12. Dhomir Mustatir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lupakan tentang masa lalu menyebalkan yang memilih kusimpan rapat-rapat dari kedua sahabatku.

Kami pulang dari rumah Mbok Ribut sebelum jam-jam jamaah sholat ashar di pondok. Sesuai atensi Sofiya, Khulasoh sudah kembali.

"Olose endi, Soh?" beo Sofiya ketika masuk kamar mendapati Khulasoh di antara para kerumunan personil kamar. Berkerumun mengemil jajan dengan saling duduk lesehan di lantai, melipat kaki.

(Olos-nya mana, Soh?)

"Hei, Cop!" seru Khulasoh sembari mengangkat tinggi-tinggi sebelah tangannya.

"Nih, olos-olos. Ayok dimakan-dimakan. Sini-sini," imbuh Khulasoh, sebelah tangannya terangkat dengan sebungkus olos. Memberi kode agar kami yang masih berdiri segera bergabung ke kerumunan ngemil.

"Sini, Mbak."

"Cepet sini, nanti abis loh, Mbak."

"Eh, geser dong, kasih tempat buat mereka bertiga tuh."

Beberapa dari mereka mulai ribut.

Akhirnya aku, Zalfaa, dan Sofiya bergabung ke kerumun yang membundar, menikmati jajanan Tegal, alias olos. Olos bentuknya bulat seperti cilok. Terbuat dari campuran tepung kanji dan terigu, dibulat-bulatkan, diisi dengan kol dan cabe, dimasak dengan digoreng. Bukan hanya olos yang Khulasoh bawa, dia juga banyak membawa cemilan seperti varian keripik.

Sekitar 15 menit, aku dan teman-teman sekamar menghabiskan jajanan dari Khulasoh sambil mengobrol ria, kumandang salat ashar terdengar sayup-sayup dari masjid di area pondok putra sana. Kami bergegas membuang sampah bungkus jajan, menyapu lantai yang terkena remah-remahan jajajan, lalu beringsut ke kamar mandi untuk antre wudhu.

Waktu berjalan cepat. Sholat berjamaah selesai. Kembali ke kamar. Bersiap-siap mengaji klasikal jumat sore.

"Cie yang udah punya pulpen sultannya anak pondok," ledekku saat melirik ke arah Khulasoh, mendapati benda nyentrik di sebelah tangan. Benda nyentrik yang tak lain adalah pulpen pilot Hi-Tec-C. Pulpen sultannya anak pesantren karena harganya cukup mahal, kisaran 25 ribu perbuah.

Santri salaf pasti sudah tidak asing karena pulpen ini sudah banyak dijadikan alternatif pengganti pen tul untuk ngasahi kitab. Kelebihan pulpen satu ini adalah irit tinta, ketebalannya hanya 0,3 mm jadi buat ngasahin kitab tidak memakan banyak tempat, dan tintanya pun tidak mudah ambyar di kertas alias mbelobor-belobor, pokoknya oke banget buat ngasahi kitab.

Tapi jangan salah, sekalipun harganya sekelas harga sebungkus nasi padang, pulpen tersebut kalau jatuh juga rentan rusak. Bukan rusak dengan pecah wadahnya, melainkan tintanya macet. Makanya kalau jatuh dari meja, si pemilik langsung was-was. Dan parahnya, pulpen itu juga menjadi banyak incaran tangan-tangan jail yang suka mengambil sembarangan barang orang karena itu harus dijaga dengan penuh pengawasan dan disayang dengan tulus, setulus cinta Qois pada Laila.

"Hahaha ... Ikut tren juga kamu, Soh," komentarku saat mengamati lebih dalam pulpen sultan Khulasoh yang wadahnya warna bening, terdapat selipan kertas di dalamnya yang bertuliskan; Allah Maha Melihat. Tulisan demikian adalah salah satu tren anak pondok di sini untuk kampanye agar orang-orang jail tangan panjang bertobat, ingat Allah. Maksudnya misal seperti ketika diam-diam ada yang mau mengambil pulpen itu, baca lafal Allah Maha Melihat, jadinya mengurungkan niat mengambil karena jadi mengingat kembali bahwa ada Allah yang senantiasa mengawasi gerak-geriknya.

Khulasoh yang baru selesai mengambil kitab pun melirik ke pulpennya. Dia paham maksudku. Lalu memilih tertawa.

"Woy! Cepet! Lama amat sih kalian berdua!" seru Sofiya yang barusan sudah keluar untuk ke aula, berangkat mengaji bersama Zalfaa dan teman lainnya, tiba-tiba kembali ke ambang pintu kamar.

Aku dan Khulasoh menengok ke belakang secara bersamaan. Nyengir.

"Ceilah malahan nyengir. Buruan atuh, bentar lagi Gus Fikri rawuh, keles." Sofiya terlihat kesal. "Buruan, Jim, katanya kamu fan-nya Gus Fikri. Aja sampe telat, ngisin-ngisinna, gengs."

"Eh?" Aku mengerutkan kening. Omongan Sofiya ini memang tidak ada filternya, membawa-bawa perkara menggemari Si Gus dengan keras, untung saja tidak ada siapa pun di kamar, tapi entah kalau di area teras komplek.

Tapi sebenarnya perkara gojlogan begini sudah lumrah, apalagi gojlogan dengan membawa Gus Fikri, aduh, sudah biasa sekali karena yang menggemari juga banyak. Dan para penggemarnya bukan main-main; yaitu para santriwati senior dan sebagian Mbak-mbak Tahfidz. Dibanding mereka, aku hanya rempahan roti.

Beda lagi kasusnya, kalau penggemar Gus Fawaz itu rata-rata santriwati remaja seusiaku ke bawah, termasuk Sofiya yang diam-diam suka dengan Si Gus Tengil. Kata Sofiya, Gus Fawas itu kece badai, tapi menurutku tidak, apanya yang kece, nyebelin lah iya. Tapi sudahah lupakan, cinta itu buta katanya, jadi seburuk apa pun, tetap saja terlihat baik dan menawan.

"Buruan, pren!" seru Sofiya lagi. Wajahnya bertambah kesal.

Akhirnya aku dan Khulasoh enyah juga sembari menyahut bersama. "Okee, cabut nih kita."

***

Kata santriwati senior, santriwati baru tahun ini beruntung karena mendapat jatah mengaji pada Gus Fikri. Tepatnya mengaji Tajwid setiap jumat sore. Sedangkan kalau santriwati lawas, jumat sore diisi dengan mengaji qiroah.

Sore yang hangat, kami para santri baru mengaji tajwid bab ghorib; yaitu tentang bacaan-bacaan yang jarang ada di al-Quran dengan pembacaannya pun mempunyai pelafalan khusus. Seperti bacaan; saktah, imalah, isymam, dan lainnya.

Kabarnya dari rumpian santriwati senior, Gus Fikri bukan hanya hafal al-Quran dan mendalami tafsir, serta banyak kitab klasik, tetapi juga mendalami qiroah sab'ah. Entah apa itu ilmu qiroah sab'ah, aku yang dangkal ilmunya belumlah paham, tetapi kata Mbak Roihana; seseorang yang bisa mendalami qiroah sab'ah itu keren banget dan suami-able, imam hidup idaman pokoknya.

Haduh, kalau kayak gini makin nge-fans 'kan Si Remahan Roti, keluhku dalam benak saat mengingat-ngingat cerita Mbak Roihana di dulu kala awal-awal aku mondok.

"Mbak kerudung jingga teng pojok, pengertian saktah wau niku nopo?"

(Mbak kerudung jingga di pojok, pengertian saktah barusan itu apa?)

Eh, Mbak kerudung jingga di pojok? Itu aku maksudnya? Aku kaget.

Beberapa santriwati yang mengaji melirik ke arahku yang berada di pojok kiri belakang, bersebelahan dengan Khulasoh. Aku yang sedari tadi menunduk dengan menatap kosong kitab yang terbuka karena melamunkan si gus, jadi gelagapan.

Kuberanikan mengangkat dagu, menatap wajah teduh idola yang sedang menatapku.

"Wau nopo cobi pengertian saktah, Mbak?" Gus Fikri menanyaiku lagi dengan suara bariton khasnya.

(Tadi apa coba pengertian saktah, Mbak?)

Aduh, sial sekali, karena tadi melamun, aku tidak mendengarkan penjelasan apa itu saktah. Namun, aku ingat jika salah satu contoh saktah ada di juz 15, di awal ayat surat al-kahfi yang biasa kami baca setiap malam jumat.

"Saktah niku ... berhenti sejenak tanpa mengambil napas," jawabku dengan ragu-ragu.

Dari tempat duduknya di sana, Gus Fikri khidmat mendengarkan jawabanku. Lalu dia tersenyum singkat.

"Contohnya?" tanya Gus Fikri.

"Contohnya dalam surah al-Kahfi ayat 1 dan 2; 'iwajaa ... qoyyimaa," jawabku.

Senyuman langka Gus Fikri tersemat lagi mendengar jawabanku. Setelahnya, atensi Gus Fikri jatuh ke semua santriwati yang mengaji, menjelaskan sekali lagi tentang saktah, lalu melafalkan contoh saktah.

Barusan, hatiku deg-degan banget, serius. Deg-degan karena malu tertangkap basah melamun dan jadi dilontari pertanyaan, deg-degan karena kali pertamanya mendapatkan kontak mata sekaligus senyuman singkat dari idola. Haduh, bikin gerah.

Ternyata seperti ini rasanya orang jatuh cinta; yang mana hal-hal kurang berarti saja jadi berarti tak kentara. Seperti contoh tadi; kontak mata dan senyuman singkat itu, aku tahu hanya sekedar senyuman biasa karena jawabanku bisa dikatakan benar, jadi si gus tersenyum senang, tapi berbeda kesannya untukku yang mengaguminya, senyuman itu menjadi momen indah tak terlupakan, merasa sangat beruntung mendapatkan senyuman yang memang langka didapatkan.

Ah, entahlah. Sebenarnya aku juga bingung ini benar jatuh cinta atau sekedar mengagumi sebagai idola saja. Aku sungguh tidak tahu apa pastinya, soalnya ini kali pertamanya hatiku bisa berdebar hebat saat melihat sosok itu, bahkan mendengar namanya disebut atau sekedar mendengar suara baritonnya dari kejauhan, aku bisa bahagia dengan kebahagiaan yang sulit dijelaskan.

Yang aku paham sekarang, aku mengagumi sosok itu. Aku mengaguminya sejak pandangan pertama. Wajah teduh itu yang mengikatku. Bukan karena pesona wajahnya yang manis. Bukan. Melainkan karena pesona kebagusan akhlak yang terpancar, yang sudah bisa kudeteksi lewat wajah teduh itu. Aku menyukai kebagusan akhlaknya. Sungguh. Aku terpesona dengan sikap tawadhunya. Aku terpesona dengan sikap lebih menjaga pandangan sosok itu pada perempuan bukan mahram; itulah kenapa aku merasa menjadi santriwati paling beruntung barusan saat mendapat senyuman singkatnya.

Tapi aku sadar, aku hanya remahan roti, aku tidaklah pantas dijejerkan dengan dia yang bagai permata zamrud berkilauan. Dalam konteks apa pun, aku tidaklah boleh menyukainya melebihi batas dari sekedar kagum dan menjadi penyemangatku menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Aku sungguh tidak boleh melebihi batas sekedar itu.

Tapi aku bersyukur karena setidaknya aku jadi berani menyukai sosok lelaki setelah sekian lama benci dengan hal ini karena ketraumaan Mama. Ketraumaan Mama karena masa lalu, hingga banyak menutup diri dari lelaki, mati rasa, tidak mau menikah seumur hidup.

Aku sungguh tidak takut lagi untuk jatuh cinta pada sosok lelaki. Aku tidak takut lagi jika suatu saat rasa itu datang, asalkan pada orang yang tepat, itu tidak masalah. Tapi tidak sampai pacaran juga. Inginnya pacaran setelah menikah saja.

Jika belum waktunya dengan cinta-cinta begituan, aku hanya akan mencintai seseorang secara dhomir mustatir, tersembunyi.

Ah, kawan, kok aku bisa bahagia seperti ini dengan hanya mengagumi satu orang? Apakah ini yang namanya aku sedang jatuh cinta?

Khulasoh menoeli pinggangku. Lamunku pecah.

"Dengerin ngajinya, Jim. Nanti ketunjuk lagi mampos luh," bisik Khulasoh.

Aku pun membenahi posisi duduk. Mencoba fokus mendengarkan idola menerangkan isymam.

_____________


Dhomir mustatir: dhomir yang tersembunyi dalam fi’il. Dhomir ini tidak tertulis, tapi dapat diketahui dengan melihat format kata kerjanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro