Flaming Irish Coffee

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Odin berdiri di depan rekan kerjanya, membanting sebuah amplop dengan keras sambil terkekeh. Koleganya, Iswanda, yang tambun dan berambut tipis itu membuka amplop dengan hati-hati. Ia memicingkan mata, menarik isi amplop dengan dua jari seolah di dalamnya adalah barang langka yang rapuh dan sangat berharga.

"Gila kau, Odin, baru setahun bergabung di tempat ini, dirimu sudah menjadi top seller. Kau apakan klien-klienmu itu, huh? Bangsat! Kau pun sekarang jadi bos di Malang," ujar Iswanda tak kalah senangnya. Ia tak berhenti membaca ulang surat pengangkatan koleganya itu.

"Ini patut kita rayakan, Bang!" seru Odin sambil bersedekap. "Nanti malam, di Le Paradiso."

------

Suara merdu penyanyi gaek melantunkan lagu Somewhere Over The Rainbow pun mengalun pelan, terdengar seperti lagu pengantar kematian--kontras dengan suasana perayaan promosi jabatan Odin. Asap rokok mengapung di ruangan gelap, membuat bar itu menyerupai dunia dalam bentuk yang lebih kelam. 

Suara manja dan tawa centil perempuan-perempuan berdandan menor terdengar mendominasi di sudut ruang. Lengan-lengan kurus mereka  mengelayut manja pada leher dua lelaki muda yang tak berhenti tertawa, sementara kesepuluh jarinya mengeriapi  cambang, wajah, dan ... saku, barangkali ada rupiah yang tertinggal di sana. 

Jari-jari Iswanda tak henti-hentinya menelisik tubuh dua perempuan di sisi kanan dan kirinya. Beberapa kali terdengar jeritan manja dan pukulan pada bahu tanpa daya saat mulut Odin menyentuh telinga teman kencannya dan membanjirinya dengan pujian murahan, akibat dari bergelas-gelas Jack Daniel's  berpindah ke perut mereka.

"Ah, I'm gonna miss this. Kota Malang tak seperti Surabaya. Apalah artinya beberapa digit tambahan gajiku jika tak bisa digunakan seperti ini." 

Odin menenggak lagi setengah gelas wiski.

"Tenang, teman. Kau bisa datang kapan saja ke Surabaya jika butuh hiburan. Malang-Surabaya hanya selemparan kolor!" Iswanda terbahak, mengisi lagi gelas kosongnya. "Sekarang kita rayakan dahulu promosimu. Malang urusan belakangan, you'll get over it."

------

Odin melangkah ke lobi sebuah rumah sakit ternama di kota Malang. Bola mata cokelat di bawah alis tebalnya menelisik papan jadwal praktik dokter spesialis. Papan jadwal mendominasi lobi, serupa peta pemain sebuah pertandingan bola. Odin bisa melihat, siapa dokter yang harus dilaluinya sebelum menjebol gawang, memasukkan obat perusahaannya agar dipakai di rumah sakit ini. 

Tidak membutuhkan waktu lama untuk membuat tubuh tegapnya mengambil alih dominasi papan jadwal. Telinganya menangkap kasak-kusuk nakal di meja resepsionis, mengomentari penampakan lelaki yang baru terlihat pertama kali di rumah sakit itu. 

"Selamat siang, Mbak. Dokter Tutut praktik, hari ini? Saya bisa menemuinya di mana?" Odin membius empat perempuan di balik meja resepsionis dengan senyum dan gigi putihnya. Sebenarnya dia tahu dokter kepala itu tidak praktik hari itu. Odin hanya berbasa-basi, melaksanakan protokol standar bagi seorang medical representative.

"Sayangnya, beliau tidak praktik hari ini. Namun, saya bisa membuatkan janji untuk Bapak. Maaf, dengan Bapak siapa ya? Dan keperluannya?" Salah seorang dari mereka tampil, salah satu yang paling senior, bertanya dengan suara setengah manja dan dibuat-buat.

"Saya Odin, perwakilan dari PT. Rajawali Pharmaceutical. Bisa membuat janji untuk bertemu dengan beliau?" Odin melemparkan pandangannya pada empat pasang mata perempuan itu bergantian, masih memamerkan lesung pipitnya.

Perempuan-perempuan lain di sekitarnya serentak mendekat, tersihir oleh pesona Odin. Kala itu pengunjung sedang sepi. Bagi para karyawan yang terlalu sering melihat wajah pucat pasien, kehadiran Odin yang rupawan pun menjadi obat bagi jiwa-jiwa kesepian itu.

"Ehm, Anggita, medikal record pasien yang diminta Dokter Aulia sudah siap? Jangan membuat beliau menunggu. Melisa, laporan tahunan yang diminta tim audit sudah siap? Jangan sampai ada satu pun berkas yang tertinggal. Dan kalian berdua ... bukankah ini jam istirahat? Kenapa kalian masih ada di sini?" 

Suara tegas seorang perempuan membuyarkan cekikikan para resepsionis. Magnet Odin kalah dengan otoritas. Seorang perempuan muncul dengan wajah judes. Odin menegakkan badan, sudut matanya mengeja sebuah nama pada pin berwarna hijau di dada kiri Si Empunya suara tegas. Tia - Suster Kepala.

Odin mundur pelan, sebelum pergi, dia mengedipkan mata pada salah satu resepsionis yang masih tinggal, "Sampai jumpa lagi," bibirnya bergerak tanpa suara. 

------ 

Setengah botol air mineral dan setangkup roti bakar tandas, Odin masih di kantin rumah sakit menguapkan asam mulutnya dengan permen karet. Sebentar-sebentar ia mengecap, mengutuk rumah sakit yang mengharamkan isapan tembakau. Jelas, permen karet tidak senikmat rokok. Ia benar-benar benci  lingkungan rumah sakit.

Sudah masuk bulan keenam Odin berada di kota Malang. Selama itu, hampir lima puluh persen rumah sakit dan dokter praktik berhasil dirangkul untuk menggunakan obat dari perusahaan tempatnya bekerja. Namun, bagaimanapun kerasnya dia bekerja, perusahaannya masih memberi kartu kuning--tujuh puluh lima persen masih jauh.

Setan alas, aku tidak bisa memenuhi target meskipun separuh kota ini kukuasai. Aku harus mendapatkan rumah sakit ini. Doter Tutut, pimpinan rumah sakit itu kuncinya. Begitu aku menaklukkannya, rumah sakit ini akan jadi ladang emas buatku. Pasien berduit berkumpul di sini. Pikirannya menyusun skenario.

"Sediakan uang dua puluh juta dan kau akan mengantongi akses semua dokter spesialis yang ada di rumah sakit ini." Seorang perempuan meletakkan makan siangnya, setengah membanting, lalu duduk di hadapan Odin yang tak terkejut sama sekali. Tia, perempuan tegas yang membungkam anak buahnya di meja resepsionis tadi memberi tawaran yang lebih terdengar sebagai paksaan.

"Lima juta, tidak lebih," tawar Odin.

"Akses untuk Dokter Tutut saja lima belas juta, Pemain Baru! Dua puluh juta untuk semua akses, itu sudah murah," jawab Tia sinis sembari menyuapkan selada ke mulutnya.

Odin bergeming, menandaskan air mineral lalu pergi meninggalkan Tia yang terlihat gemas.

"Kau tak akan bisa tembus di sini! Aku bisa jamin itu!" Perempuan itu berteriak hingga nyaris membuat makanan dalam mulutnya terlempar keluar. 

------

Pintu kaca terbuka. Tidak seperti kebanyakan ruang praktik dokter yang berbau disinfektan, ruangan ini berbau apel, tercium menyegarkan.

"Selamat sore, Dokter Tutut." Tia menyungging senyum memasuki ruangan, diiringi seorang laki-laki gagah di belakangnya. "Ah, kenapa saya jadi pelupa ya? Saya ambilkan data pasiennya dulu. Mari, Pak. Silahkan duduk." Tia beringsut pergi.

"Silahkan duduk, ada yang bisa saya bantu?" Dokter itu menatap dingin pasiennya. Alisnya yang berupa goresan pensil tipis berbentuk bulan sabit menambah kesan angker pada wajahnya yang judes.

"Uhm... Begini, Dok. Tangan kiri saya sering kesemutan dan jari saya seperti mati rasa beberapa hari ini. Dua minggu yang lalu saya jatuh dari kamar mandi. Saya takut ada syaraf saya yang terganggu." Lelaki itu menggeser posisi duduknya mendekati meja, "Saya sudah mencari-cari referensi dokter syaraf terbaik untuk berobat. Saya dengar Dokter Tutut adalah orangnya, jadi saya datang untuk memeriksakan kondisi saya pada Dokter."

Perempuan itu menyungging senyum, bangga mendapat predikat terbaik dari mulut seorang pasien. Meski bukan pertama kalinya, tetapi sanjungan itu masih terdengar menyenangkan. Tanpa banyak bicara, dokter itu memeriksa dengan cermat pasiennya.

"Diagnosa saya, ada syaraf yang terganggu di ruas C7," jelasnya sambil menunjuk gambar sistem syaraf pada tablet-nya, "Namun untuk lebih jelasnya, saya akan melakukan pemeriksaan lebih dalam dengan beberapa tes. Sementara, saya beri resep dan surat pengantar untuk tes lanjutan. Nama Anda siapa?"

"Odin, Dok."

Perempuan itu perlahan menjatuhkan badan ke sandaran kursi, meletakkan pulpen dan buku resepnya, lalu  mengganti rona muka menjadi sedingin patung lilin--tanpa ekspresi.

"Sepertinya saya tidak asing dengan nama itu. Rajawali Pharmaceutical?" Dia merapatkan tangan dan menaruhnya di bawah dagu, wajahnya semakin angker. "Tia sudah bilang kan, daftar permintaan yang harus dipenuhi oleh perusahaanmu agar obatmu dipakai di sini?"

"Seminar di Jepang, tiket dan akomodasi untuk Dokter dan keluarga. Perusahaan saya bisa penuhi permintaan itu. Beri saya waktu satu bulan untuk mengurusnya."

"Sebaiknya perusahaanmu bertindak secepat namanya, saya tak suka menunggu."

Odin mengangguk dan bergegas keluar. Di luar pintu, Tia sudah menunggu dengan tatapan mengintimidasi.

"Sepuluh juta dulu, sisanya setelah deal dengan Dokter Tutut." bisik Odin sambil menyelipkan selembar cek pada map yang dibawa Tia, menyamarkan aksi mereka.

"Mau ke mana kau malam ini?" tanya Tia.

"Bukan urusanmu." jawab Odin ketus.

"Tempat ini bagus untuk melepas ketegangan." Tia menyelipkan sebuah kartu pada saku kemeja, "Berurusan dengan Dokter Tutut memang membuat stress." 

Odin pun melenggang pergi menginggalkan Si Sadis. Perempuan itu terlihat penuh dengan aura kemenangan.

———

Send

Odin baru saja mengirim surel pada atasannya, mengurus proposal seminar dokter Tutut di Jepang dan tetek bengeknya. Dia mengusap wajah dengan kedua telapak tangan lalu memijit kening dan lehernya. Suara serak Tina Turner yang meneriakkan What's Love Got To Do With It masih mengalun dari speaker laptopnya, diputar berulang-ulang.

"Gila! Malang sulit ditaklukkan," gumamnya. "Aku bisa gila jika begini terus. I need to refresh myself."

Odin meraba saku kemejanya, mendapati kartu yang diberikan oleh Tia tadi siang. Bale Barong, rekomendasi tempat refreshing dari makelarnya. Dia mengambil kunci mobil dan melesat ke arah Klojen tanpa tampil perlente seperti biasanya. Ia tidak peduli sama sekali, rasa pusing mengalahkan keinginannya untuk tampil gagah. Bahkan ia juga tidak peduli dengan laptop dan lampu kamar yang masih menyala.

Seorang pramusaji seksi muncul, membawa sebotol black label pesanan Odin. "Sendirian, Mas? Baru pertama ke sini?" sapanya ramah, agak genit. Odin tersenyum, lalu menenggak wiski yang baru saja dituangnya.

"Bang, aku stres nih. Malang sulit ditaklukkan."

Terdengar kekeh di ujung telepon,

"Hahahah... Kenapa? Masih enam bulan dan kau sudah stres. Kurang tempat asyik?" Iswanda, mantan rekan kerjanya menggoda, "Kau lagi di mana, Bung? Sudah menemukan perempuan yang pas?"

"Hampir," ujarnya bersamaan dengan matanya yang menangkap sosok perempuan bergaun merah. Ia duduk di bar seorang diri, "I'll call you later. Aku akan menemui perempuanku."

Hari masih sore, tempat itu belum berubah menjadi tempat pesta anak muda dengan musik mengentak. Seorang penyanyi masih setia meyanyi meskipun hanya beberapa orang yang hadir--kemungkinan besar tidak memperhatikannya.

"Tempat ini lumayan bagus untuk ukuran kota kecil seperti ini." 

Odin menggeser sebuah gelas kosong ke arah perempuan itu dan menuangkan black labelnya.

"Aku tidak minum black label." tolak perempuan itu datar.

"Oh, maaf. Let me guess, untukmu mungkin Irish Cream. Waiter, beri nona ini Nutty Irishwoman."

"Bagaimana kau tahu aku suka Irish Cream?" Perempuan itu mulai tergoda, sedikit senyum mulai menghias wajahnya.

"Elegan, hangat, dan pintar. Apalagi yang cocok selain Nutty Irishwoman? Wiski, untuk kesan eleganmu. Cream, untuk pembawaanmu yang hangat. Frangelico, vanila berry dan hazelnut, untuk kecerdasanmu."

"Sudah lama jadi bartender?"

 Kini tawa terlepas dari mulutnya.

"Odin."

"Nara."

Odin, si flamboyan berhasil menarik hati perempuan bergaun merah itu dalam sekejap.  Atmosfer keduanya mulai hangat, melumer bersama Taylor Swift, Amy Winehouse, politik etis, marxisme, maling, koruptor, dan puluhan topik lain yang menyambung otak mereka dan ... menyambung hasrat mereka di kamar Odin.

Pada akhirnya, keduanya mengganti suara serak Tina Turner yang masih mengalun dari laptop dengan suara desahan membabi buta. 

———

Dua minggu berlalu. Surel balasan dari bos besar tak disangka-sangka muncul di laptopnya. 'Seminar dokter Tutut - granted.'

"Yes! Dokter Tutut, you are mine!" Pekik keberhasilan Odin menggema. Dia pun bergegas menuju rumah sakit. Pikirannya mengembara pada kesuksesan yang akan dicapai. Ladang emas, kolam susu, sapi perahan--dia menamai rumah sakit itu dalam khayalannya.

Setengah berlari Odin menuju ruang praktik Dokter Tutut. Tangannya berada pada gagang pintu, hendak membukanya. Namun, pintu terbuka terlebih dulu dari arah dalam. 

Odin setengah terkejut mendapati Nara keluar dari ruangan dokter, berbaju rapi layaknya orang kantoran, lengkap dengan tas dan berkas-berkas.

"Nara?" tanyanya heran.

Nara menutup pintu praktik Dokter Tutut, mendekatkan mulutnya pada telinga Odin dan berbisik, "Kau salah di bar itu, aku lebih suka Flaming Irish Coffe. Pahitnya lebih terasa."

Buru-buru Odin memasuki ruang praktik Dokter Tutut. Namun, sebelum dia sempat berbasa-basi, dokter Tutut sudah memotongnya.

"Perusahaanmu kalah cepat. Utusan dari Radika Farma baru saja pergi, menawariku seminar di Jerman, sekalian pelesir ke Eropa. Better offer."

Tiba-tiba Odin teringat pada malam bersama Nara, di kamarnya. 


Laptopnya masih menyala.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro