencemaskannya?"

Eiza tak mengangguk maupun menggeleng.

"Sejauh ini masih tidak baik. Seharusnya dia dirawat di rumah sakit dan berada dalam pengawasan dokter. Tapi dia bersikeras melakukan perawatan di rumah."

"Karena pekerjaan?"

"Salah satunya."

Lagi, rasa bersalah itu menumpuk di dada Eiza. "Karena Danen?"

Marco mengangguk.

"Seburuk itukah perbuatannya?"

Marco hanya mengedikkan bahunya. "Rupanya kau memang tak benar-benar tahu siapa pria yang pernah kau nikahi, ya?"

Pertanyaan Marco berhasil membuat hatinya mencelos. "Aku pun tak benar-benar tahu pria yang kunikahi saat ini," balasnya dengan suara yang lebih lirih.

"Ehm, aku memahami itu." Marco manggut-manggut. "Jika ini membantumu, Marcuss sudah mencabut gugatan yang dilayangkan mamanya. Perceraian dan percobaan pembunuhan. Tapi aku tak yakin apakah ini yang kau inginkan atau tidak."

Eiza tak membalas. Ia pun tak yakin.

"Aku pergi dulu. Kembalilah ke kamar, Marcuss sedang tak ingin diganggu."

Eiza masih bergeming. Tetap berdiri di depan pintu ketika Marco melewatinya dan menuruti anak tangga.

Tak yakin apa yang akan dikatakannya pada Marcuss, Eiza pun berniat kembali ke kamar dan tak ingin mengganggu pria itu. Namun, langkahnya terhenti melihat Dashia yang baru saja muncul dari arah tangga.

"Hai?" sapa Dashia. Berhenti tepat di depan Eiza.

Eiza hanya melengkungkan seulas senyum. Menatap cangkir teh yang ada di atas nampan dan masih mengepulkan asap.

"Marcuss ingin teh. Sepertinya dia butuh merilekskan tubuhnya."

Eiza mengerjap, kembali menatap wajah Dashia dan mengangguk. "Ya. Dia pasti membutuhkan seseorang untuk menemaninya. Aku ke kamar dulu," ucapnya lalu berjalan melewati Dashia. Dengan perasaan yang lebih campur aduk. 

Langsung masuk ke dalam kamar dan berbaring di ranjang. Merasakan sesak yang begitu menusuk di dadanya.

Ya, inilah memang yang seharusnya terjadi. Dashialah yang akan menggantikan dirinya di sisi Marcuss.

Lalu, kenapa hatinya terasa sakit seperti ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro