⭐Chapter 3🌼

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading....
.
.
.
.


"Kenapa, Ra?" tanya Rio bingung karena aku tiba-tiba mengurungkan niat untuk masuk. Ah, aku benar-benar tak suka berada di sini.

"Teratai! Rio!" teriak Kinar sambil melambaikan tangan dengan kehebohan khasnya. "Ngapain berdiri di situ? Ayo sini!"

Ya ampun! Dasar makhluk tidak peka. Gadis cerewet itu malah berteriak. Padahal aku sudah berencana pergi dari tempat ini.

"Ayo, Ra," desak Rio. Aku dengan bodohnya melanjutkan langkah mendekati panggung, semakin dekat dengan mereka.

"Wih, dua sejoli nih!" Sudah kuduga. Andre langsung berkicau.

"Wait, sejak kapan lo di sini?" tanya Kinar heran. Sepertinya ia memang tak menyadari kehadiran Andre di tengah-tengah mereka.

"Santai, Bos. Nggak usah ngegas." Andre mengedipkan mata pada Kinar, membuat gadis itu bereaksi seperti ingin muntah.

"Eh, kapan lo berdua bikin pengumuman kalo lo berdua udah jadian?" cerocos Andre asal. Ucapannya tentu saja menimbulkan sahut-sahutan dari teman-teman lain.

"Hah? Rio sama Teratai jadian?"

"Sejak kapan, Bro?"

"Wih, mantap. Cinta memang tak memandang fisik, ya."

Aku hanya diam mematung. Kaku. Bibirku seakan terkunci. Sementara Rio tenang walaupun ekspresi wajahnya tak bersahabat.

"Eh, Rio, kok mau sih sama Teratai?" ujar sahabat karib Andre yang tak kuketahui namanya. "Banyak banget cewek cantik di kampus, lo malah milih Teratai. Wajah setengah cowok gitu, haduh!"

"Eh, lo keterlaluan banget, sih!" Kinar spontan berdiri. Wajahnya terlihat penuh amarah.

"Kinar...," lirihku ingin mencoba menenangkannya. Hinaan seperti ini sudah biasa bagiku. Aku sudah mengalaminya sejak dulu. Namun, tidak bagi Kinar. Ia tak pernah bisa menerima hal ini.

"Diam lo, Ra! Lo udah dihina kenapa diam aja?!" sungut Kinar sulit dikendalikan.

"Yang mereka bilang emang bener, kok," balasku dengan suara pelan. Penglihatanku mulai mengabur seiring munculnya butiran bening di mataku. Terbiasa dihina bukan berarti tak sakit hati.

"Lebay banget sih, Nar. Ini cuma bercanda kali," sahut Andre tanpa dosa.

"Stop!" teriak Rio tiba-tiba. Semua orang terdiam seketika, bahkan Kinar kembali duduk tanpa komando. Tetapi mata gadis itu masih menatap Andre dengan sorot penuh kebencian.

"Diam! Gue mau ngomong," tambah Rio. Pria yang sangat jarang berteriak marah itu akhirnya kalah dengan keadaan.

Aku menatap Rio. Merasa sangat bersalah karena ia terbawa dalam masalah ini. Di saat aku menatapnya, ia malah terdiam menatap seseorang. Napasnya naik turun seperti menahan emosi. Aku mengikuti arah pandangnya. Ia menatap gadis di belakang Kinar; Andini. Andini merupakan teman sekelasku.

"Baperan lo semua! Gue kan udah bilang, gue cuma—"

"Stop, Ndre!" Rio lagi-lagi menyela. "Gue udah sering bilang, gue nggak suka sama Teratai!"

Deg!!

Semua orang terdiam. Rio terlihat sangat marah. Ini bukan seperti Rio yang kukenal. Ia telah dikuasai oleh amarahnya. Ya, kurasa ini adalah puncak kekesalan yang selama ini ia pendam.

"Ma-maaf, Yo. Kamu terlibat masalah ini gara-gara aku," ucapku menunduk. Air mata telah membasahi pipiku.

Rio terdengar menghela napas sebelum mengeluarkan suara. "Lo nggak salah, Ra. Ini nggak akan jadi masalah kalau mereka nggak cari gara-gara." Suaranya kembali seperti semula.

Aku mengangkat kepalaku. Menatap Rio yang kembali menghela napas. Pria itu kemudian memandang teman-teman lain. "Andre ... dan lo semua, tolong berhenti jodoh-jodohin gue sama Teratai. Gue nggak suka sama dia. Gue sama Teratai cuma sebatas teman seorganisasi. Kita profesional. Bekerja sama untuk membangun himpunan. Selama ini gue bodo amat, tapi lama-lama gue capek."

Rio menjelaskan panjang lebar. Semua orang masih bergeming. Gedung ini mendadak terasa suram. Rio kemudian melanjutkan, "Gue udah punya pacar, dan orang itu bukan Teratai." Kontan saja semua mata terbelalak mendengar pengakuan Rio. Pria yang tak pernah terlihat dekat dengan gadis mana pun itu ternyata punya pacar? Aku bahkan ikut terkejut. Aku mengusap air mataku, menatap Rio dengan ekspresi tak percaya. "Pacar gue ada di sini. Selama ini dia sabar dengerin gosip dari lo semua. Dia nggak pernah nuntut. Tapi cukup, gue nggak mau dia tersiksa terus."

Semua orang langsung celingak-celinguk mencari siapa gadis yang dimaksud Rio. Namun, tak ada yang tahu. Rasa penasaran menggeluti kami semua. Apa mungkin Andini?

Tiba-tiba Rio naik ke atas panggung. Ia mendekati Kinar. Dan ... bravo! Dugaanku tepat. Ia menghampiri gadis di belakang Kinar. Rio menarik tangan Andini hingga gadis itu berdiri dari duduknya. Andini hanya diam seperti orang linglung. "Dia orang yang gue maksud. Jadi, sekarang lo semua berhenti jodoh-jodohin gue sama Teratai."

Pria itu kemudian menatap gadis di sampingnya. "Maaf, ya," ucapnya.

Andini tak menjawab. Hanya memberikan senyuman terbaiknya. Secara tak sadar aku ikut tersenyum. Dugaanku benar lagi. Rio tak mungkin menyukaiku. Ia sering membelaku karena ia memang memiliki hati yang baik. Memangnya pria mana yang akan menyukai gadis sepertiku?

Rio dan Andini turun dari panggung. Mereka berdiri di sampingku. "Satu lagi," ucap Rio serius, "gue punya pacar, tapi bukan berarti lo semua bebas menghina Teratai. Dia teman baik gue."

"Teman baik gue juga!" sahut Kinar. "Kalau aja lo semua mengenal seberapa baiknya Teratai, lo semua nggak bakalan ngehina dia."

"Teman-teman, gue harap semuanya hanya sampai di sini. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Teratai udah diberikan fisik seperti ini oleh Tuhan, itu pasti yang terbaik. Kalian nggak berhak menghina ciptaan Tuhan." Tak ada yang berani membantah ucapan Rio, bahkan Andre sekali pun.

"Walaupun fisiknya nggak sempurna, dia punya otak yang cerdas, dan hati yang bersih." Andini membuka suara untuk pertama kali.

"Teratai memang yang terbaik!" Kinar kembali menyahut heboh.

Tanpa sadar air mataku kembali jatuh. Ah, cengeng sekali. Aku tersentuh, terharu. Tak peduli jika aku akan diejek cengeng atau lebay. Aku benar-benar merasa memiliki teman. Aku tak sendirian di dunia ini.

Suasana mendadak canggung. Orang-orang yang sejak tadi menyaksikan kejadian ini bertahan dalam diam. Tak ada yang membuka suara.

"Ra...," panggil Rio memecah keheningan. Aku menatapnya. "Lain kali kita main bareng, ya. Sama Andini juga. Sekarang kita mau pulang dulu. Males lama-lama di sini," ujarnya seraya mendelik tajam ke arah Andre dan sekutunya.

Aku mengangguk spontan. Sebab aku bingung harus menjawab apa. Andini tersenyum padaku, gadis itu mendekat dan membisikkan sesuatu di telingaku, "Maaf ya, gue nggak pernah ngomong ini ke lo, Ra. Habisnya teman-teman sekelas kita tukang gosip, sih."

Aku tak bisa menahan bibirku untuk tak tersenyum. Andini memang ahli menghibur kawannya. Wajar jika Rio menyukainya. Ia adalah gadis yang mengagumkan.

"Kita pamit ya," ujar Andini kali ini lebih keras. Sekali lagi aku tersenyum pada mereka berdua.

Rio dan Andini kemudian berjalan ke arah pintu gedung. Orang-orang hanya menatap mereka dalam diam. Semuanya mungkin bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Kejadiannya begitu cepat. Aku sendiri pun bingung. Hari ini benar-benar melelahkan. Aku juga harus segera pulang. Entah apa yang akan terjadi jika aku tetap di sini.

Tepat saat Rio dan Andini tiba di pintu gedung, mereka berpapasan dengan Anggun. Anggun tidak sendirian. Ia bersama seorang pria.

Mataku seketika melebar menatap wajah pria di samping Anggun. Tubuh jangkungnya, kulit putihnya, dan wajah kearab-araban itu ... ah, itu si pria mobil putih yang bertemu denganku kemarin. Apa yang dia lakukan di sini?

"Lo semua kenapa pada lihatin gue, sih?" ujar Anggun keheranan. Aku ikut menatap orang-orang di sekitarku. Mereka memang masih fokus menatap Rio dan Andini, yang kini berhadapan dengan Anggun. "Gue nggak tahu apa yang terjadi di sini. Gue cuma mau nganterin tamunya Teratai," lanjut Anggun.

"Aku?" responsku cepat.

"Dia datang ke ruang sekretariat, nyariin lo. Gue muter-muter ternyata lo di sini, mana ditelfon nggak diangkat lagi. Rese lo." Anggun mengeluh kesal. "Udah, ya. Dosen gue udah masuk. Bye!"

Tanpa basa-basi, Anggun langsung pergi begitu saja. Gadis itu memang terkadang bersifat individualis dan tak peduli sekitar. Suasana kembali hening. Tetapi pria yang tak kuketahui namanya itu perlahan mendekati Rio. "Thanks, ya!" ucapnya dengan keras. Seakan-akan ingin semua orang mendengarnya.

"Hah?" Rio terlihat bingung.

"Gue lihat kejadian tadi. Makasih lo udah nunjukin keberanian buat memperkenalkan gadis yang lo sayang, gue juga bakalan ngelakuin hal yang sama." Pria itu tersenyum, sementara Rio masih melongo. Bingung.

Tiba-tiba pria itu menatapku. Tersenyum. Membuatku mematung di tempat. Ia berjalan mendekat ke arahku dengan mantap, hingga akhirnya ia tiba di hadapanku. Dengan senyum manisnya itu, ia meraih tanganku, menggenggamnya. "Ka-kamu...." Aku tak mampu berkata-kata.

"Hai semua, gue pacarnya Teratai!"

Deg!!

"A-apa?" Napasku seperti tertahan. Tak mengerti dengan semua ini. Apa yang ia lakukan? Siapa pria ini? Apakah ia orang yang baru saja keluar dari rumah sakit jiwa?

Aku terlalu terkejut sampai tak memperhatikan ekspresi teman-temanku yang ada di ruangan ini. Bahkan aku tak mendengar suara-suara apa saja yang keluar dari mulut mereka. Satu hal yang pasti dan kuyakini, mereka tak kalah terkejut dariku.

Apakah pria ini waras?

⭐⭐🌼🌼

7 Februari 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro