5. Milik Marcuss

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Pandangan Eiza mengabur. Kesadaran mulai naik turun dengan semua kata-kata Maria yang mendesak masuk ke telinganya. Berjumbal di tengah patah hati, kekecewaan, kemarahan, dan rasa muak yang campur aduk. Semua memenuhi kepalanya, terlalu berat untuk dibebankan di pundaknya yang lemah. Terlalu besar untuk memenuhi hatinya yang rapuh dan remuk redam.

Danen dan Jessi sudah memiliki seorang putra?

“Saat Danen mengetahui semua kebenaran ini, kami hanya perlu membawa Haidar ke hadapannya. Seketika dia akan melupakanmu dan menyambut putranya dengan senang hati. Kau tahu seberapa besar keinginannya untuk memiliki anak laki-laki, kan?”

‘H-haidar?’ Eiza berharap telinganya menjadi tuli. Ribuan tombak serasa ditusukkan tepat mengenai dadanya. Ia tak tahan lagi dengan semua kekecewaan dan pengkhianatan datang secara bertubi-tubi ini. Yang bahkan tak tahu pada siapa ia harus menyalahkan semua kemalangan ini. kebenaran dan kebohongan bertumpang tindih, sulit untuk ditentukan mana yang harus dipercayainya. Satu-satunya fakta yang tak bisa ia sangkal adalah pada akhirnya Maria berhasil mendepaknya dari kehidupan Danen. Sumpah yang pernah diucapkan oleh wanita itu ketika Danen membawanya menemui wanita paruh baya untuk dikenalkan sebagai kekasih pria itu.

Maria menggoyang-goyangkan kepala Eiza yang terkulai. Membeliak menyadari sang mantan menantu yang sudah tak sadarkan diri dan segera melepaskan pegangannya. “Sial, kenapa harus pingsan di sini? Merepotkan saja.”

Maria melangkah mundur, memanggil penjaga keamanannya untuk membawa kembali Eiza ke rumah sakit.

“N-nyonya?” panggil salah satu bawahannya. Menunjuk pada genangan darah yang mengotor pakaian bawah Eiza.

Maria hanya melirik sekilas, memeriksa pakaian dan sandalnya dan merasa lega tak ada noda darah sedikit pun yang mengotorinya. “Bawa pergi dari sini. Secepat …”

“Berikan wanita itu padaku.” Kalimat Maria membeku dengan suara yang tiba-tiba muncul tanpa keduanya sadari. Maria memutar tubuhnya, mencari asal suara.

“T-tuan Marcuss?” Maria membeliak terkejut dengan pria tinggi dan besar yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya. “A-anda di sini?” Keterkejutan Maria lekas berubah menjadi sebuah senyum yang dibuat-buat. “A-pakah Anda mencari Dashia? Dashia sedang …”

Marcuss menatap lurus pada tubuh Eiza yang tak bergerak di tanah. Rambut wanita itu tampak berantakan, dengan wajah pucat dan tubuh yang lunglai dan salah satu lengan yang sudah dipegang oleh penjaga keamanan. Ujung bibir Marcuss menegang ketika beralih menatap Maria. Sama sekali tak ada kepedulian, pun hanya seujung kuku untuk Eiza. Tatapannya menajam pada wanita paruh baya yang sudah sangat dikenali kelicikan dan keserakahannya tersebut. Tak mengherankan wanita itu akan membuang Eiza, setelah wanita itu tak lagi bermanfaat. “Masih banyak urusan yang harus kita selesaikan, Nyonya Lee. Tapi ... sekarang saya harus menyelesaikan urusan saya dengan mantan menantu Anda.”

Seperti kerbau yang dicucuk hidupnya, Maria seketika mengangguk. “Ah, ya. Anda memang perlu membereskan masalah ini.” Seringai tersamar di ujung bibirnya. Ya, ia tak perlu repot-repot menyingkirkan Eiza dari hidup mereka. Seorang Marcuss Rodrigo, lebih dari sekedar mampu untuk melenyapkan seorang yatim piatu dengan kelas sosial rendah seperti Eizara, demi menutupi aib bahwa darah daging pria itu bercamur dengan darah kotor sang mantan menantu. “Saya akan menyuruh anak buah saya membawanya ke …” Maria menoleh sedikit dan langsung menemukan mobil mewah Marcuss yang terparkir tak jauh dari mereka. “Mobil Anda.”

Marcuss mengangkat tangannya. “Saya yang akan melakukannya.”

Maria membelalak tak percaya. Menatap Marcuss seolah kewarasan pria itu bergeser ke samping. “D-dia kotor. Sangat kotor. Anda bisa mengotori …”

Seringai Marcuss naik lebih tinggi. Tatapannya menajam dengan gigi geraham yang menggertak. “Saya hanya perlu membuang pakaian saya ke tempat sampah.”

Maria mengedipkan matanya. Tercenung dengan jawaban datar Marcuss yang entah kenapa membuat bulu kuduknya merinding. Terpaksa kepalanya mengangguk, memberikan isyarat pada bawahannya unuk menyingkir ketika Marcuss melangkah mendekati tubuh Eiza. Membungkuk dan menggendong tubuh kotor tersebut dengan gerakan yang ringan. Menuju mobil mewah yang terparkir tak jauh darinya. Hidungnya berkerut, menyayangkan darah yang akan mengotori pakaian dan mobil mewah seorang Marcuss Rodrigo.

”Dia benar-benar berada di kelas yang berbeda,” decak kagum Maria menatap bagian belakang mobil Marcuss yang bergerak semakin menjauh. “Sangat disayangkan mobil itu harus ikut disingkirkan.”

*** 

Kelopak matanya bergerak-gerak dengan perlahan. Kesadarannya perlahan kembali oleh aroma segar dan lembut yang masuk ke dalam hidungnya. Kedua matanya seketika terbuka mengenali langit-langit di atasnya bukanlah tempat yang ia kenali. Ia tidak berada di rumah sakit.

Eiza bangun terduduk. Mengedarkan pandangannya ke ruangan luas dengan desain dan furniture mewah tersebut. “Anda sudah bangun, Nyonya?” Suara lembut dari samping mengagetkannya.

“S-siapa kau?”

“Saya perawat yang …”

Eiza menggeleng. Tak penting mengetahui siapa wanita muda tersebut melihat seragam merah muda yang dikenakan. Eiza berusaha melepaskan jarum infus di punggung tangannya. Menyingkap selimut dan bergerak turun. 

“Anda tidak boleh turun …”

“Aku harus pergi.” Eiza mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong wanita muda itu menjauh darinya. Setengah berlari menuju pintu ganda yang ada di seberang ruangan. Ada lorong luas di samping kanannya, tapi kakinya melangkah ke samping kiri. Melewati pintu penghubung dan tubuhnya terpental satu langkah ketika menabrak dada yang tiba-tiba menghalangi jalannya.

“Kau baik-baik saja?” Pria itu menangkap pinggang Eiza sebelum wanita itu terjungkal.

Eiza mengangguk, berdiri dengan kedua kakinya dan melepaskan diri dari pegangan pria itu. “Di mana pintu keluarnya?”

Kedua alis pria itu berkerut terheran, meski begitu tetap menunjuk ke samping kiri mereka. Eiza mengangguk, lekas menggerakkan kedua kakinya. Mengikuti nalurinya dan langsung menemukan pintu ganda yang lebih tinggi. Melewati teras dan melihat pintu gerbang berwarna hitam. Keluar dengan mudah, ia mendapatkan taksi dan langsung menuju gedung apartemen. Meminta si sopir menunggu sang teman muncul dan membawakan uang.

“Terima kasih, Serra,” ucapnya. Memeluk sang teman.

“Kau baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat, Eiza.” Serra segera membawa sang teman ke dalam gedung.

“Bisakah kau menghubungi Dashia? Suruh dia ke apartemenmu. Ada yang harus kutanyakan padanya?”

*** 

Eiza dan Serra menoleh ke arah pintu ketika suara bel memecah keheningan di antara mereka.

“Aku saja.” Serra beranjak lebih dulu. Mengangguk menenangkan pada sang teman sebelum benar-benar berjalan menghampiri pintu. Tak lama wanita itu kembali dengan Dashia, mantan ipar Eiza yang juga adalah teman baiknya bahkan sebelum ia menjalin hubungan dengan Danen. Satu-satunya orang yang akan berpihak padanya ketika Maria menginjak-injaknya di belakang Danen.

“Eiza.” Dashia memeluk Eiza, dengan kecemasan yang memenuhi wajah. “Maafkan aku. Aku benar-benar tak tahu tentang kau dan Danen yang …”

“Mamamu memaksaku menandatangani surat perceraian itu sebelum aku masuk ke ruang operasi. Kupikir …”

Dashia menggenggam kedua tangan Eiza. “Aku mengerti. Mamaku memang bisa senekat itu. Aku sendiri tak tahu harus melakukan apa untuk membantumu, Eiza. Tadi pagi aku baru mengetahui tentang pertunangan Danen dan Jessi minggu depan dan pernikahan mereka bulan depan. Ini benar-benar gila, tapi kau sangat mengenal mama.”

“Bisakah kau membantuku bicara dengan Danen? Aku hanya butuh bicara dengannya.”

Dashia mengangguk. “Ya. Aku juga akan mencoba bicara dengan papa untuk membantumu. Meski kita tak bisa berharap banyak, tetap saja kita harus mencobanya.”

Eiza mengangguk, sedikit terlegakan dengan dukungan sang teman. “Terima kasih, Dashia.”

Keduanya kembali berpelukan, ketika ponsel dari dalam tas Dashia berdering. “Mama,” gumamnya. Menunjukkan kontak Maria yang muncul di layar. “Aku harus pergi,” ucapnya kemudian berpamit dengan terburu pada kedua temannya.

“Jika tidak mau ke rumah sakit, untuk sementara kau tinggal saja di sini, Eiza. Kau baru melahirkan. Tiga hari yang lalu.”

Eiza mengangguk. “Hanya kau dan Dashia yang kumiliki saat ini, Serra.”

“Tidurlah di kamar. Aku akan memanggil dokter untuk memeriksamu saat kau bangun. Kau sudah makan?”

Eiza menggeleng. “Aku hanya ingin berbaring.”

“Berbaringlah di kamar.”

“Di sini saja.”

“Kalau begitu aku akan membawakanmu makanan. Kau harus mengisi perutmu sebelum tidur.” Serra lekas beranjak dan menghilang dari ruang tamu. Baru saja Eiza membaringkan tubuhnya, tiba-tiba pintu bel berbunyi. Berpikir Dashialah yang kembali, ia pun lekas menghampiri pintu dan membukanya.

Wajah Eiza memucat. Menemukan seseorang yang berdiri di hadapannya bukanlah orang yang didugannya. Seluruh tubuhnya membeku ketika tatapannya bertemu dengan sepasang bola mata yang gelap tersebut. Dengan kilat kelicikan dan seringai keji yang terukir di ujung bibir.

“Aku menangkapmu. Lagi.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro