Bittersweet Home

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cerita ini diikutsertakan ke lomba LCDP X dalam rangka ulang tahun LCDP ke-10. Baca cerita lainnya di eliteralcdp.wordpress.com.


"Ya Tuhan! Apa itu?!"

"Itu rumahku."

"Rumah?! Jangan bercanda! Rumah tidak merayap di sepanjang hilir sungai seperti itu!"

***

Orang-orang masih saja terkejut meski sudah tiga dekade berlalu sejak Sihir Abdi merasuki banyak sekali benda mati dan membuat kekacauan di mana-mana. Rupanya 30 tahun masih tak cukup untuk membuat mereka terbiasa dengan benda-benda mati yang menjadi hidup.

Benda-benda tak bernyawa kini bergerak, berpikir, kadang pula berbicara dan bergosip tentang pemilik mereka. Beberapa di antaranya yang cukup beruntung mampu menumbuhkan tangan dan kaki, mempermudah mobilitas mereka. Beberapa yang kurang beruntung harus puas dengan menggelinding dari tempat tinggi atau pasrah dibawa angin, nasib, dan tangan manusia.

Aku kenal sekeping uang receh, mengeluh tentang betapa sempit dan baunya saku celana pemiliknya yang terdahulu. Ia terjatuh di depan kakiku karena saku pemiliknya akhirnya berlubang cukup besar sampai ia merosot ke tanah.

Tak berapa lama kemudian, seorang pemuda memungut si koin dan dengan senang hati membawanya. Si koin tampak terharu dan bernyanyi riang gembira di kejauhan, lalu menjerit saat tubuh logamnya dipelantingkan ke dalam sumur, sementara si pemuda mengucap, "Aku ingin pacar baru—wahai sumur permohonan! Kabulkanlah!"

Sumur itu bercahaya, musik piano dramatis mengalun, dan berbicaralah ia, "Potong rambutmu dan cobalah mandi—mungkin akan ada satu atau dua wanita picak mau denganmu. Dapatkan pekerjaan, jadilah tampan, dan tumpuklah kekayaan—mungkin kau akan punya kesempatan."

Besoknya, sang sumur harapan disemen dan ditindas dengan patung pancuran air yang bernyanyi. Soalnya manusia menginginkan pengabul harapan instan serta hiburan, bukan nasihat atau petuah.

"Aku agak merindukan si sumur harapan dan musik dramatisnya," desah Mukhlis pagi itu. Tangannya menumpu pada susunan kayu pagarku yang baru dipelitur semalam.

Kukorek kotoran burung dari kosen jendelaku. "Aku pun merindukan si koin yang rewel, tapi yah ... mau bagaimana lagi?"

Dari seberang sungai, sekumpulan anak-anak mengarahkan jari telunjuknya dengan kurang ajar ke arahku. Beberapanya memekik, mengataiku, atau berdebat dengan temannya apakah aku ini kura-kura raksasa atau kadal bertopi. Biasanya, saat tak ada Mukhlis, mereka akan melempariku dengan batu dan melontarkan kata-kata menyakitkan, menyebutku sebagai babu manusia dan sebagainya.

"Sudah kuduga, tepi sungai adalah tempat yang buruk! Banyak anak-anak nakal main di sini! Kau tahu? Kemarin mereka mencoba menjebakku! Mereka hampir membuatku terguling menimpa perahu orang!"

Mukhlis menatapku. "Tapi, kau yang memilih tempat ini."

"Kenapa kau menyetujuinya?" balasku. "Kubahku berdebu waktu itu! Aku tak tahu apa yang kupikirkan!"

"Oke," decaknya. Tangannya menepuk-nepuk kayu pagar. "Kau mau ke mana sekarang?"

Aku mengomel sendiri. "Di sini saja. Pondasiku sudah nyaman di sini."

Mukhlis menyengir. "Bagus. Aku juga sebenarnya sudah telanjur mengundang seseorang untuk makan malam."

Pintu depanku membuka-tutup dengan gugup. Mukhlis bukan orang yang sering bergaul dan seluruh anggota keluarganya entah di mana. Maka dari itu, saat dia mengundang orang untuk bertandang, seringkali dia mengundang orang yang salah—bocah-bocah yang menghina tembokku dengan krayon, pria tua pengupil yang menempelkan harta karun dari hidungnya sembarangan, atau salesman yang tak mau berhenti mengoceh betapa kotornya lantaiku hanya demi vacuum cleaner-nya yang barbar itu terjual.

Aku tidak butuh penyedot debu bising yang mengisapku dari dalam! Mukhlis membersihkanku menggunakan kedua tangannya dengan sangat baik dan tanpa ocehan apa pun!

"Mari kita bersih-bersih," ajak pria itu seraya melenggang menuju pintu. Dia membiarkan pintuku terbuka lebar agar angin sejuk masuk (aku rumah yang kuat dan tak mudah masuk angin). "Setelahnya, membuat makan malam. Seorang wanita yang sangat spesial akan datang petang nanti."

***

Mukhlis masih sangat muda saat dia membangunku dengan bantuan mandor dan beberapa tukang bangunan sahabatnya. Umurnya baru 20 saat itu, penuh semangat dan teriakannya menggetarkan pondasi setengah jadiku saat palu salah sasar ke ibu jarinya.

Saat itu kesadaranku belum sepenuhnya terkumpul. Beberapa intisariku yang hidup terdiri dari gelondongan kayu, besi-besi yang dijadikan pasak, beberapa kaca, paku-pakunya, dan banyak lagi. Sekitar 80% materi yang menyusunku mengandung sihir Abdi yang lumayan besar. Maka, begitu cat telah dipoles dan kaca-kaca dipasang, aku segera menumbuhkan tangan dan kaki.

Si mandor menyebutku rumah kura-kura karena kepalaku berupa kubah besar. Kaki belakangku agar kependekan, tetapi tanganku bisa dipanjangkan untuk menyentuh puncak kubah. Jadi, seringnya aku duduk seperti kucing dengan tangan yang terlipat seperti sepasang kaki depan. Jika sudah sangat nyaman dengan suatu lahan, aku akan memasukkan tangan dan kaki itu ke dalam agar pondasiku lebih kuat ke tanah.

Hanya ada aku dan Mukhlis setelah 15 tahun lamanya. Sekarang dia 35, masih membujang ....

Status itu berakhir malam ini.

Wanita yang diundangnya makan malam bernama Syifa, 29 tahun, hanya sosok sederhana dengan wajah dan penampilan yang mudah sekali membuatnya dilupakan—rambut hitam sebahu, mata dan hidung yang kecil, wajah tirus, proporsi tubuh rata-rata, tidak tinggi atau pun pendek. Dia datang dengan mengenakan blus serta rok panjang, dengan selop putih bersahaja.

Tataplah dia satu kali lama-lama, baurkan dia di antara pejalan kaki di trotoar jalan, kau pasti akan kehilangannya dalam sekejap.

Singkatnya, Mukhlis dan Syifa menikah dan tinggal di dalamku kemudian. Aku agak skeptis pada si pendatang baru di awal, tetapi Syifa menunjukkan kebolehannya membersihkanku (dia bahkan mengorek kotoran unggas dari kusen jendelaku sampai bersih), dan kami pun jadi teman.

Oke, sampai sana, seharusnya aku mengakhiri kisah ini dengan "Kami pun hidup bertiga, bahagia selamanya—tamat!"

Oh, tidak! Tidak! Bencana terjadi saat Mukhlis dan Syifa—yang membengkak perutnya—pergi ke rumah sakit suatu hari, lalu pulang dengan perut wanita itu yang mengempis. Mereka membawa tiga bayi bersama mereka.

Kembar tiga—begitu mereka menyebut para bayi secara kolektif. Secara individu, mereka adalah Hana, Hani, dan Hanung.

Secara individu, Hana mencemari tembok dan lantaiku dengan kreativitasnya, Hani membuat kerangkaku pegal dengan hiperaktivitasnya, dan Hanung membuatku sakit kepala dengan tangisannya. Secara kolektif, ketiganya membuatku nyaris ambruk.

"Pilih aku atau mereka, Bung!" Sudah puluhan kali aku menuntut Mukhlis, tetapi dia hanya tertawa sebelum kemudian kembali disibukkan aktivitas mengurus anak.

Saat si kembar tiga ulang tahun yang pertama, mereka berlarian ke sana kemari dan tak mau berhenti mengoceh sesamanya, membuatku terserang insomnia parah.

"Tendang mereka ke jalanan atau aku yang minggat!" ancamku di tengah vertigo hebat karena sudah tiga malam terjaga.

"Tapi kau rumah. Kau tidak bisa minggat." Mukhlis mengingatkan. Matanya merah karena kelelahan menjaga si kembar tiga.

Di ulang tahun mereka yang kedua, kue tart dan lilin menjadi bencana. Ruang tamuku lengket oleh krim, yang kemudian memeper sampai ruang tengah. Salah satu tiraiku berlubang tersundut Hana yang memainkan lilin ulang tahun yang masih menyala, lalu dia menangis.

"Aku yang terbakar, dia yang menangis!"

Di ulang tahun ketiga, si kembar mendapat buku gambar dan pensil warna. Mukhlis dan Syifa butuh tiga hari untuk membersihkan tembokku.

Di ulang tahun keempat, mereka mendapat sepeda. Saat-saat terburuk dalam hidupku.

Baru setelah mereka cukup besar dan masuk Sekolah Dasar, kedamaian kembali padaku selama setengah hari. Dari pagi sampai siang, aku mendapatkan kembali me-time yang sudah bertahun-tahun tak kukecap.

"Aku heran kalian masih menyimpan anak-anak itu dan belum meninggalkan mereka di bawah pohon."

"Mereka anak manusia, bukan bayi tupai," kata Syifa seraya menepuk-nepuk pilarku. Satu tangannya memegangi gagang pel. "Maaf, ya, kuharap kau memakluminya. Mengurus anak memang meletihkan. Tapi, mereka menggemaskan, bukan?"

Pipa-pipa saluranku bergidik. Mereka hanya menggemaskan saat tidur. Saat bangun, mereka seperti bencana alam.

"Kalian jarang sekali memerhatikan kebersihanku sekarang sejak anak-anak itu tiba. Di belakang pintu kamarmu lantainya agak—ya, yang itu .... Jangan lupa bagian bawah sofa."

"Kami harus membagi waktu."

"Tapi, bagianku kekecilan! Mereka bertiga, aku sendirian! Syifa, kau harus tambah pengharum lantai lagi."

Sementara mengisi ember, wanita itu bertanya, "Omong-omong, kenapa kau tidak punya nama?"

"Nama?"

"Seperti aku—Syifa. Suamiku, Mukhlis. Si kembar tiga pun ada Hana, Hani, dan Hanung. Selama ini Mukhlis hanya memanggilmu 'Rumah' atau 'sobat'."

"Nah, itu namaku. Rumah. Cukup sampai sana. Kau bakal terpeleset kalau airnya meluber. Hati-hati."

Syifa membawa ember kembali ke ruang tengah dan mengepel lagi. "Hanung ingin sekali mengobrol denganmu sejak lama, tapi dia bilang dia takut. Mungkin kau bisa sedikit mengalah dan mengajaknya bicara lebih dulu?"

"Ya, ya, terserah. Hei, apa kau membiarkan keran air menyala?"

***

Lalu tepat tengah hari, ketiga bocah itu pulang dengan membawa lebih banyak pasukan. Kebalikan dari Mukhlis yang tak pandai bersosialisasi, Hana dan Hani mendirikan kuartetnya sendiri bersama dua bocah lain yang mereka bawa dari sekolah. Sementara Hanung, yang tampaknya benar-benar berasal dari cetakan Mukhlis, hanya mengekor di belakang grup.

"Anak-anak nakal!" bentakku menggelegar saat mereka mengotori ruang tengah dengan potongan kertas origami. Gunting sempat menusuk sofa beberapa kali, karpet penuh lem kertas, dan pensil warna berserakan sampai beberapanya menggelinding ke bawah meja televisi. Bahkan, sepatu mereka yang penuh lumpur dibiarkan bertebaran di depan pintu. Tas mereka beserta isinya tercecer ke mana-mana. Hani bahkan menggantung kaus kakinya di gagang pintuku—betapa kejinya!

"Rumahmu bawel, ya?" Salah satu teman mereka berkomentar. "Di rumahku, yang kerasukan cuma asbak dan satu kursi goyang, lho."

"Kerasukan?!" ulangku merasa terhina.

"Di rumahku agak merepotkan, sih," kata teman mereka yang lain. "Piring-piring yang mengoceh dan berpindah tempat sendiri dalam rak. Tapi, mereka berhenti bertingkah setelah ayahku membuang tiga di antaranya dan mengancam akan melakukan hal serupa pada yang lain kalau mereka tidak mau diam."

"Sayang sekali, kakekku sayang dengan kursi goyangnya itu. Kami tidak bisa membuangnya meski ia berderit dan menyanyikan lagu lawas tiap tengah malam." Teman pertama menambahkan. "Tapi, tetap saja masih lebih parah rumah kalian ini."

Hana mengangkat bahu. "Ayah kami sayang dengan rumah ini, jadi kami tidak bisa membuangnya."

"Hei!" protesku.

Di ujung dekat sofa, Hanung bergumam kecil, "Rumah kami keren, kok."

"Nah, itu!" sambarku bersemangat sampai mereka kaget. "Kalian dengar kata si kecil? Aku keren!"

Hana, Hani, dan kedua teman mereka menoleh pada Hanung seolah baru sadar anak itu ada di sana.

"Harusnya kalian sering-sering dengarkan dia bicara! Hanung tahu apa yang benar!"

"Tapi, Hanung terlalu pendiam." Teman mereka berbisik lirih. Hanung barangkali mendengarnya sampai anak itu tertunduk.

"Omong kosong." Kuseret Hanung dengan ujung karpet sampai dia tergeser ke tengah. Hana, Hani, dan kedua temannya terpekik saat kaki Hanung menenggol lipat kertas origami mereka. "Lihat? Kalau berempat saja, kalian cuma kuartet. Sekarang kalian berlima, jadi ... eh, pentatet?"

Hani melemparkan pensil warnanya ke televisi. "Sudah, ah! Diam, Rumah! Ocehanmu mengganggu pekerjaan kami, nih!"

Habis sudah kesabaranku. Dengan marah, kuentakkan karpet dan kugulung kuartet menyebalkan itu, membuat mereka menggelinding di dalamnya sampai ke teras. Hanung memperhatikan dengan ngeri sebelum berlari ke dapur dan memanggi-manggil ibunya.

"Ih! Rumah apa, ini?!" protes teman mereka. "Hana! Kau bilang, ini bakal jadi menyenangkan di rumahmu! Tidak, tuh! Pembohong!"

Begitu Syifa keluar, dia menengahi dan mengambilkan tas-tas mereka. Kedua teman si kembar pun berderap pulang dengan tampang kusut, rambut tergulung jelek, dan bulu karpet menyangkut di kemeja seragam mereka.

Keadaan jadi dingin sampai malam. Si kembar tidak saling tegur dan menolak bicara dengan Syifa mau pun Mukhlis, yang mana oke saja buatku. Hana diam di sudut ranjangnya, menggunting-gunting kertas dan menggambar dan melipat, menyelesaikan proyek sekolahnya. Hani melipat kertas origaminya tanpa bentuk berarti sebelum kemudian frustrasi sendiri dalam diam. Hanung di sudut kamar, membaca. Seharian sampai malam tanpa ocehan, keributan, dan pertengkaran mereka—bayangkan surga itu!

Namun, seperti kebanyakan hal sempurna di dunia, ketenangan itu sirna setelah makan malam. Si kembar bertengkar hebat perihal pinjaman-pinjaman barang, membuatku sakit kepala. Hana kehilangan guntingnya dan menuduh Hani, Hani kehilangan kertas origaminya dan menuduh Hanung, sedangkan Hanung kehilangan bukunya dan menuduh Hana. Barangkali pertengkaran konyol itu juga didasari dari kejengkelan mereka yang menumpuk sejak siang.

Saat Mukhlis turun tangan dan memarahi anak-anaknya yang susah diatur, ketiganya mulai mengoceh dan sepakat melimpahkan kesalahan padaku.

"Dia mengusir teman kami! Rumah aneh ini bikin proyek sekolahku terganggu—"

"Dia menggulungku dalam karpet! Aku dilempar ke teras—"

"Aku padahal diam saja, memang tidak mau ngapa-ngapain! Tapi rumah ini mendorongku, menyuruhku berteman, padahal aku tidak mau—"

"Cukup!" Itu pertama kali aku mendengar Mukhlis berteriak sekencang itu. Umurnya 41 sekarang, satu atau dua helai rambut putih sudah bermunculan di kepala, dan kerutan usia di wajahnya tampak begitu dalam saat marah. "Masuk kamar kalian!"

"Tapi, tugas sekolah—"

Mukhlis tambah marah karena disela, dan diam-diam aku mendukungnya. Dia menyuruh anak-anaknya tidur, membentak mereka saking murkanya, sampai kulihat mata bocah-bocah itu berkaca-kaca. Oh, anak-anak malang, tetapi di saat bersamaan aku menikmatinya.

Setelah si kembar masuk ke kamar mereka, Mukhlis berkata dengan tajam, "Kau pun harus berhenti bertingkah, Rumah."

"Apa?" Aku terkejut. "Katakan kalau aku salah dengar, Bung, sepertinya tadi kau bilang—"

"Kau terlalu banyak tingkah!" Mukhlis mengepalkan tangannya. "Bukan hanya kau yang lelah. Aku dan Syifa juga! Tapi, kami berusaha! Sedangkan kau malah—"

"Oh, ya, teruslah salahkan aku untuk masalahmu! Kenapa juga kau menyimpan anak-anak itu dalam rumah, hah? Yang mereka lakukan hanya mengacau, bertengkar, bermain, dan mengacau lagi! Mereka itu sumber masalahmu, dan aku ini yang menemanimu dari awal, tapi kau mempertahankan mereka—"

"Mereka keluargaku! Kau cuma rumah!" bentak Mukhlis. Kakinya menendang tembok sampai aku tersentak syok.

21 tahun aku dan dia bersama-sama, tidak pernah sekali pun dia menghajarku seperti itu.

Dari balik pintu kamar, Syifa mengintip ketakutan. Dari atas undakan, si kembar berbisik-bisik sambil gemetaran. Sementara aku terdiam. Mukhlis sendiri hanya berdiri geram sambil mengatur napas.

Dengan langkah mengentak, Mukhlis menyambar jaket dan memasang sepatu, lalu menerobos pintu dan keluar. Syifa buru-buru memasang mantelnya juga, tak memerhatikan sandal yang berlainan sebelah dan langsung memakainya.

"Jaga si kembar sebentar, oke," pinta wanita itu seraya menepuk-nepuk pilar teras. "Aku akan mengejarnya—Mukhlis mungkin butuh waktu menenangkan diri. Kami akan segera kembali."

***

Mereka tidak kunjung kembali saat tengah malam tiba. Padahal hujan mulai turun sejak pukul 11 dan kilat sudah menyambar-nyambar.

Hana tertidur di kasurnya sambil membasahi bantal dengan air mata. Hani terjaga dan bermain-main dengan guntingnya, mengorek retakan cat di kepala kasurnya. Hanung tampaknya juga terlelap, membungkus diri dalam selimut.

"Hentikan itu," kataku setelah sekian lama diam. Kumasukkan tanganku ke dalam jendela kamar si kembar, mencoba merebut gunting dari tangan Hani.

"Apa, sih!" Hani mempertahankan guntingnya. Kami rebutan untuk beberapa saat sampai tanganku tak sengaja menyenggol sesuatu yang terbungkus plastik hitam di atas meja belajar Hana.

Benda itu terlempar ke ujung meja, bergoyang tertimpa angin hujan, lalu meluncur keluar.

Hani dan aku memekik bersamaan sampai Hana terbangun. Anak itu bangkit sambil menggosok matanya yang sembap dan mengeluh, "Jangan berisik, dong."

Baik Hani maupun aku membeku tak berani bicara. Hana menengok kanan-kiri, lalu bertanya, "Ibu dan ayah belum pulang?"

"Belum," jawabku kaku.

"Tapi, hujan—" Saat itulah matanya melayang pada meja belajarnya. Sudah kuduga, meja belajar dekat jendela itu ide buruk. "Kerajinan tanganku! Mana ... itu tugas sekolahku!"

Hani menuding langit-langit. "Tangan si Rumah menyenggolnya sampai jatuh—"

"Karena kau menolak melepaskan gunting itu!" Aku membela diri. "Kalau kau serahkan saja guntingnya padaku dan langsung tidur, ini tidak akan terjadi!"

"Tugas sekolahku!" Hana melompat dari kasur seperti kesetanan dan menuruni anak tangga dua-dua.

"Hei, Nak!" Aku memperingatkannya, tetapi anak itu tak mau mendengar. Dia keluar bertelanjang kaki, mencari-cari di sekitar halaman, lalu menatap ke arah sungai dengan nanar.

Di atas kayu yang terapung-apung, plastik hitam berisi tugas sekolah Hana bertengger. Ujung plastiknya tersangkut ranting tumbuhan yang tumbuh liar di tepian sungai. Saat angin berembus sedikit lebih kencang, plastik itu terlepas dari sangkutannya, dan galah kayu pun tersapu gelombang, membawa tugas sekolah Hana ke tengah aliran sungai.

Kedua tangan Hana saling remas. Air matanya tercampur air hujan. "Aku membuatnya sendiri seharian," isaknya sambil menyedot ingus, lalu tertunduk.

Hati nuraniku yang kecil sekali dan terbuat dari remah semen serta plester-plester tua berdenyut. Kuulurkan tanganku dan mengangkat Hana di kerah bajunya, lalu memasukkannya kembali ke kamar lewat jendela.

Dengan sedikit usaha ekstra, aku mengendurkan pasak dan melepas satu demi satu sambunganku ke tanah. Pipa-pipa saluran terputus dengan otomatis tanpa kebocoran karena Mukhlis merancangnya dengan sedemikian rupa.

Sudah bertahun-tahun aku menancap di sini, engsel-engselku sepertinya berderit protes.

"Whoaa!" seru Hani saat aku mulai bergerak menyisir sungai. "Keren banget!"

Hana, yang untuk sesaat melupakan tugas sekolahnya, berdecak gembira. "Coba Damar dan Malia melihat ini—mereka bakal mencabut kata-kata mereka yang mengataiku pembohong!"

"Mereka bukan teman yang baik, tahu?" komentarku sambil terus bergerak maju mengejar proyek sekolah sialan itu. "Teman macam apa yang menyisihkan saudara dari teman mereka?"

"Oh, Hanung!" Hani seolah baru teringat. Dia lantas melompat ke atas ranjang saudaranya dan menyibakkan selimutnya. "Bangun, pengantuk! Lihat, rumah kita bergerak—eh, kau kenapa?"

Di atas kasurnya, Hanung meringkuk bergelung. Dia memeluk bantal yang tidak berada di bawah kepalanya kuat-kuat.

"Dia takut petir." Aku memberi tahu. "Biasanya saat hujan berpetir seperti ini, dan kalian terlelap seperti orang mati, saudara kalian turun untuk tidur di kamar Mukhlis dan Syifa."

"Tapi, ayah dan ibu tidak pulang-pulang," rengek Hanung sambil menyembunyikan kepala di bawah lengan. Badannya berkedut saat guntur menggetarkan kaca-kaca jendelaku.

"Eh, ayo, sini!" Hani berkeras menarik saudaranya turun dari ranjang. "Tidak ada yang perlu ditakutkan! Kita di dalam rumah, kok!"

Dari arah depan, sebuah terpal terbang dibawa angin. Anak-anak menjerit saat terpal itu tersangkut dan menutupi jendela.

"Aku tidak butuh tumpangan!" pekik si terpal seolah-olah bukan dia yang menerjang ke arahku duluan. "Turunkan aku! Jangan bawa aku kembali ke kapal kargo! Nyanyian "Nenek Moyangku Seorang Pelaut" peti-peti kemas itu membuatku gila!"

"Kalau begitu, menyingkir dariku!"

Kucubit punggungnya sampai si terpal mendengking. Kulemparkan ia ke samping sampai terpal itu kembali meluncur di udara, terseret angin badai sambil bersorak, "Bebaaas!"

"Tuh, asyik, 'kan?" Hani meyakinkan Hanung. "Lihat, rumah kita bergerak kayak kura-kura!"

"Kura-kura?!" teriakku tersinggung.

"Ya ... kau memang agak lambat," gumam Hana yang masih memantau tugas sekolahnya dari jendela. "Kura-kura mungkin malah lebih cepat darimu."

"Oh, apa itu tantangan?"

Aku melebarkan langkah. Tanganku berayun-ayun. Sepertinya ada vas yang pecah di dalam, tetapi sorakan Hana dan Hani yang tercampur sambaran petir agak menulikanku. Hanung bahkan memberanikan diri untuk mengintip ke jendela sambil berpegangan pada Hana.

Aliran sungai makin deras. Aku tak sadar kami sudah sangat jauh dari lokasi semula. Rumput mulai berganti bebatuan, pohon-pohon mulai jarang, dan mendadak saja ujung sungai terlihat di ujung sana—air terjun. Tanah tampak menurun curam seperti tebing di tiap sisinya.

Di dekat air terjun itu, bisa kulihat sekelompok anak muda cari mati. Mereka berasal dari kampung di seberang sungai, sudah tersohor dengan kelakuan bengal dan premannya. Seperti malam ini—malam berbadai kalau perlu kuingatkan—mereka melompat ke aliran sungai dan menunjukkan kebolehan berenang melawan arus. Lambat bergerak sedikit saja, mereka akan terbawa terus dan jatuh ke air terjun.

"Wah, keren sekali." Hani bersiul kagum menatap anak-anak tak berotak di seberang. "Aku juga kepingin begitu."

"Kau kepingin bertemu Tuhan lebih cepat?" dengkusku.

Beberapa dari mereka menanggalkan sepatunya, yang menjerit-jerit. Sepatu-sepatu malang itu tampak butut dan robek-robek, barangkali berasal dari tempat pembuangan—biasanya para manusia yang letih dengan ocehan barang mati akan membuang barang mereka ke sana. Kuduga, anak-anak bandel itu sengaja memulung sepatu yang berisi Sihir Abdi dan memakainya kemari.

Lalu, seperti yang sudah kuduga, mereka melemparkan sepatu-sepatu itu ke arus sungai.

"Kenapa mereka melakukan itu?" tanya Hanung dengan suara mencicit. "Itu jahat sekali."

"Beberapa orang menikmatinya saat benda-benda mati menjerit tersiksa. Toh, kami benda mati, 'kan?"

"Tapi, ayah dan ibu kita tidak begitu, ya." Hani berucap bangga yang ditingkahi anggukan dua saudaranya.

"Ibu kalian orang baik. Sedangkan Mukhlis selalu menghargai segalanya, bahkan benda mati." Aku berjengit, teringat tendangannya di tembokku. "Yah, tadinya. Oh—hei, pegangan, Anak-anak!"

Aku mendapatkan momen yang pas saat kayu yang terapung-apung membawa tugas sekolah Hana terantuk batu sungai. Nyaris terbalik, ia diterpa gelombang pasang dan bergerak lebih dekat ke tepi. Aku merentangkan tangan dan berhasil memotong jalurnya, lalu mengangkatnya dari sungai.

"Akhirnya," dengus si potongan kayu yang ternyata hidup. "Pegal sekali, Bung! Benda apa yang seenaknya jatuh di atasku ini?"

"Tugas kerajinan tangan anak SD," kataku seraya menaruh si potongan kayu ke tanah berbatu.

"Wow, makasih, kukira kau bakal mengembalikanku supaya terseret arus!"

Tanpa mengacuhkan si kayu aku mengembalikan plastik hitam itu ke meja belajar Hana. Dia melonjak-lonjak lega dan berterima kasih sebelum kemudian membuka plastiknya, memastikan kerajinan tangan di dalamnya selama dari air.

Agak basah sedikit, tetapi masih berbentuk. Kertas-kertas berwarna itu mungkin perlu dijemur agar jadi keras lagi, dan kubahnya masih bisa ditekan agar tidak penyok. Lalu, kusadari ....

"Itu aku?"

"Tiruanmu," beri tahu Hana. Tangannya membungkus replika rumah kubah itu menggunakan plastik baru dengan hati-hati. "Jelek, ya?"

"Tidak, itu—" Aku sempat kehilangan kata-kata, lalu berhasil melanjutkan. "Itu indah sekali."

"Makasih," ucapnya dengan pipi merona.

Aku terpaku sebentar sampai kemudian sebuah batu menjebol jendela ruang tamu.

Aku berbalik sampai ana-anak pun bisa melihat juga: segerombolan anak muda yang tadi sibuk bermain-main dengan maut, kini sudah menyeberangi sungai dan berdiri beberapa meter dari pagar depanku.

"Masih hidup kau?!" Salah satu anak melempar batu lagi dan mengenai kubahku.

Aku ingat dia. 6 tahun lalu, dia masih 9 tahun. Lemparannya hanya mencapai teras atau tembok belakangku, dan suaranya cempreng sekali. 6 tahun berlalu, kini dia makin tinggi, lengannya berotot, kulitnya menggelap, dan wajahnya penuh jerawat. Suaranya membesar, tetapi nada menghinanya masih sama.

"Rupanya si tukang bangunan masih belum membuldosermu?" Dia melempar batu lagi, memecahkan kaca jendela kamar Mukhlis dan Syifa. Teman-temannya tertawa dan saling mengingatkan masa lalu akan panggilan-panggilan favorit mereka terhadapku: kura-kura, penyu, kadal bertopi, rumah hantu ....

"Jangan lakukan itu!" Hani membentak dari lantai dua. "Apa-apaan kalian!"

"Wah, penghuninya bertambah!" Aku seharusnya menyerbu maju dan menduduki para remaja itu, tetapi aku terlalu lelah setelah menyusuri sungai. Lagi pula, anak-anak masih di dalam, dan entah berapa banyak barang yang pecah. Aku tidak bisa bergerak terlalu banyak, maka aku hanya bisa menghindar sedikit-sedikit, menepis lemparan batu, dan berbalik agar si kembar tidak terkena lemparan.

"Hentikan!" jerit Hani. Hana memeluk Hanung dan menjauhkannya dari jendela. "Dasar remaja aneh! Berhenti melempari rumah kami!"

"Rumahmu yang aneh!" teriak si remaja berjerawat. "Mana ada rumah yang hidup? Sihir Abdi hanya menghidupkan barang-barang kecil untuk dijadikan babu! Rumah kalian itu kena kutuk!"

"Enak saja! Ini karena ayah kami adalah arsitek sekaligus pembangun yang hebat—aww!" Hani mengeluarkan kepala dari jendela di saat yang salah. Jidatnya berdarah setelah terkena lemparan. Aku mulai panik, Hana dan Hanung pun mulai menangis.

Anehnya, Hani hanya menggeram. Anak itu, bukannya menangis, justru mengambil batu yang menimpa kepalanya dengan marah. Dia bergerak ke jendela lagi, dan melemparkan batu itu sampai mengenai perut salah satu remaja itu.

Lemparan batu makin menggila karenanya. Kayu-kayu dari pagar muka patah dan berserakan di teras. Aku menghindar mati-matian, dan tanpa sadar terpojok sampai ke ujung tebing. Kubahku entah sejak kapan berlubang karena lemparan batu, beberapa dahan dan ranting yang gemuk masuk ke celahnya, membuatku tersangkut.

"Keluar!" Aku menjumputi si kembar dengan paksa dari kamar, mengeluarkan mereka bertiga. "Pergi sana!"

Kakiku menggelincir di ujung tebing dan pagar halaman belakangku sudah serupa pemberat yang menarikku ke bawah. Aku tidak bisa maju karena tersangkut, tetapi bobotku akan dengan mudah membuat ranting-ranting itu patah saat aku jatuh ke bawah sana. Aku memenjaga keseimbangan, tetapi ini hanya masalah waktu ....

Hani, dengan jidat yang masih berdarah, meraih patahan kayu dari teras. Dengan seruan perang anak itu menyerbu ke arah sekumpulan remaja, yang kaget karena tak menyangka akan menerima perlawanan.

"Rumah, bertahanlah!" Hana menggelantungi pagarku yang masih utuh seolah-olah bobotnya cukup untuk mempertahankanku.

Hanung, yang masih berkedut karena petir dan kilat, mendadak berdiri dan berlari membelah tirai hujan. Dia menabrak salah satu remaja, yang kemudian menabrak temannya lagi, sampai mereka berdua tercebur ke aliran sungai yang deras tanpa persiapan.

Hanung terus berlari menyusuri sungai, bertelanjang kaki. Hani masih memukuli remaja berjerawat sementara teman-temannya sudah berlarian. Sedangkan Hana terisak-isak menahanku agar tidak jatuh.

"Sudahlah!" bentakku seraya berusaha menyingkirkan Hana, tetapi dia berpegangan sangat kuat. "Kau akan ikut jatuh—anak nakal! Hentikan itu! Kau harus lari, bawa Hani, ikuti Hanung!"

Selama sepuluh menit penuh, aku berhasil bertahan. Para remaja sudah pergi berlarian, beberapanya terseret arus, sedangkan Hana dan Hani bekerja sama menggelantungi pagar depanku. Namun, barang-barang berat di dalam sudah tergeser ke belakang, sofa-sofa meluncur ke dapur, menambah bobotku ke sisi jurang.

Lalu, terdengar suara Mukhlis di kejauhan. Dia berlari dengan panik, basah kuyup oleh hujan. Di belakangnya, Syifa menggendong Hanung yang menangis keras-keras.

Anak bandel sialan. Bukannya lari, dia malah membawa orang tuanya ke sini.

"Ayah!" Hana menjerit. "Rumahnya—"

Aku berderit ke belakang, dan mereka semua menjerit.

"Hei, Sobat, ayolah—bergerak kemari!" teriak Mukhlis panik. Satu tangannya berusaha meraih tanganku, tangan lainnya memegangi pagarku seperti Hana dan Hani. "Ayo, kau bisa! Bergeraklah maju!"

"Aku tersangkut, dasar kau pria tua!"

Mukhlis melirik kubahku yang bolong-bolong dan kemasukan dahan pohon yang mencuat. Wajahnya memucat.

"Sudahlah," desahku. "Sana. Aku cuma rumah. Kau bisa bangun rumah baru."

"Tidak." Mukhlis mulai mencari-cari ke sekitarnya dengan tubuh gemetaran, seolah ada pengait yang bisa menarikku atau apalah. Sayangnya, kami sendirian di sini. "Tidak. Kumohon. Kau tidak boleh hancur!"

Dia menarik pagarku lebih kuat sampai wajahnya memerah. Namun, yang dilakukannya hanya membuat kayu-kayuku patah karena sudah lapuk.

"Keluargamu kehujanan," kataku. "Biarkan saja aku ... tolong."

"Jangan ...." Mukhlis menggertakkan giginya. "Bicara seperti itu."

"Tapi, kau memang benar. Para remaja itu juga benar." Aku melambai ke arah di mana para remaja itu sebelumnya berada. "Aku hanya rumah. Aku terlalu angkuh untuk memercayainya dulu, tetapi para remaja itu, saat mereka masih anak-anak, mereka sudah memberi tahuku—Sihir Abdi, seperti namanya, menyihir benda-benda mati menjadi hidup untuk dijadikan abdi—budak. Kami hanya benda mati yang memiliki kesadaran karena kesalahan sihir. Dan kau ... kau seorang pembangun yang hebat. Kau bisa membangun rumah lagi, yang lebih baik dan bagus dariku. Aku hanya bangunan—sebuah hunian. Keluargamu, yang menggigil di sana itu, adalah rumahmu yang sesungguhnya."

"Kau juga keluargaku!" Mukhlis berteriak. Bibirnya menggigil. Di sisinya, Hana dan Hani menangis sesenggukan. Hanung terisak-isak di gendongan Syifa, yang juga berkaca-kaca matanya.

"Kau rumah dan keluarga pertamaku!" tambah Mukhlis. Tangan terulur, masih mencoba meraih tanganku. "Jadi, kumohon ...."

Aku menurunkan tangan untuk menyambut genggaman Mukhlis saat kemudian dahan terbesar patah dalam kubahku. Kakiku menggelincir, gravitasi mendekap, dan kudengar Mukhlis beserta keluarganya berteriak.

***

Kudengar, Sihir Abdi tak hanya memberi benda mati kemampuan berbicara dan berpikir saja. Ia juga memberi benda mati sebuah kesadaran.

Saat benda itu hancur, inti sari sihirnya bertahan pada tiap inci materi yang pernah menyusunnya. Maka, jika benda itu diperbaiki dengan materi yang serupa, ia akan hidup kembali sebagai benda yang sama.

Lalu, dongeng tentang Kapal Theseus menyerbuku bagai mimpi buruk, membuatku bertanya-tanya: bagaimana jika aku hancur suatu hari nanti, seluruh bahan yang menopang dan menyusunku dipencar, dan aku takkan terlahir sebagai kesadaran yang sama?

Bagian lain dari diriku akan bangun di pasar loak, mengira dirinya hanyalah satu dari sekian banyak sampah. Bagian lainnya lagi akan terbentuk di toko furnitur, mengira dirinya adalah lemari, meja, dan kursi yang hidup secara terpisah. Bagian lain dari diriku yang kurang beruntung takkan pernah bangun.

Aku bertanya-tanya lagi: saat aku hancur, akankah Mukhlis menjadi terlalu bodoh dan menyia-nyiakan hidupnya untuk mengumpulkan lagi semua materi yang pernah menyusunku?

Akankah dia membangunku ulang?

Akankah dia ....

Dia manusia.

Aku rumah.

Dia punya keluarga.

Aku tidak.

Keluarga adalah rumah, orang zaman dulu berkata. Di mana pun keluargamu berada, di sanalah rumahmu ada. Tidak ada yang bilang bahwa rumah adalah keluarga—kecuali Mukhlis. Namun, itu hanya kata-kata, iya, 'kan?

Mukhlis akan baik-baik saja tanpa aku. Dia dan keluarganya akan memiliki rumah baru.

"Sudah selesai?" Kudengar suara seseorang beserta bunyi keriut kayu dan sesuatu yang ditumpuk. Aroma cat basah menyerbuku. Rasa kantuk itu terusir perlahan. Seketika, aku terkejut karena masih memiliki semua ingatan di masa lalu.

Saat penglihatanku kembali, aku melihat kedua tanganku lagi. Dan kakiku yang kependekan.

Aku melihat ....

Gadis itu berdiri sambil bertumpu pada meja besar, yang di atasnya bertenggerlah sebuah replika rumah kubah yang—harus kuakui—memang mirip kadal bertopi. Replika diriku. Gadis itu ... entah kenapa aku tahu dialah yang membuat replika indah tersebut. Dia sedikit lebih tinggi dari yang kuingat, rambutnya lebih panjang, matanya begitu cemerlang.

Di sisinya, seorang gadis dengan wajah serupa, hanya saja lebih berotot dan tinggi, mengangkat gelondongan kayu dengan tangan kosong. Kaus dan pullover-nya bebercak cat dan agak dekil. Rambutnya terikat ekor kuda. Senyumnya tampak kuat, dan bekas luka pada dahinya membuatnya tampak tangguh.

Di sebelah mereka, seorang pemuda berkemeja hitam tengah menelaah kertas blueprint yang terbentang di atas meja lain. Dia membenarkan kacamatanya. Saat dia mendongak menatapku, aku kembali mengingat anak yang dulu meringkuk setiap petir menyambar. Kini, anak itu tersenyum penuh percaya diri, meninggalkan jejak penakutnya jauh di belakang.

Di hadapanku, seorang wanita dan pria berdiri bersampingan. Wanita itu masih sama dengan wajah dan pakaiannya yang tak pernah berlebihan, bersahaja, amat lembut dan sederhana. Tangannya menepuk-nepuk pilar terasku bersahabat.

Si pria, yang tengah memasang bel di pintu depanku, tersenyum. Ubannya tambah banyak, kerut usianya makin dalam, tetapi dia masih sahabat lamaku yang kukenal—si arsitek sekaligus pembangun terbaik di dunia.

"Kau sudah pulang," sambut Mukhlis. "Selamat datang kembali, Sobat."





Kedengarannya seperti

✧◝(⁰▿⁰)◜✧

.

.

.

Terima kasih kepada LCDP (◍•ᴗ•◍)❤

Dan selamat untuk para pemenang lainnya (*'▽'*)✧

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro