🚀Ruang; Ancang-ancang untuk Menghilang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ruwet. Mumet. Semrawut. Sejak Pak Prana menjelaskan materi logaritma hingga bel istirahat berbunyi, tak sekali pun Juno mengalihkan perhatiannya dari buku tulis. Bukan sedang berusaha mencerna pelajaran Matematika Peminatan, ataupun mati-matian menghafal materi untuk ulangan harian Biologi nanti. Tidak. Juno tidak serajin itu.

Sampai Alfa kembali dari food court di jam istirahat ini, Juno masih bergeming di bangkunya. Juno hanya menggambar benang kusut raksasa di halaman belakang buku secara asal. Gerakan tangannya tidak berhenti walau hanya sebentar, sampai-sampai, seisi halaman itu nyaris dipenuhi oleh tinta hitam saja. Dengan seplastik batagor berbonus pangsit di tangan, Alfa menggeret kursi di sebelah Juno, lantas bergidik ngeri mendapati tatapan kosong Juno.

"Kalau cuma pengen habisin tinta aja, mending kasih aku pulpennya, deh." Itu suara Luisa dari bangku depan. Atensi kedua manik mata Luisa masih terfokus pada pacar-pacar halu-nya di layar ponsel, tetapi siapa pun pasti mengetahui kalimatnya mengarah pada siapa. "Jangan boros-boros unfaedah. Ingat. Ada spesies kayak SAMFAHreza Alfarez yang hanya mampu memungut pulpen orang di kolong bangku setiap harinya."

Tak ada balasan dari Juno. Meski begitu, dunia Juno mulai terdistraksi dan memberikan celah untuk Juno tersadar. Juno menggeleng-gelengkan kepala, lalu menyimpan pulpennya ke tempat pensil.

Sejenak, Luisa menoleh hanya untuk mendapati wajah masam nan kusut Juno. Luisa berlagak tak peduli, kembali asyik dengan aksi fangirling-nya. Terdengar pertanyaan hambar yang lolos dari bibirnya. "Tumben enggak ke Iris?"

Juno yang sedang menutup bukunya mendadak merasa tremor tak keruan. Apa, sih? Juno memalingkan muka ke jendela di samping kanannya. Apa urusan Juno?

"Oh!" Mendadak, Alfa menjentikkan jari dengan semangat, seakan baru teringat sesuatu. "Aku barusan ketemu Iris di koridor, deh. Dia habis beli susu kotak stroberi. Tapi kayak dilabrak Kak Selena?"

Kalimat Alfa yang terkesan tak yakin itu membuat Juno tertarik, langsung menolehkan kepalanya kepada Alfa kembali. "Dilabrak?" Tidak mengherankan! Semua anak tahu kalau Selena memang dekat dengan Gamma sejak awal. Bukan hal aneh kalau kakak kelas itu merasa tersisihkan atas kehadiran Iris, 'kan?

"Iya. Enggak yakin juga, sih. Ada Kak Bianca juga soalnya, anteknya Kak Selena yang suka pakai cat kuku itu. Kayak ramai aja gitu, bertiga, di koridor dekat food court. Ya orang-orang juga merhatiin, lah."

Pemaparan Alfa diakhiri dengan suara meja yang digebrak tanpa sengaja. Juno bangkit dari duduknya.

Baru sampai langkah Juno di bingkai pintu, Alfa kembali bersuara. "Oh, lupa. Kenapa aku harus cerita ke JAMBU, Jalma Bucin satu ini?" Alfa tertawa hambar, tampak bermaksud mempermainkan Juno. Di balik punggung Juno yang menjauh, Alfa mengusap telapak tangannya diiringi seringaian licik. Lidahnya keluar dari rongga mulut. Yak! Alfa selalu suka bumbu-bumbu drama dalam kehidupan orang di sekitarnya.

Di sisi lain, Juno benar-benar menuju lorong yang diceritakan Alfa. Benar saja. Sudut mata Juno menangkap presensi anak kecil dengan kotak susu stroberi di tangan. Sosok mini itu baru terlihat ketika dua perempuan di hadapannya menyingkir, entah ke mana. Ah, yang barusan itu Selena dan Bianca! Dengan langkah tergesa, Juno menarik pergelangan tangan Iris yang kini tengah berdiri sendiri di koridor.

Diperlakukan tanpa permisi begitu membuat Iris kaget dan hanya mampu terseret-seret mengikuti Juno. "Juno? Apa, deh? Enggak usah berharap bakal Iris kasih susu stroberinya, ya!"

Karena Iris yang mulai berontak, Juno pun melepas cengkeramannya, lantas menatap Iris dengan mata yang nyaris keluar dari tempatnya. Lihatlah bocah di hadapannya ini! Setelah dilabrak begitu, Iris malah lebih mempermasalahkan keselamatan susu stroberinya? Ayolah! Ada yang lebih penting dari itu. "Ris! Kamu udah diapain kakak kelas tadi?"

Iris menusukkan sedotannya ke susu kotak di genggaman, lantas menyeruputnya sejenak. Netra cokelat terangnya mengarah pada sudut kanan, tampak berpikir. "Uhm, tadi Kak Bianca itu ngomong-ngomong soal Gammy, cecunguk, KTP, ingus ... gitu-gitu, deh! Terus Kak Sel datang, ngusir Kak Bianca."

"Ngusir?" Juno melayangkan tatapan menyelidik, bermaksud tak mengindahkan rangkuman poin-poin pembicaraan Bianca dari bibir Iris yang terdengar absurd. Untuk apa Bianca mention KTP dan ingus pada Iris? Meski begitu, setidaknya Juno yakin bahwa kalimat Iris selalu apa adanya. Hanya saja, pola pikir Iris yang tak terjamah rasonalitas Juno-lah yang selama ini membuat Juno terus-terusan mengernyitkan kening setiap kali mendengar cerita Iris.

"Iya, ngusir!" Iris mengangguk-angguk antusias, lantas menyedot kembali susu sroberinya. "Keren, tahu! Kak Sel pasang badan di depan Iris, terus ngomong, 'kok beraninya ngelabrak adik kelas, sih?', sampai Kak Bianca enggak ngomong apa-apa, terus pergi gitu aja! Kok bisa, ya? Kayaknya, Kak Sel itu punya laser penghipnotis di matanya yang bisa bikin siapa pun nurut, deh!"

Oh, please. Ini bukan cerita superhero yang bisa dia kagumi sampai segitunya, tahu! Setiap anak Persatas juga tahu, kalau Bianca itu sudah jadi sahabatnya Selena, selain Gamma. Juno tahu! Belakangan ini, persahabatan Gamma dan Selena sedang berada di ujung tanduk, dan itu meledak sempurna ketika Gamma malah menjalin hubungan dengan Iris.

Bukan hal aneh kalau Bianca bermaksud mewakili Selena untuk memperingatkan Iris soal posisinya, 'kan? Pola labrak-melabrak ini sudah sangat klise di novel-novel remaja murahan, 'kan?

Lupakan soal reaksi Iris yang menyebalkan di mata Juno! Lelaki itu mengembuskan napasnya berat, berusaha memasok oksigen sekaligus stok kesabaran dalam dirinya. "Ris, aku kasih tahu, ya. Hati-hati! Kak Selena belum tentu bermaksud melindungi kamu. Kamu tahu, kan, siapa Kak Selena? Dia merasa terancam sama kehadiran Iris!"

"Lho, apa? Kehadiran? Masa Iris harus bolos, sih?" Iris malah menangkap maksud yang lain. "Juno enggak usah nuduh-nuduh gitu, deh! Orang jelas-jelas Kak Sel bela Iris. Apanya yang hati-hati?"

"Ris, yang namanya pikiran manusia itu kompleks. Banget. Perilaku seseorang, enggak selamanya sesederhana yang Iris kira."

"Dan enggak selamanya Juno bisa asal ngomong gitu soal seseorang. Pemikiran manusia itu kompleks, 'kan? Gimana Juno bisa paham terus menghakimi seenaknya begitu?" timpal Iris, tak mau kalah.

Juno memalingkan pandangannya ke sembarang arah. Aduh. Terserahlah. Juno hanya berkata berdasarkan feeling dan cocoklogi semata. Tanpa bukti valid dan fakta yang akurat, Juno sama saja pembohong andal yang penuh omong kosong, 'kan? Ya sudahlah. Tidak ada gunanya.

Kenapa juga Juno harus berlagak peduli? Iris dilabrak ... ya sudah. Itu urusan Iris, 'kan? Kalau ada sesuatu, Iris punya Gamma yang jelas-jelas statusnya berpengaruh besar di hidup Iris. Kenapa harus Juno yang repot-repot?

Sayangnya, Juno tak mampu mengendalikan diri untuk bertingkah seolah semua tentang Iris bukanlah urusannya.

•   🦁   🐧   🐻   •

"Besok jadwal dia olahraga, 'kan? Gas aja, tuh!"

"Iya juga. Lagian udah siap. Tinggal pasang aja, enggak, sih?"

"Seperti yang diharapkan dari anak orang kaya yang paham gadget, ya."

Perbincangan yang diakhiri dengan gelak itu membuat Juno mengepalkan tangan. Bel pulang berbunyi sejak dua menit lalu. Juno sudah bersiap pulang. Akan tetapi, di tengah perjalanannya menuju kelas Iris yang di ujung koridor lantai dua, langkah Juno lebih dulu dihentikan oleh suara kasak-kusuk antara Selena dan Bianca di anak tangga yang lebih dekat dengan kelas Juno.

Mereka merencanakan sesuatu yang buruk untuk Iris ... sejak awal juga sudah jelas, 'kan?

Dengan langkah tidak kalem, Juno kembali meneruskan langkah ke arah berseberangan dari Selena dan Bianca. Tanpa memberikan perhatian lebih pada sekitar jalan yang dilaluinya, Juno malah menabrak Alfa yang lari-lari hendak ke bawah. Sesaat, keduanya mempertahankan posisi masing-masing supaya tidak jatuh.

Alfa terjengkang dua langkah, mengaduh kaget, lantas melotot pada Juno. "Ah, spesies bucin satu ini. Mau ke mana? Kelas Iris?"

"Iyalah, ke mana lagi," timpal Juno sambil memalingkan muka. Entah bagaimana, tetapi setiap kali Juno bermaksud menghampiri Iris, selalu saja ada Alfa yang menghambat segalanya. Bikin mood turun saja!

"Astaga, Juno. Kamu masih antar-jemput Iris, di saat anak itu udah punya pacar?" Alfa menggeleng-gelengkan kepalanya, sok bijak, tak peduli dengan air muka Juno yang sudah tampak muak.

Pasti mulai lagi.

"Begini, lho, ya." Alfa menarik napas panjang, bersiap dengan berjuta kalimat manis-manis eek. "Kamu bukan sopir pribadinya Iris. Enggak digaji juga. Kok mau diperbudak Iris, sih? Buka mata, deh! Enggak selamanya hidup kamu, tuh, tentang dia!"

Sebentar ... awalnya Alfa yang habis-habisan menyuruh Juno memperjuangkan Iris, sekarang kenapa Alfa jadi begini, deh? Apa anak itu kesal karena Juno tak kunjung bergerak maju, dan malah keduluan Kak Gamma, sebelumnya? Rempong banget, deh ....

"Padahal, waktu Iris dilabrak tadi, aku sengaja bilang Juno buat ngetes. Tahunya, masih aja positif bucin akut."

Tak peduli dengan ungkapan kebenaran dari Alfa, ataupun kedua bola mata anak futsal itu yang berotasi sebal, Juno langsung saja meninggalkan Alfa. Dari kejauhan, tampak anak perempuan berambut pendek dengan kacamata bulat bertengger di hidung peseknya yang baru saja keluar dari bingkai pintu kelas di ujung koridor.

Di saat jarak antara keduanya tinggal tersisa seperempat jalan, barulah Iris menyadari kedatangan Juno. "Juno!" Iris melambaikan tangan dengan heboh. Tanpa alasan, bocah itu melompat-lompat sampai tas penguin di punggungnya terpaksa ikut terlonjak-lonjak karena energi Iris yang terlalu banyak. "Mau langsung pulang?"

"Iya. Aku enggak ada rapat OSIS hari ini." Juno berusaha mengalihkan perhatiannya dari presensi Iris yang menyilaukan. Lelaki itu pun lebih memilih untuk melayangkan pandangan ke arah Bintang yang tampak keluar kelas sambil menarik-narik tangan Mat. Juno membenarkan posisi tali ransel di pundaknya, dengan pikiran yang berkecamuk. Kalimat Alfa tadi ... apa memang Juno sudah keterlaluan? Ketergantungan pada Iris?

"Lho, enggak ada? Kok gitu?" Kini, Iris berubah loyo. Kedua bahunya turun, membuat anak itu tampak jauh lebih pendek, sekaligus membuat tengkuk Juno tambah pegal karena menunduk semakin dalam. Iris bergumam kecewa. "Padahal aku ada latihan sama Hexatas Voice, buat penampilan di Persatas Day nanti. Juno mau tunggu Iris dulu, 'kan?"

"Kamu bukan sopir pribadinya Iris."

Kalimat menyebalkan Alfa beberapa saat lalu itu mendadak terdengar begitu keras di telinga Juno, seolah ada tangan jahil yang sengaja menaikkan volumenya secara tiba-tiba. Sialan!

Juno mencengkeram tali ranselnya kuat-kuat. Apa ini kode semesta untuk memberikan ruang bagi Juno?

Sebuah jarak ... untuk sekadar mengembalikan kewarasan yang direnggut manusia tidak tahu diri itu.

Juno membuang muka, sebisa mungkin melarikan diri dari tatapan Iris yang menyorotkan pengharapan. "Maaf, Ris. Capek. Udah mau pelaksanaan Persatas Day, aku bakal banyak rapat besok-besok. Jadi, aku pengin istirahat dulu buat hari ini. Aku pulang duluan. Kamu naik angkot atau ojek online aja, ya?"

•   🦁   🐧   🐻   •

Hampir lupa apdet, Ya Allah:')
Hoho! Gimana kata kamu soal keputusan juno?😗
Bau bau anu ga si ... xixixi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro