2 | Harapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Eh, kosek, kosek, menengo kabeh. May wef telpon iki." (Eh bentar, bentar, diam dulu. Istriku telepon ini) *(aslinya My Wife tapi dia ngomong inggrisan jawa gitu)

Hasan segera menyingkir karena teman-temannya malah semakin riuh menonton dangdut. Deretan juri tengah menggoda salah satu peserta yang memang lucu.

"Waalaikum salam, Dek. Ada apa?"

Berbeda dengan tadi yang beringas, Hasan berubah jadi kalem jika menyangkut sang calon istri. Perempuan dambaan umat yang sudah ia khitbah sejak sepuluh tahun lalu.

Sepuluh tahun berlalu. Begitu cepat, bahkan tak terasa dulu ia masih bocah SMA kelas dua, kini sudah punya konter pulsa di sebelah kediaman bapaknya. Tanah milik bapaknya, tapi membangun konter beserta isinya ia modali sendiri. Bertahun-tahun kerja pada orang lain, kini ia punya usaha sendiri.

"Mas kenapa kirim kerudung lagi? Nggak usah repot-repot, Mas."

Hasan tersenyum sambil memejamkan matanya gemas. Sungguh, ia ingin sekali melihat wajah kesal Umah di seberang sana. Sudah dua kali ia melihat wajah kesal yang menggemaskan itu. Merindu ia rasakan, sayang sang kekasih hati sedang ada di pesantren. Sejak ia pinang, gadis itu melanjutkan pendidikan di pesantren. SMP, SMA bahkan hingga kuliah ini. Hanya kadang-kadang ia menjenguk ke pondok saat Jumat tiba. Dan kecanggungan selalu tercipta.

"Nggak papa, Dek, Mas cuma bisa kasih jilbab. Kalau tidak suka, tidak usah dipaksa buat memakainya."

Di seberang sana, Umah jadi tak enak sendiri. Masalahnya Hasan sudah sering memberinya macam-macam; kerudung, gamis, sandal, selusin tali rambut, sepasang kaus kaki, bros jilbab. Padahal sebentar lagi menikah. Memang, barang-barang tersebut terbilang murah. Tapi tetap saja Umah tak enak. Belum juga sah jadi suami.

"Maaf, Mas, bukan itu. Tapi, lain kali nggak usah saja. Terima kasih."

"Iya, sama-sama. Adek kapan wisuda?"

"Oktober kira-kira, Mas."

"Oh, baik."

"Sudah dulu, Mas. Aku mau ke rumah Jenar dulu. Assalamualaikum."

***

Sepuluh tahun ia menjadi pinangan seseorang. Rasanya, biasa saja. Tak ada yang istimewa di malam Jumat nya. Bagi kalangan pondok, malam Jumat bagaikan malam Minggu. Esok hari bisa libur, tidur, atau jalan ke luar pondok. Malamnya diisi dengan acara rujakan, makan mi mentah sama-sama, atau bercerita hingga larut malam.

Perbedaannya hanyalah, ia tak bisa menerima laki-laki lain yang ingin serius dengannya. Ia memang tak mau pacaran, seperti yang ditanamkan orang tuanya. Tidak ada keharusan pacaran, untuk meyakinkan pasangan menuju ikatan pernikahan.

Selain itu, selama kurun waktu ia tumbuh dewasa, perlahan belajar menerima dan mencintai Hasan. Laki-laki yang ia kenal sekilas sebagai guru TPA saat SD dulu. Baru setelah Hasan lulus kuliah, laki-laki itu berani datang ke pondok dan mengajak Umah mengobrol secara langsung.

Seperti yang ia dengar dari orang tuanya, Hasan adalah lelaki santun. Ramah pada orang, giat bekerja, dan sopan. Umah pun melihat sendiri bagaimana malu-malunya Hasan saat pertana kali keduanya bertemu. Duduk di lantai, berhadapan di kantor pondok sambil membawakan nasi rames.

Pemuda itu terlihat pendiam. Seringkali menunduk saat mengobrol. Hal tersebut membuat Umah kagum. Orang tuanya tak salah memilih. Hasan memang orang yang santun. Seperti harapan Umah. Ia mendamba seorang imam yang santun, tegas, dan bisa menghargai perempuan.

"Aku mau pulang sebentara akhir pekan ini."

Jenar yang baru datang membawakan air minum untuk Umah, langsung mengerutkan kening.

"Tumben. Kenapa?"

"Pengen pulang aja. Lama nggak sambang rumah."

"Aku mau dong, kapan-kapan ikut ke rumahmu."

"Boleh. Kapan-kapan aja kalau pulangku lama. Habis ini aku sibuk PPL sama skripsian."

***
يَاعَاشِقَ الْمُصْطَفٰی ، اَبْشِرْ بِنَيْلِ الْمُنٰی
يَاعَاشِقَ الْمُصْطَفٰی ، اَبْشِرْ بِنَيْلِ الْمُنٰی
قَدْرَاقَ گَأْسُ الصَّفَا ، الصَّفَا ، الصَّفَا وَطَابَ وَفْدُ الْهَنَا
قَدْرَاقَ گَأْسُ الصَّفَا ، وَطَابَ وَفْدُ الْهَنَا

نُوْرُالْجَمَالِ بَدَا ، مِنْ وَجْهِ شَمْسِ الْهُدٰی
نُوْرُالْجَمَالِ بَدَا ، مِنْ وَجْهِ شَمْسِ الْهُدٰی ، مِنْ وَجْهِ شَمْسِ الْهُدٰی
نُوْرُالْجَمَالِ بَدَا ، مِنْ وَجْهِ شَمْسِ الْهُدٰی
مَنْ فَضْلُهُ عَمَّنَا
مَنْ فَضْلُهُ عَمَّنَا ، عَمَّنَا ، عَمَّنَا
وَطَابَ وَفْدُ الْهَنَا
قَدْرَاقَ گَأْسُ الصَّفَا ، وَطَابَ وَفْدُ الْهَنَا

يَاعَاشِقَ الْمُصْطَفٰی ، اَبْشِرْ بِنَيْلِ الْمُنٰی
يَاعَاشِقَ الْمُصْطَفٰی ، اَبْشِرْ بِنَيْلِ الْمُنٰی
قَدْرَاقَ گَأْسُ الصَّفَا ، الصَّفَا ، الصَّفَا وَطَابَ وَفْدُ الْهَنَا
قَدْرَاقَ گَأْسُ…

Dendang lagu Ya Assiqol melantun indah diiringi tepukan hadrah dari tangan Hasan dan anak-anak didiknya.

Kegiatan sore harinya adalah melatih hadrah untuk anak-anak TPA. Selain itu ia juga akan latihan dengan grupnya sendiri, agar penampilannya saat manggung diundang hajatan bisa maksimal. Memang seperti itulah pekerjaan sampingan Hasan, yang tetap menjadi bagian dari kegiatan pondok kecil orang tuanya.

Usai, anak-anak segera pamit pulang. Tinggal Hasan sendiri di teras masjid. Ia singkap sarung sampai ke lutut, memperlihatkan celana kolor biru yang ia pakai sampai bawah lutut. Mengambil ponsel, kemudian ia menelepon seseorang.

"Nyapo Bedes mbok jak rene? Aku wegah methuki." (Kenapa Bedes kamu ajak ke sini? Aku nggak mau menemui)

Tepat sebelum ia membalas teleponnya lagi, ada suara yang menyapa.

"Mas Hasan," panggilnya pelan.

Menelan ludah kelu, Hasan menolehkan kepala. Ada calon bidadarinya tengah berdiri sambil menenteng tas di ujung undakan.

Asem! Aku kok pas ora adus sek kimeng. (Aku kok pas belum mandi ini tadi)

________________________

*Ini setting waktunya pas Jenar masih belum prahara dengan Yuda ya. Sekitar sebulanan sebelum insiden ketemu di pameran yang Yuda beli kerudung buat Aini.

*Bedes itu artinya monyet. Tapi biasa dipakek buat nyebut atau ngatain orang. Agak kasar sih sebutan ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro