06. Pengakuan Zalfaa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Target hafalan pertama bagi santri baru adalah juz 'amma. Itu hafalan wajib pondok, belum lagi hafalan wajib sekolah diniyah. Benar-benar, kalau mesantren harus berteman baik dengan namanya hafalan. Karena aku santri baru di sini, hafalannya masih kategori ringan; baru juz 'amma dengan hafalan sekolah diniyah awaliyahnya nadzom Sabrowi (kitab nahwu) dan Tuhfatul atfal (kitab tajwid).

Jadi, Pesantren Manbaul Hikmah adalah termasuk dalam kategori pesantren salaf yang pembelajarannya menggunakan metode kitab kuning dan biasanya tidak terlalu fokus pada pendidikan umum. Berbeda dengan pesantren modern yang biasanya lebih fokus ke pendidikan umum, bahasa Arab-Inggris, tata kepemimpinan, dan cukup kurang menggunakan kitab kuning.

Tidak terasa, rupanya sudah 5 bulan aku mesantren dan mulai terbiasa dengan aktivitas padat yang ada.

Aktivitasnya benar-benar padat melebihi atensi di kali pertama aku mondok. Secara, kami di sini diharuskan bangun pagi sebelum subuh setiap hari supaya bisa tahajudan sekaligus mandi, salat subuh berjamaah, sehabis itu mengaji setoran juz amma, lantas istirahat sebentar untuk menunggu mengaji pagi, lalu sarapan, siap-siap sekolah pagi dan berangkat sekitaran jam setengah tujuh.

Pulang sekolah pagi sekiran jam 1 siang kurang seperempat, setelah itu harus cepat-cepat buat salat dzhuhur dan makan siang, soalnya setelah itu tinggal masuk sekolah diniyah pondok.

Pulang sekolah diniyah jam 4, salat ashar berjamaah setelahnya, mengaji lagi, makan sore, salat maghrib berjamaah, mengaji lagi sampai masuk waktu isha, salat isha berjamaah dan sehabis itu takror sampai jam 10 malam. Baru begitu takror selesai, kami bisa istirahat sepuasnya.

"Azhima, ayo cepetan, nanti kita telat," seru Khulasoh yang sudah menenteng sepasang sepatu, mengenakan seragam putih abu-abu, mencangklong tas untuk berangkat sekolah pagi.

"Iya, bentar, Soh. Kaos kakiku nggak ada. Gimana coba? Mana kaos kakiku yang lain masih basah di jemuran," sahutku yang masih sibuk mencari kaos kakiku yang raib di sepatu, mencari-cari di kolong rak sepatu, barangkali ada di situ.

Khulasoh yang berada radius 3 meter dariku mendesah, "Pasti ada yang ngambil." Wajahnya ikut kesal.

"Kamu pinjem kaos kakiku dulu aja. Bentar, aku ambilin," imbuhnya. Beringsut lari ke kamar untuk mengambil kaos kaki.

Aku menunggu Khulasoh dengan perasaan lega bercampur rikuh.

Tak berselang lama, Khulasoh sudah ke arahku lagi dengan berlari dan membawa kaos kaki putih bersih.

"Ayo cepetan. 5 menit lagi masuk tahu!" titah Khulasoh setelah memberikan kaos kaki padaku, melihat jam di arloji tangan.

Kami pun sekolah sambil berlari supaya tidak telat.

Sampai gerbang MA Manbaul Hikmah, kedua mata kami langsung disuguhkan dengan pemandangan Pak Satpam bertubuh gempal yang geleng-geleng kepala. Menjadi pertanda jika sepertinya kami akhirnya telat juga.

"Telat satu menit. Langsung saja lari mutari lapangan satu kali," perintah Pak Satpam tanpa ba-bi-bu.

Aku dan Khulasoh yang masih ngos-ngosan bersitatap. Menghembuskan napas panjang bersamaan. Menyeka peluh di kening.

"Yah, Pak. Satu menit doang. Nggak usah dihitunglah, Pak," sahut Khulasoh, merayu.

"Iya, Pak. Nggak kasian apa sama kita berdua yang udah berangkatnya lari ke sini. Udah cape banget, Pak. Suer!" imbuhku sembari membuat kode pis.

"Udah. Cepetan masuk dan lari. Kalian mau ditambah jadi lima putaran?"

Aku dan Khulasoh melenguh lesu. Kincep.

"Tinggal lari aja ribet amat sih lo pada," omong si pemilik suara bariton yang baru saja sampai ke depan gerbang dengan jalan santai.

Aku dan Khulasoh pun langsung paham siapa manusia ini; Gus Fawaz. Kami melirik bersamaan ke arah Si Gus yang berhenti di samping Khulasoh.

"Cewek emang ribet, ya? Disuruh lari aja malah sempet-sempetnya buang energi buat nyi-nyi-nyi dulu," olok Gus Fawaz.

Berhasil membuat kami kesal. Lalu kami masuk gerbang dan lari tanpa harus diperintah lagi oleh Pak Satpam. Disusul Si Gus.

***

Petaka besar kenapa aku harus ditakdirkan sekelas dengan Gus Fawaz. Soalnya, gus satu ini benar-benar menyebalkan lebih dari atensiku di awal. Masa' aku dijadikan pesuruh tetapnya dia kalau di sekolah MA. Untung saja Si Gus putranya Ummi, kalau bukan, aku tidak akan pernah mau.

"Jim, beliin gue batagor sama teh kotak dingin," suruh Gus Fawaz yang baru saja sampai ke samping mejaku di kelas yang berada di belakang paling pojok sendiri. Si Gus menaruh uang 10 ribu di mejaku.

Aku yang sedang khidmat mengerjakan tugas kimia barusan yang terpotong jam istirahat, melirik ke arah Si Gus. Cukup kesal karena memanggilku dengan panggilan super jelek; Jim alias Ajima.

"Nggak pake lama, Jim," titah Gus Fawaz. Wajahnya tampak kusut karena baru bangun tidur.

"Mriki kulo mawon, Gus," tawar seseorang dengan nada lembut. Itu Widi yang doyan caper ke Si Gus, duduk di bangku depanku, menengok ke Gus Fawaz.

(Sini aku saja, Gus)

Wajahku langsung semringah mendengar penawaran Widi.

"Makasih, Wid. Ini cicisnya," kataku sembari menyodorkan uang 10 ribunya Si Gus.

"Gue kan merintahnya elo, Jim. Jadi ya lo yang berangkat," sangkal Gus Fawaz yang masih berdiri di samping mejaku, lalu beringsut pergi ke bangkunya yang berada di ujung belakang sana.

Wajah Widi langsung berubah suram, menanggung malu.

Sesaat ke depan, aku meminta Zalfaa untuk menemaniku ke kantin.

Di jam istirahat kedua, untung saja kantin tidak cukup ramai. Karena sekolah yang separuhnya berisi anak pondok ini, kebanyakan jam istirahat kedua adalah waktunya tidur untuk anak pondok; seperti Khulasoh dan Sofiya barusan, tidur di bangkunya, nyenyak banget sampai kadang kegaduhan di kelas saja tidak mampu mengusik mereka.

Setelah memesan batagor, aku beralih ke kulkas kantin untuk mengambil teh kotak, lalu jus kotak untukku. Sedangkan Zalfaa menunggu dengan duduk di bangku kantin yang kosong.

"Kamu nggak jajan, Faa?" tanyaku setelah menutup pintu kulkas.

Zalfaa, Si Gadis Manis itu menggeleng.

"Nggak beli minum? Kamu nggak haus?"

"Nggak, Azhima," jawabnya. Mengurvakan bibir.

Aku pun tak bertanya lagi. Beringsut ke arah Zalfaa. Duduk berhadapan dengannya.

Zalfaa adalah tipikal gadis yang tertutup. Kadang, sulit sekali cara menebak perkara apa yang sedang dirasakan dan dipikirkan gadis ini karena sulit terbuka dengan orang lain, termasuk padaku yang sebagai sahabat dekatnya sekalipun.

Tipikal tertutup itu jugalah yang mempengaruhi sosok Zalfaa yang cukup kaku pada orang lain jika belum mengenalnya dekat, layaknya dulu di hari pertemuanku dengan Zalfaa, di mana dia mencoba supel, tetapi tetap saja kakunya masih kentara, berakhir aku yang sok kenal sok deket.

Namun, jika sosok tertutup seperti Zalfaa sudah menemukan seseorang yang membuatnya nyaman; seperti bersahabat denganku, Khulasoh, Sofiya, dia akan menunjukkan sosok yang riang, bisa dikatakan cerewet, suka guyonan, pokoknya menjadi pribadi yang sangat asyik.

"Faa," panggilku. Mendapati Zalfaa menatap ke luar kantin, padahal di sana tidak ada sesuatu yang menarik selain tampak beberapa siswa yang berlalu lalang.

"Iya, Azhima," sahutnya. Beralih menatapku yang sedang menyeruput jus mangga.

"Tumben banget kamu ngelamun," jawabku. Zalfaa memang jarang sekali yang namanya melamun.

Zalfaa mengurvakan bibirnya. "Aku kan juga manusia. Bisa dong ngelamun. Ngelamunin ..." Dia mencodongkan tubuhnya ke arahku, berbisik, "Gus Fikri."

Sial! Zalfaa malah meledek dengan menyebut nama biasku. Pipiku langsung menghangat. Zalfaa memang doyan sekali meledek dengan satu nama ini setelah aku ketahuan mengaguminya. Lalu disusul Khulasoh dan Sofiya yang tak kalah rese, doyan ngegojlog.

"Faa!" pekikku.

Zalfaa tertawa renyah bersamaan dengan Bu Kantin memanggilku karena pesanan batagor bungkusku sudah jadi.

Setelah mendapatkan batagor dan membayarnya, kami pun bergegas ke kelas.

Selama perjalanan ke kelas, Zalfaa tetap saja diam. Aku yakin, gadis itu sedang ada sesuatu serius yang dipikirkannya, entah apa itu.

Omong-omong, Zalfaa masih kerabat dekat Abah Dullah. Tepatnya, ayahnya Zalfaa adalah adik dari Abah Dullah. Pantas saja dia sudah terlihat mengenal dekat Gus Fawaz sejak di hari aku pertama mondok, padahal dia juga santri baru, ternyata masihlah keluarga.

Jujur, kadang aku iri dengan Zalfaa. Selain secara fisik Zalfaa juga menarik, dia juga cerdas, ibadahnya tekun, tatakramanya bagus, banyak disayang orang sekitarnya, dan yang paling membuatku iri adalah ... dia terlahir dari keluarga yang sangat terhormat; dia adalah putri seorang kyai masyhur di Kebumen yang juga seorang mursyid tariqoh di kotanya.

Seberuntung itu Zalfaa dilahirkan. Sedangkan aku?

Langkah kami terus melaju ke arah kelas, menyebarang lapangan sekolah. Angin sepoi-sepoi melewati tubuh kami.

Hatiku berdenyut ngilu. Menyakitkan sekali rasanya.

Aku membenci diriku yang seperti ini karena penyakit batin yang hinggap tak kunjung menghilang. Penyakit dengki pada kehidupan orang lain yang tampak lebih beruntung dariku.

Aku sungguh membenci sikapku yang mana pada akhirnya menjadikanku lupa untuk bersyukur dengan apa yang kumiliki.

Aku sungguh benci hatiku yang masih saja kotor seperti ini. Siapapun, adakah yang sudi tuk segera membawa kotoran hatiku pergi?

"Sebenarnya aku sedang merindukan Mama, Azhima," jujur Zalfaa begitu saja. Berhasil membuatku yang barusan melamun, secara alami menengok ke arahnya.

"Bukannya baru kemarin kamu dijenguk Abah sama Ummi-mu, Faa?" timpalku. Kami terus berjalan santai.

Zalfaa mengulas senyum tipis. "Beliau itu orangtua angkat aku, Azhima. Orangtuaku udah meninggal saat aku masih bayi. Aku lagi pengen banget ziarah ke makam Mama," jelasnya dengan intonasi bicara lebih rendah. Wajahnya dalam balutan kerudung putih menyendu.

Seketika aku terhenyak dengan pengakuan Zalfaa. Nyeri hatiku semakin terasa, tetapi dengan muara sebab yang berbeda.

_______________

Takror: kegiatan mengulang pelajaran
Nadzom: bait syair
















Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro