09. Sekarepe Dewek

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seminggu telah berlalu dari hari H Zalfaa mengikuti lomba MTQ. Dan alhamdulillah, Zalfaa berhasil menyabet juara 2.

Prediksiku, sebenarnya Zalfaa mampu menyabet juara 1, hanya saja dia grogi berlebihan saat maju untuk diberi empat pertanyaan oleh juri; pertanyaannya adalah semuanya tentang sambung ayat al-Quran secara acak--terserah juri mau mengambil penggalan ayat surah apa di juz 1 sampai juz 10.

Pertanyaan pertama dan kedua, Zalfaa lancar. Tapi ketiga dan keempat, Zalfaa salah menjawab karena sudah terlalu grogi. Bahkan selama memegang mic untuk menjawab, tangan Zalfaa kentara gemetaran, aku bisa melihatnya dari tempat dudukku, nyalinya menciut sampai tidak bisa berpikir dengan baik.

"Udah terlihat, Mbak Zalfaa itu anaknya cukup pemalu," komentar Mama dari seberang telepon via WA saat aku istirahat pertama di MA.

"Iya, Ma. Tapi kalo udah deket sama dia, Zalfaa itu bobrok loh." Aku terkekeh.

"Masa sih? Tapi bobroknya pasti nggak kaya kamu yang suka nyanyi-nyanyi nggak jelas kalau di rumah, 'kan?"

Mama malah meledeki kebiasaanku yang suka menyanyi ria di rumah. Dan parahnya aku pernah ketahuan Mama menyanyi bahasa Inggris dengan lirik asal ceplos, membuat Mama yang kemampuan bahasa Inggris-nya cukup baik, geleng-geleng kepala mendengar nyanyianku yang amburadul. Lalu Mama berkomentar, "Lagi nyayi bahasa Alien ya, Nak?" Aku hanya bisa nyengir lebar kalau sudah seperti itu.

"Ma, tapi ini rahasia, ya?"

"Hmm, rahasia apa memang?"

"Zalfaa itu diam-diam juga suka nyanyi, tapi kalo lagi di kamar mandi. Dan kamar mandi lagi sepi. Nyanyinya juga lirih banget. Senandung-senandung gitu lah. Aku pernah denger dan suaranya ...." Perkataanku mengambang ketika melihat Zalfaa masuk kelas bersama Khulasoh sembari membawa teh botol.

Sepertinya aku kentara memerhatikan Zalfaa, hingga gadis hitam manis itu berjalan ke arahku dengan tatapan menyelidik.

"Suara Zalfaa kalo lagi nyanyi di kamar mandi itu kayak Agnes Monika loh, Ma," lanjutku ketika Zalfaa mendaratkan pantat di bangku sampingku.

Mendengar itu, Zalfaa langsung menoleh ke arahku dengan tatapan menyelidik tajam.

Aku nyengir ke arah Zalfaa.

"Ya udah dulu ya, Ma. Jengukan besok, Mama pokoknya bawa tongseng masakan Mama, ya?" kataku. Sesaat kemudian Mama mengiyakan dan kami saling memberi salam dan sambungan telepon terputus.

Kutengok Zalfaa setelahnya. Wajahnya tampak merah padam. Sepertinya dia sudah tahu arah pembicaraanku dengan Mama barusan dan pasti dia sedang menahan malu.

Sebelah tangan Zalfaa terulur. Dia mencubit tipis lenganku. "Pasti kamu bocorin aibku ke Mama-mu, ya?" interogasinya.

Aku meringis, memegangi bekas cubitan Zalfaa, perih sangat. Aku cemberut. Mengangkat bahu.

Zalfaa mendengkus. Dan aku seketika terkekeh.

Khulasoh yang barusan menyempatkan mampir ke bangku Dwi di depan, kini ke belakang bersama Sofiya. Duduk di bangku mereka berdua, persis di depanku dan Zalfaa.

Sofiya menyambar ponsel di mejaku yang menganggur.

"Ngikut telpon Bibi-ku, Wi," seru Sofiya ke arah Dwi yang sedang berkerumun mengobrol dengan yang lain sembari mengangkat sebelah tangannya yang memegang ponsel Dwi.

"Yoi!" jawab Dwi singkat.

"Makasih loh, Wi. Nanti aku traktir kamu batagor di istirahat kedua," seruku ke Dwi.

"Yoi. Santai aja, Pren," sahut Dwi sembari semringah mendengar mendapat traktiran batagor Bang Ujang sebagai wujud terimakasihku karena telah diperbolehkan meminjam ponsel dan menyeruk kuota internetnya.

Jadi, di kelas X A ini yang sering dipinjami ponselnya untuk telfonan anak pondok itu Dwi. Dia bukan anak pondok, supel orangnya, dan tidak hitung-hitungan kalau meminjamkan ponsel. Sebenarnya Dwi tidak pernah menuntut balasan ketika meminjamkan ponselnya ke anak pondok untuk mengontak keluarga lewat WA atau sekedar untuk mainan medsos seperti Facebook, Instagram, TikTok, atau Twitter-pun tidak masalah. Namun, karena hampir setiap bulan aku pinjam, setidaknya satu kali untuk menghubungi Mama, aku memutuskan untuk mentraktir Dwi setelah itu; sebagai tanda terimakasih dan hitung-hitung untuk mengganti quota internetnya yang terambil olehku, biar sama-sama enakan, simbiosis mutualisme.

"Bi, besok kalo jenguk bawain Sofi sambel terasi, rica-rica, abon sapi juga. Sekalian bawain juga detergen rinso cair yang botol gede, pewangi downi yang kuning serenteng, sabun cair lepboy yang biru, sama kaos kaki putih. Sekalian juga kerudung putih segi empat sama celak pensil."

Beberapa saat kemudian, aku, Zalfaa, dan Khulasoh gemas dengan pesanan Sofiya pada bibinya. Kebiasaan sekali memang, Sofiya kalau sudah tanggal tua dan sebentar lagi dijenguk sama Bibi-nya itu, pasti banyak sekali pesanannya. Bibinya sudah semacam toko online saja sekaligus kurirnya.

Walaupun asli anak Bangka Belitung, gaya bahasa Sofiya sudah seperti anak Jawa asli, bukan lagi memakai dialek Melayu Bangka. Soalnya dia sudah tinggal di Cilacap dari kelas 1 SMP. Dia juga sebelumnya sudah pernah mondok saat SMP di dekat rumah bibinya di kecamatan Kroya. Jadi, tidak heran jika di antara kami, yang paling banyak tahu apa-apa tentang pesantren adalah dia dan Zalfaa. Zalfaa malah orangtuanya punya pesantren besar.

Dan bagian jenguk-menjenguk Sofiya pun diserahkan pada bibinya ini oleh orangtua Sofiya. Orangtua Sofiya tinggal transfer uang saja. Jika pulang pun Sofiya ke rumah bibinya. Katanya, biasanya dia pulang kampung setahun sekali, saat liburan panjang lebaran. Ah, lama sekali itu, kalau aku tidak kuat. Di sini diperbolehkan pulang 3 bulan sekali saja, aku sudah tertekan.

"Apa maning? Wis kaya kue tok?"

(Apa lagi? Sudah seperti itu saja?)

"Enten malih, Bi. Tambahaken kelengkeng tigo kilo nggih mboten nopo-nopo," jawab Sofiya.

(Ada lagi, Bi. Tambahkan kelengkeng 3 kilo ya nggak apa-apa)

"Sekalian bawa pisang setundun, Cop," ledek Khulasoh dengan lirih pada Sofiya.

Aku dan Zalfaa menahan kikikan.

***

Hari terus bergulir.

Semester pertama sekolah diniyah sedang berlangsung sejak sehari kemarin. Siang ini, kelas awaliyah mempunyai jadwal tes nahwu dan sorof, duo mata pelajaran paling ditakuti.

Aku sudah rapi memakai seragam batik diniyah warna biru tua dan mengenakan jilbab putih berlogo madrasah awaliyah PP Manbaul Hikmah. Di sela mengambil kartu tes di lemari, aku menepuk jidat.

"Kenapa, Jim?" Sofiya yang sedang mengambil buku pelajaran di rak gantung sana, menyelidik.

"Aku baru inget kalo piket kelas hari ini," keluhku. Sepasang netraku melirik ke arah arloji bersabuk putih di pergelangan tangan. Sudah jam 13. 25 WIB ternyata. "Haduh, nggak keburu piket kayaknya nih. Bakalan kena takziran lagi," imbuhku dengan muram.

"Nggak papa. Yang penting kita nggak telat masuk sekolahnya. Ayok buruan, 5 menit lagi gerbang dah ditutup. Kita harus lari nih, Jim," sahut Sofiya sembari berjalan ke arahku.

Tanpa bisa mengelak apa pun, aku pun mengangguk pasrah.

Seperti rencana Sofiya, kami berdua pun lari cepat ke madrasah diniyah. Sebenarnya tidak cukup jauh, tapi tadi ada drama juga sandalku kena ghosob, waktunya terulur lagi.

Nasib tetaplah nasib. Sampai depan gerbang khusus putri, kami bersamaan melenguh lesu. Pasalnya gerbang sudah ditutup dengan 2 Mbak Penjaga tersenyum mampus ke arah kami.

Aku dan Sofiya pun mendekati gerbang yang sudah ditutup itu. Nyengir ala ada maunya.

"Mbak Zahroh, barusan sandal Azhima di-ghosob. Jadi kita berdua lama cari-cari sandal. Alhasil telat deh, padahal kita udah lari kenceng banget. Tadi Mbak liat sendiri 'kan? Nih, jidatnya kita aja keringetan," lapor Sofiya, ditutup dengan mengelap jidatnya yang berpeluh.

"Iya, Mbak. Dimaklumin, ya? Biarin kita masuk dan bebas takziran. Hehe ...." Aku ikut-ikitan membujuk.

Mbak Zahroh yang memang tampangnya sudah judes, tersenyum--menambah kadar kejudesan. Sedangkan satunya lagi, Mbak Metsa tampak perlahan membuka gerbang.

"Udah cepetan masuk," kata Mbak Metsa sembari melambaikan tangan.

Aku dan Sofiya bersitatap. Saling menimpal senyum kemenangan atas bujuk rayuan kami.

"Takziran tetep berlaku. Ada sampah tuh di pinggiran," imbuh Mbak Metsa setelah tubuh kami sempurna masuk ke area madrasah, sembari menunjuk sampah daun mangga di pojokan teras ruang asatidz.

Mendengar itu, aku dan Sofiya bersitatap lagi, berubah tersenyum kecut.

Tanpa banyak cek-cok, kami berdua pun ke arah lembaran daun mangga yang gugur ke tanah. Sesuai peraturan telat masuk sekolah madrasah, kami berdua mengambil masing-masing 3 lembar sampah daun mangga untuk dibuangnya nanti di tong sampah sebelah tiang bendera merah putih.

Berhasil mengambil sampah daun mangga, aku mengangkat tubuhku. Berbalik untuk segera menyusul Sofiya yang sudah beberapa langkah maju. Namun, saat aku hendak melangkah cepat, langkahku tertahan mendapati sosok bersarung hitam dengan baju seragam batik asatidz sedang melangkah dari arah gerbang utama--bukan gerbang yang barusan kulewati--yang biasa dilewati pelajar putra.

Sosok itu adalah si pemilik wajah teduh, alias Gus Fikri, idolaku. Dia berjalan dengan santun. Ah, pipiku langsung memanas dan deg-degan. Sial sekali. Aku benci perasaan seperti ini sekarang.

Gus Fikri semakin dekat, otomatis aku melipir ke pinggiran, menunduk takdzim.

Jelaslah tak ada kontak mata, apalagi saling sapa di antara kami berdua. Gus Fikri mulus melewatiku tanpa ada hal berarti apa pun, jelaslah itu tak ada arti baginya, tapi bagiku ini sangat berarti, bisa menatap wajahnya walau sekilas adalah rezeki nomplok. Hatiku berbunga-bunga bertebaran seperti di iklan kopi Good Day.

"Jim," seru Sofiya mendapati aku begitu lemot untuk bergerak lagi. Berhasil membuat Mbak Zahroh dan Mbak Metsa tersenyum, telihat seperti meledek.

Aku tak peduli begituan dengan tatapan Mbak Penjaga yang sedang ditugaskan jaga gerbang itu. Aku pun sedikit berlari menyusul Sofiya. Lalu melangkah perlahan ke kelas dengan satu hukuman yang harus kami lakukan; membuang sampah.

Aku mendengkus dengan hukuman ini. Langkah kami berdua semakin ke tengah pelataran madrasah, di mana terbagi menjadi 2 lokasi; lokasi pertama adalah lokasi depan yang berisi kelas-kelas pelajar putra, lalu ada sekat penghubung dengan adanya ruang pertemuan dan koperasi, baru ada jalan seperti lorong di antara dua bangunan itu untuk kemudian masuk ke area kelas-kelas pelajar putri.

Tiang bendera merah putih berada di tengah pelataran kelas putra dan ada satu tong sampah di situ untuk tempat sampah hasil hukuman telatnya pelajar putri. Tong sampah ini tidak permanen berada di sebelah tiang bendera, hanya diletakkan di situ saat jam 1 sampai setengah 2 siang saja untuk hukuman telat--seperti kuku panjang, serta tidak memakai ciput. Setelahnya, akan dipindahkan ke tempat asalnya oleh Mbak-mbak pengurus ITMI--setara pengurus OSIS jika di sekolah formal.

Karena barusan terdengar bel kedua yang mengisyaratkan untuk para pelajar masuk kelas dan segera ustadz yang mengawasi tes datang, para pelajar putra yang biasanya suka tongkrongan di depan kelas masuk ke kelas, selamat sudah untuk tidak ditonton mereka membuang sampah di dekat tiang bendera. Aku pun terus berjalan dengan perasaan lega, tidak jadi terlalu malu, masalahnya ... biasanya ada santri putra songong yang bersiul-siul meledek atau cengegesan mengejek.

Sampai juga ke area tong sampah, kami berdua membuang 3 lembar daun mangga kering secara bersamaan. Lantas cepat-cepat meneruskan langkah untuk segera ke kelas. Sehabis itu giliran terkena takzir sebab tidak piket kelas; denda 2 ribu.

Namun, di sela berjalannya kami berdua, melintaslah seseorang yang berlari memutari pelataran kelas putra yang tak lain adalah hukuman untuk pelajar putra yang melanggar; bisa karena telat atau hal lain seperti tidak memakai seragam sesuai hari.

Seseorang itu adalah kembaran Jefri Nichol. Tampaknya dia terkena takzir karena telat, juga baju seragam yang tidak sesuai dengan seharusnya batik malah memakai kemeja putih.

Melihat Gus Fawaz melintas terkena takzir itu, jiwa mengejekku ingin sekali memaki satu lelaki tengil ini. Tapi jelaslah tidak mungkin kulakukan, alhasil aku diam kalem sembari terus melangkah.

"Juk ... Juki ... Juk ... Ijuk ...."

Sial kebangetan. Suara bariton Jefri Nichol KW malah bersemangat meledekiku dengan memanggil-manggil nama Juki, dia terus berlari memutari pelataran yang cukup luas.

Langkahku dan Sofiya tertahan mendapati Gus Fawaz berlari melintas di depan kami dan sempatnya-sempatnya melontarkan senyum meledek ke arahku.

Dasar Gus songong! Aku jadi mengumpat dalam benak. Lalu beristighfar.

Aku tidak berdaya. Melanjutkan langkah saat Gus Fawaz sudah enyah dari hadapan kami. Melangkah senormal mungkin tanpa tergesa-gesa menuju kelas.

Sedangkan, tinggal terdengar samar Gus Fawaz melantunka sebuah syair Arab dengan semangat. Bersenandung seperti orang yang lagi sholawatan.

وَهَلْ فَتَىً فِيْكُمْ فَمَا خِلٌّ لَنَا

Hatiku bergejolak kesal karena itu syair Arab yang ada di surat Juki yang tidak akan pernah kubalas seumur hidup.

Aku pun mengutuki Gus Tengil satu ini dalam benak yang selalu ada saja polah nyebelinnya, mentang-mentang di pondok sendiri, dia jadi sekarepe dewek.

Omong-omong, aku sudah tahu arti bait syair Arab dari Juki tersebut dari Mbak Hana yang akhirnya mau memberi tahu. Itu adalah penggal bait dari nadzom kitab Alfiyyah Ibnu Malik yang banyaknya 1002 bait, tepatnya separuh bait ke 126. Artinya; Apakah sudah ada seorang lelaki di sampingmu? Karena saya belum memiliki kekasih.

Ya Allah, jadi itu maksudnya Si Juki sedang menanyaiku perkara apakah aku masih jomblo? Huh! Begitu saja ribet dan sok keren.

Bukannya aku senang dengan akhirnya paham arti bait tersebut, tapi aku malah enek, sekalipun kuakui kalau Si Juki itu lumayan ganteng dan pintar. Tapi bagaimanapun, Juki bukan tipeku. Tipeku adalah dia, Si Pemilik Wajah Teduh.

________________


Asatidz: bentuk jamak dari ustadz
Ghosob: merupakan suatu tindakan di mana seseorang memakai barang seseorang tanpa izin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro