🚀Melodi Sepi untuk Pergi dan Menepi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pernahkah kamu membayangkan seorang lelaki nolep yang tidak memiliki minat khusus di bidang seni musik, mendadak saja membuat keputusan besar untuk ikut berpartisipasi dalam menampilkan sebuah lagu?

Biarlah gerimis manis yang turun sedikit demi sedikit hingga menjeda pertandingan futsal di hari kedua Persatas Day ini, membisikkanmu suatu informasi yang tidak penting dan tiada faedahnya: Anak lelaki itu adalah Juno. Sampai saat ini, yang mengetahui kejutan tersebut hanyalah Iris, anak OSIS, dan teman sekelasnya yang sempat mendapati Juno berangkat sekolah dengan membawa gitar.

Sesuai dugaan, kernyitan kening tak percaya bermunculan. Ya ... siapa, sih, yang tertarik mendengar suara Juno? Iris saja yang tampaknya tak memikirkan kerusakan dan timbulnya polusi suara sebagai dampak dari penampilan Juno. Meski begitu, tidak ada yang terlalu memedulikannya sampai bertanya ini-itu, kecuali Alfa.

Di tengah hari, sebelum digelarnya pertandingan final antara XI MIPA-3 dan XI MIPA-4, Juno undur diri dari belakang panggung, lalu berlarian ke dalam kelas. Menurut jadwal, penampilan Juno tepat setelah ini. Iris baru menyelesaikan lagunya, dilanjut dengan Alfis. Juno harus segera bersiap. Alfa yang baru selesai bertanding di semifinal dengan XI MIPA-4 pun menghampiri Juno dengan kedua alis terangkat.

"Demi apa, sih? Juno mau tampil? Motivasinya dari apa, Kakak?"

Cengiran tengil Alfa malah membuat Juno jadi emosi. Sesaat, Juno mengecek suara gitarnya sambil menyesuaikan kunci sesekali. Jangan salah. Sebagai anak yang ingin dicap keren juga dulunya, Juno pernah berlatih gitar secara autodidak. Bukan sekali dua kali ia menjadi pengiring musik bagi Iris yang suka menyanyi di sana-sini. Juno mendengkus, sebal karena Alfa tak kunjung menyingkir dari hadapan. "Ada janji ke Iris. Janji adalah janji, 'kan?"

"Bucin adalah bucin," beo Alfa, malah meledek. Anak itu tergelak kencang. Seolah aksinya untuk menyalurkan tawa itu masihlah kurang, tangan Alfa pun totalitas menggebrak meja. "Jadi mau sekalian kasih kode, nih? Lagu apa, Bang? Treat You Better-nya Shawn Mendes?"

Juno lebih memilih untuk tak menanggapi pertanyaan Alfa.

Akan tetapi, anak itu malah makin kurang ajar. Diraihnya sapu dari pojokan kelas. Tanpa peduli muka keruh Juno, dengan santainya, Alfa naik ke atas bangku, lantas berlagak memerankan Juno yang sedang berada di atas panggung. "I know I can treat you better, than he can. And any girl like you deserve a gentleman. Tell me why are we wasting time and all your wasted crying, when you should be with me instead? I know I can treat you better ... better than he can!"

Detik berikutnya, Juno memutuskan bangkit untuk menyumpal mulut Alfa yang suaranya sudah seperti cicak berak. Sangat memaksakan diri. Juno melotot. "Enggak, lah! Aku enggak senarsis itu buat ngerasa bakalan lebih baik dibandingkan Kak Gamma."

Mendapati Juno yang melangkah menjauh, Alfa pun meloncat turun dari bangku. Oh, jangan lupakan bibir bawahnya yang dimonyongkan dalam maksud mencibir habis-habisan itu. "Padahal aku enggak nyebut kalau lagunya itu ditujuin buat hubungan Iris sama Kak Gamma, lho. Kelihatan banget. Si Bucin baperan, ih."

Dengan keringat dingin yang membanjiri dahi dan telapak tangan, akhirnya nama Juno dipanggil teman OSIS-nya yang berperan sebagai Master of Ceremony selama berlangsungnya acara. Setelah mengembuskan napas berat, Juno memberanikan diri untuk melangkah mantap ke atas panggung. Karena tidak dibutuhkan sebagai musik pengiring, para member Hexatas Voice termasuk Alfis pun menyingkir dan beristirahat sejenak.

Perlahan, Juno mengempaskan badannya ke kursi plastik yang disediakan di sentral panggung. Panitia menyiapkan stand mic di hadapan Juno, sementara lelaki itu sibuk mengecek petikan gitarnya terlebih dahulu. Oke, sip. "Tes, tes."

Setelah memastikan mikrofonnya juga sesuai, Juno pun berdeham singkat, bermaksud mengusir gugup. Pandangan netra hitam legam itu tak henti beredar ke sekitar, mencari sosok menyebalkan yang selalu memenuhi kepalanya. Namun, tidak ada. Kedua alisnya mengerut. Ya sudahlah. Malah ... lebih baik begitu, 'kan?"

"Lagu ini untuk mewakili kamu-kamu yang mungkin tak pernah sanggup membahasakan rasa. Terjebak dalam labirin hubungan yang tak mampu kau temukan penghujung kisahnya." Juno membiarkan kurva senyuman terulas di kedua sudut bibirnya sebelum lagu itu dimulainya. Detik berikutnya, jari Juno memetik senar gitar dengan lembut. "Hey, it's been years. We've been friends for so long but there's something you don't know. Something inside me that I've been keeping for quite some time now."

Beberapa perhatian mulai kembali terpusat ke atas panggung. Satu-dua kepala terjulur, penasaran untuk memastikan siapa yang tengah bernyanyi saat ini. Anak-anak Persatas yang sedang rempong memilih jajanan bazar pun sampai melongo sejenak. Pasalnya, selain anak Hexatas Voice, jarang sekali ada anak laki-laki yang mau tampil. Biasanya hanya beatbox ... ini menyanyi, lho!

"I'm too afraid to say it out loud, cause it might change the way we are. But if I keep this to myself I know that it's no good so." Dengan raut muka serius, Juno mulai menaikkan tensi permainan gitarnya. "I'm just gonna wing it I'm not gonna keep it to myself. So listen up and hear me cause I'm only gonna say it once."

Sesekali, Juno membiarkan matanya melakukan analisis untuk memindai kerumunan di sekitar lapangan. Tidak ada ... sungguhan? Ke mana anak itu?

Meski ada sedikit penyesalan yang menggelayut dari pelupuk matanya, Juno terus bernyanyi. "I want to wake up next to you. I want to spend all my life with you and you alone. I want to be the one that you can lean on for the rest of your life. Side by side, build our own little castle, until we both grow old." Juno menggeleng sekilas untuk menahan fokusnya agar tidak kabur ke mana-mana. "Just like they say, until death do us part."

Setengah jalannya lagu berlalu begitu hambar di lidah dan ujung jari Juno. Anak laki-laki itu muram tanpa alasan. Namun, semesta seakan tak mau hanya tinggal diam. Detik berikutnya, sudut mata Juno menangkap eksistensi seorang anak perempuan bertubuh cebol yang sedang susah payah menaiki dinding pembatas koridor di dekat Kedai Hungry Potter, stan bazar kelas XI MIPA-5, yang lumayan tinggi.

Di luar kendali dan kesadarannya, pupil mata Juno melebar seketika. Penampilannya sudah berlangsung sejak tadi, tetapi kenapa degup jantung Juno baru terasa memburu sekarang? Ya ampun. Jangan sampai Juno malah pingsan duluan. "Hey, it's been years. We've been friends for so long but there's something you won't know. Something inside me that I've been keeping for quite some time now."

Senyuman yang terkembang tanpa sadar itu langsung memudar begitu mendapati Iris menggenggam sekotak susu stroberi, juga ... uluran tangan panjang lelaki lain yang memastikan Iris tidak jatuh atau salah memilih pijakan. Bahu Juno mengendur. Tatapan matanya tak lepas dari Iris dan Gamma yang sedang menontoninya dari kejauhan.

"I'm too afraid to say it out loud, and now it's all too late. I keep it all to myself and now ...." Petikan Juno tambah kasar, sementara Iris di pinggir lapangan sana heboh sekali menikmati suasana seraya mengacungkan susu stroberinya, menyemangati Juno. Tentu saja! Tak perlu ditanya, Juno jadi tambah bersemangat ... atau hanya menggebu karena ledakan emosi? "You chose to be with him. And I'm just your best friend. Oh I'm just a best friend."

Tidak. Iris tidak bodoh untuk mengetahui makna dari lagu tersebut. Akan tetapi, yang menghambat kepekaan itu adalah pola pikirnya yang menganggap Juno memilih lagu Until Death do Us Apart-nya Chris Andrian tanpa maksud tertentu. Hanya karena lagunya enak dan Juno suka memainkannya ... bukan untuk mengisahkan ulang cerita di antara mereka. Iya, 'kan?

"Now you wake up next to him, and you spend all your life with him and him alone. You chose him to be the one you can lean on for the rest of your life. Side by side, build your own little castle, until you both grow old."

Genjrengan gitar Juno yang tadinya begitu bernafsu dan menggembor-gembor penuh semangat itu, kini terhenti. Pikiran Juno sibuk mengembara. Suatu embusan napas berat menyapa mikrofon, menambah kesan penyesalan sekaligus kekecewaan di wajah Juno. Lelaki itu melanjutkan permainannya. "But I'll stick by your side. Just as a best friend. I'll just be your best friend ... until death do us part."

https://www.youtube.com/watch?v=TkOjWGtEDJ0


•   🦁   🐧   🐻   •

Setelah penampilannya selesai, tanpa ada lagi lengkungan senyuman seperti di awal, Juno langsung turun dan kembali ke pekerjaannya di belakang panggung. Beberapa anak OSIS yang termasuk ke dalam seksi acara langsung heboh menyoraki. Beberapa memuji sekaligus takjub karena tak pernah menyangka bahwa anak lelaki yang selalu tampak suram itu memiliki suara dan skill gitar yang lumayan juga.

Meski dipuji beberapa kali, Juno merasa tak punya energi untuk sekadar menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Heran. Menyebalkan sekali dirinya yang ini.

Acara Persatas Day-2 berlangsung dengan lancar, bahkan hingga pengumuman kejuaraan lomba-lomba sebelumnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Pembagian hadiah dan sesi dokumentasi pun sudah selesai. Mayoritas siswa memutuskan untuk langsung pulang, sementara anggota OSIS masih di tempat, juga anak kelas sebelas yang masih sibuk membereskan stan bazar sambil menghitung laba penjualan.

Juno meregangkan pundaknya. Lelaki itu duduk bersandar di penyangga panggung, lalu meneguk sebotol air mineral yang dibelinya dari food court beberapa saat lalu. Ada istirahat sejenak sebelum bertarung dengan kekacauan sisa acara, juga evaluasi bersama anak OSIS lainnya.

Di tengah rehatnya tersebut, Juno mendapati Iris yang sedang duduk sendirian di dining pembatas koridor kelas dengan lapangan. Kakinya menendang-nendang udara, seolah sedang membunuh waktu untuk menunggu.

Tanpa perlu pikir panjang, Juno berinisiatif menghampiri. "Ris!"

"Ah, Juno!" pekik Iris penuh antusias begitu menyadari panggilan Juno. Anak itu bangkit berdiri. "Juno tadi keren banget! Mana yang katanya enggak bisa? Besok-besok masuk Hexatas Voice sama Alfis, deh!"

Juno terkekeh, lantas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Salah tingkah ... sial! Kenapa Juno malu sekaligus kelewat senang begini? Padahal hanya satu pujian, dibandingkan sambutan meriah teman-teman OSIS-nya tadi. Seketika, Juno lupa bahwa beberapa saat lalu, mood Juno anjlok karena makhluk menyebalkan di hadapannya ini. "Enggak gitu ... oh, ya, Ris. Kayaknya aku nggak bisa pulang bareng kamu, deh. Sekarang mau ada rapat OSIS buat evaluasi acara Persatas Day yang ...."

Binar di netra cokelat terang itu mendadak padam, seolah ada tangan jahil yang mematikan sakelarnya. Tanpa merasa perlu menunggu kalimat Juno tuntas, Iris langsung menyambar, "Oh, enggak apa-apa. Enggak usah. Mau sama Gammy, kok."

•   🦁   🐧   🐻   •

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro