🚀Kapasitas Tanpa Batas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"I wake up everyday, like, 'hello beautiful'. 'Cause this world is so crazy and it can bring you down. You're too short, too fat, too skinny. Hey! But excuse me if i think that i'm pretty."

Dengan kotak bekas susu stroberi yang sudah beralih fungsi menjadi mikrofon dadakan, Iris menyanyikan lagu favoritnya sepanjang masa. Girl in The Mirror, Juno kira, itu sesuai sekali dengan kepribadian Iris. Tidak pernah berlebihan memikirkan fisik, nyaman dengan dirinya sendiri apa adanya, dan merasa cantik seperti biasa. Sayangnya, Juno rasa yang terakhir itu memang begitu adanya, bukan sekadar perasaan Iris.

Senandung Iris menjadi backsound yang tidak begitu menyenangkan selama perjalanan pulang. Jangan lupakan suara tidak stabil karena tubuh kecil Iris yang terlonjak-lonjak begitu melewati polisi tidur. Meski begitu, Iris tak pernah kehilangan rasa percaya dirinya walau hanya sesenti. Suara cempreng seadanya itu memecah kepadatan jalanan di tengah seruan klakson yang bersahutan.

Angin sore yang bercampur dengan berjuta polutan di udara menerbangkan rambut hitam lurus Iris yang sebahu. Tak peduli dengan poni yang menusuk mata, Iris justru merasa semakin keren, berlagak layaknya seorang artis yang tengah menjalani rekaman untuk video musiknya. Seiring ketukan, Iris tak henti mengayunkan badannya ke kanan-kiri, membuat sepeda berkali-kali oleng. Untunglah Juno sudah terbiasa dengan keributan dan sensasi membonceng Iris yang tak pernah berlangsung dengan tenang.

Decakan singkat meluncur dari bibir Juno. "Bisa-bisanya, suka sama makhluk beginian."

"Oh! Juno bilang sesuatu?" Konser dadakan Iris terhenti sejenak. Iris menyembulkan kepala di balik bahu Juno yang sejajar dengan dahi Iris. Gadis itu mencondongkan tubuhnya ke arah Juno, berusaha mendengar di tengah bising lalu lintas.

Tanpa bisa dikendalikan, posisi itu malah menyuntikkan listrik berjuta voltase ke setiap sel darah yang bersirkulasi di tubuh Juno. Terlalu dekat! Juno bergidik, berusaha mengabaikan rasa geli yang menjalar di telinganya karena bersentuhan dengan rambut halus Iris. Juno menggeleng. "Enggak."

Di perempatan Jalan Ahmad Yani, Juno berbelok tajam ke kiri. Mendapati manuver yang membuat jantung serasa copot itu malah membuat Iris terkikik kegirangan."Asyik! Lagi, lagi!"

Sial. Tadi itu, Juno tak sengaja. Setidaknya, dengan belokan tajam barusan, Iris sudah kembali duduk normal. Gila! Berada di dekat Iris lebih lama lagi hanya akan membuat Juno tidak waras dan berakhir di rumah sakit jiwa!

Sesaat, sepeda terasa oleng. Juno meringis, lelah batin. Apa lagi yang dilakukan anak itu?

Di jok belakang, Iris berdiri pada dua pijakan kaki di pinggiran sepeda. Tangannya menjadikan bahu Juno sebagai tumpuan sekaligus pegangan. Lagi-lagi, anak itu malah tergelak heboh, menikmati sensasi jadi orang tinggi, walau sesaat. Ringan sekali tawa Iris, sampai tak menyadari ada rasa yang sukses diobrak-abrik karena ulahnya.

•   🦁   🐧   🐻   •

Di bawah kaki langit, mentari mengerahkan tentara jingganya untuk mewarnai kanvas angkasa senja. Mega jingga berarak di bumantara, menyampaikan salam perpisahan sebelum benar-benar ditelan garis cakrawala. Lambaian tangan Iris hanya dibalas Juno dengan dehaman singkat. Juno mengembuskan napasnya berat. Untuk apa melambai sambil mengatakan sampai jumpa? Anak itu bahkan belum juga menyingkir dari kepalanya.

Juno berjalan pelan, menuntun sepeda merahnya ke garasi rumah. Sehabis menyimpan helm di rak, Juno meregangkan otot pundaknya yang terasa kebas. Juno masuk rumah. Di dapur dekat tangga menuju kamarnya, Mega, mamanya Juno, tampak sedang asyik menyiapkan sesuatu. Demi mendapati anak semata wayangnya sudah pulang dari sekolah, Mega menyapa, "Hai, Jun. Sekolahnya gimana?"

"Enggak ada masalah, Ma," sahut Juno dengan ibu jari yang teracung. Meski begitu, Juno tak menghentikan langkahnya, terus menaiki anak tangga menuju kamar. Jangan lupakan kedua kelopak matanya yang lengket sekali, sulit dibuka. Untung Juno tidak terantuk tangga atau kakinya sendiri. Terserahlah. Juno sepertinya butuh tidur barang sejenak, tetapi ini sudah sore, Mega tidak akan membiarkannya.

Tak tahan! Setelah menyimpan tasnya sembarangan, Juno langsung mengempaskan badannya ke atas kasur. Nyaman. Matanya sempurna terpejam. Tampaknya, beberapa detik lagi, alam mimpi akan merengkuhnya erat.

Akan tetapi, jiwa Juno mendadak saja seolah ditarik paksa oleh entitas tak dikenal. Dengan keadaan kepala yang terasa berputar-putar kliyengan, kedua mata Juno dibukakan paksa.

"Juno, bangun! Seblak Kedai DoDi ada diskon, khusus malam ini!"

Di alam bawah sadarnya, Juno mendapati gerbang perbatasan menuju dunia mimpi terlihat semakin jauh dari gapaiannya. Juno terperanjat bangun. Bukan main! Anak itu benar-benar membentangkan kedua kelopak mata Juno. Dibukakan secara harfiah! Selain rasa kantuknya yang dipermainkan, Juno juga merasa mata berukuran minimalisnya mulai perih karena disangga dua jari kecil Iris.

"Yuk, cepat!" Tanpa perasaan atau sedikit pun pengertian, Iris tahu-tahu menarik lengan Juno sekuat tenaga.

Juno yang masih berada dalam keadaan setengah sadar, seketika hanya bisa mengerang tertahan ketika tarikan Iris membuatnya terjatuh dari kasur. Tanpa bisa dihindari, pipi Juno tertabok lantai dengan mantap. Pendaratan yang keren. Kini, muka Juno persis berada di bawah, sementara perutnya menggantung di pinggiran kasur.

Begitu mendengar seruan tertahan Juno, Iris pun berbalik untuk memastikan. Pelaku dari kecelakaan itu langsung melepaskan cengkeramannya pada lengan Juno, lantas menutup mulutnya, kaget, polos sekali. "Juno? Tak apa?"

"Apa banget, Ris," sahut Juno. Dengan muka datar yang tampak sudah sangat pasrah dan dituntut untuk terbiasa atas penyiksaan begini, Juno pun mencengkeram kaki meja. Gaya yang dihasilkan dari tangan Juno berhasil menarik kakinya yang masih berada di kasur, untuk ikut terjun bebas ke lantai.

Buru-buru, Iris menyodorkan tangannya untuk dijadikan penyangga bagi Juno bangkit berdiri. Akan tetapi, Juno memalingkan muka. Cukup. Menghadapi Iris hanya akan membuat Juno semakin tak berdaya untuk menolak. Eksistensi Iris ini toksik banget, enggak, sih? Enggak sehat! Juno sebal karena Iris selalu sukses membungkamnya.

Belum juga apa-apa, Iris sudah kembali bersuara. "Yuk. Seblak, yuk!"

"Kamu enggak suka pedas, 'kan?"

"Ih. Enggak apa! Belinya yang level nol, kuahnya buat Juno semua, deh! Yuk, diskon!" Padahal belum ada sepatah kata pun yang Juno lontarkan sebagai kesepakatan, tetapi Iris sudah aktif sekali loncat-loncat kegirangan. "Oh! Kalau Juno takut Iris sakit perut terus mencret kayak minggu lalu, belikan Iris mi ayam atau batagor juga enggak apa, kok."

"Aku yang enggak 'enggak apa'-nya, Iris," timpal Juno, dengan seutas senyuman yang sarat akan kesabaran tiada batas.

"Jun!" Panggilan Mega dari lantai bawah mengalihkan perhatian keduanya. "Sini, deh, Jun! Antar ini ke Iris, dong."

Baru juga Juno membukakan daun pintu kamar, ternyata mamanya sudah persis di depan sana, dengan dua kotak plastik di tangannya.

"Eh, ada Iris-nya di sini, ternyata? Sejak kapan? Mama enggak tahu kapan kamu masuk, Ris."

Rentetan kalimat heran Mega yang diiringi kernyitan kening membuat Iris cekikikan geli, merasa terhibur dengan ekspresi Mega. Jempol Iris menunjuk jendela kamar Juno yang terbuka dan persis berhadapan dengan balkon kamar lantai dua di rumah sebelahnya. "Biasalah, Ma."

"Lewat balkon lagi? Astaga, Ris! Kamu mau seberapa jauh mengembangkan bakat sebagai seekor Anthropoidea?" Meski bermaksud protes keberatan terhadap kebiasaan Iris, Juno mengangkat sebelah alisnya, tampak puas sekali dapat menyebutkan sesuatu yang terdengar ilmiah.

"Jangan sombong, ya. Juno juga tahu kata itu dari Iris, kemarin, waktu belajar soal kingdom animalia, 'kan!" Iris merengut sebal. "Mama, Juno ngatain Iris kera!"

"Hus, Juno! Enggak baik!"

Juno berdecak muak. "Ngadu terus."

"Sudah, sudah. Nih, Ris. Mama bikin buat kamu," ujar Mega seraya menyodorkan dua kotak makanan di tangannya, bermaksud menghentikan peperangan yang siap meletus.

Iris menerima pemberian Mega dengan mulut yang mangap lebar. Manik cokelat terangnya terus melirik kedua kotak tersebut bergantian. "Setup roti dan puding mangga! Mama Mega, baik banget!"

Di tengah isak haru Iris yang begitu mendramatisasi suasana, Juno merotasikan bola matanya, julid. "Sip, enggak usah ke Kedai DoDi, ya."

"Tetap harus! Iris habisin ini dulu, ya." Sebagai penghormatan terakhir agar Mega tak kapok untuk memberinya pakan, Iris pun mengangguk, minta izin.

Di bingkai pintu kamar, Mega menghentikan langkahnya yang sudah bersiap menuju dapur untuk sesaat. Tawa renyah mengalun dari mulut Mega. "Yah ... sebenarnya itu untuk dimakan Iris sama Bunda, sih. Tapi ya sudah, deh. Habiskan saja."

"Yeaa!" Iris memekik riang dengan mengacungkan dua kotak pemberian Mega di tangannya, seolah tengah berselebrasi. "Jangan bilang-bilang Bunda, ya, Ma. Nanti Iris ditagih terus-terusan."

Mega mengacungkan jempol, tak keberatan. Biasanya, yang mulutnya bocor itu Iris, kok. Lihat saja. Iris yang minta orang lain untuk merahasiakannya, tetapi nanti malah anak itu sendiri yang membongkar semuanya. Mega terkekeh pelan demi mengingat kebiasaan kecil Iris sejak kecil itu. Detik berikutnya, wanita berusia menjelang empat puluh tahun itu sudah menghilang di balik dinding.

Juno mendesah pasrah. Tidak mungkin dirinya menghabiskan waktu untuk menonton seekor penguin kelaparan yang tengah menyantap pakannya, 'kan? Mari kita nantikan saja. Makanan dari Mega berukuran cukup besar. Seharusnya, Iris tak tahan dan hanya akan berakhir dengan memegangi perut buncitnya, kekenyangan. Juno menguap untuk kesekian kalinya, hari ini. "Oke. Bilang saja kalau mau berangkat. Aku rebahan dulu, ya."

Senyuman licik diam-diam terulas di muka Juno. Rasakan! Iris pasti tidak akan mampu meski untuk sekadar bangkit, habis ini. Rencana memburu diskon di Kedai DoDi pastilah batal!

Juno menepuk-nepuk bantalnya dengan puas. Lelaki itu sibuk mencari posisi paling nyaman untuk meneruskan perjalanan menuju alam mimpi yang sempat tertunda. Akan tetapi, baru saja Juno menyapa kembali tour guide di alam bawah sadarnya, tiba-tiba awan terbang yang ditumpanginya menjadi oleng. Juno merasakan pundaknya diguncangkan berkali-kali.

Dengan berjuta keki setengah mati, Juno pun kembali membuka mata. Tampaklah Iris yang sudah bersendawa dan meletakkan dua kotak kosong di bawah meja. "Yuk, seblak, Jun!"

Demi proposal OSIS yang Juno kerjakan hingga begadang semalaman! Punya dosa apa Juno di masa lalu, sehingga terus berhadapan dengan makhluk ini? Tidak, tidak. Bukan penguin kelaparan. Ini, sih, penguin kakus yang rakus!

•   🦁   🐧   🐻   •

Hai hai, halo! Ketemu lagi! Kayaknya ini akan jadi chapter terpendek, wkwkw. Asli. Aku ngebet nulis minggu kemarin (buat tabungan), dan pas dibaca ulang ternyata berasa cringe, ga jelas:( WKWKW. Terus, ini mendadak ada niatan selingkuh naskah .... /pulang.

CANDA! HAHAH. Enggaklah. Pertama, aku setia pada anaknya. Kedua, ide PHA (Perusak Hubungan Author) ini lebih berat dan butuh riset:( JADI, aku tetep prioritaskan Iris-Juno, bismillah!

Maap curhat, dadah!
See u next page!>.<

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro