17. Santriyem

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Siang yang hangat di hari ini, Mama menjengukku di pondok. Mama meminta izin ke Ummi Izzati untuk membawaku keluar sebentar; membeli kebutuhan pribadi di supermarket, ditutup dengan memakan bakso dan minum es teh.

"Sekarang aku udah bisa bikin piscok sendiri loh, Ma," curhatku pada Mama di sela kami berdua memakan bakso. Senyum berbangga diri kulontrakan pada Mama. Kemampuan membuat piscok, aku dapatkan di minggu kemarin setelah mengikuti ekstra kulikuler memasak di pondok. Ternyata membuat piscok itu sangat simpel, gampang.

"Bagus kalau begitu, Nak. Besok kalau kamu pulang, Mama buatin piscok, ya?" sahut Mama setelah menyesap kuah bakso.

"Siap, Ma. Besok Azhima buatin Mama piscok rasa cinta," jawabku asal dengan nyengir meledek, lalu buru-buru menyeruput es teh karena kepedasan.

"Yang penting jangan rasa keju, Mama nggak suka soalnya."

Aku mengangguk. Masih menyeruput es teh hingga tandas, tersisa beberapa balokan es batu di gelas.

"Masih pengen jadi psikiater, Nak?"

"Masih dong, Ma. Itu kan cita-cita Azhima."

"Mama pikir udah ganti, jadi koki piscok paling handal sedunia, mungkin?" gurau Mama, malah membahas piscok, tepatnya meledekiku yang barusan tampak girang dengan begitu bangga bisa membuat piscok. Itu karena selama ini, aku selalu kacau dalam memasak, hanya pandai memasak mie instan dan telur mata sapi, kini beliau tahu bahwa aku bisa membuat piscok, meledeknya jadi berlebihan.

Aku hampir tertawa, tapi untung saja berhasil kuenkan saat otomatis sadar bahwa kami sedang berada di kedai bakso yang cukup ramai pembeli.

"Nggaklah, Ma," sangkalku.

Seutas senyum singgah di bibir Mama.

"Es tehnya mau tambah lagi, Nak?" tawar Mama.

Aku pun mengangguk cepat, lalu beliau memesankan satu es teh lagi untukku kepada pelayan kedai bakso yang kebetulan melintasi meja kami.

Mama sibuk kembali dengan baksonya. Aku memilih tercenung menatap Mama. Selalu ada rasa lega ketika melihat wajah Mama sesemringah siang ini.

Dulu, ada saat di mana wajah Mama selalu kusut, jika pun senyumnya mengembang, pancaran kedua mata Mama selalu menyiratkan kesedihan, putus asa. Itu adalah saat masa-masa aku banyak diolok-olok oleh teman-teman sekolah dan aku banyak mengurung diri di kamar. Namun, atas dukungan Mama, aku berhasil melewati semua itu, aku tak mau melihat Mama sedih berkepanjangan, toh Mama tidaklah bersalah atas apa yang ada, aku tak boleh terlarut-larut dalam kesedihan yang membuat Mama merasa bersalah atas keadaanku.

Terima kasih atas segala pengorbanan Mama dan semua cinta kasih ini untukku, salamku lewat senyap dengan masih khidmat menatap Mama yang keningnya sudah berpeluh banyak, bibir memerah karena kepedasan.

Mama adalah orang terdepan yang selalu mendukungku selama aku tumbuh. Di dunia ini, Mama adalah orang yang paling terkasih menyayangiku. Mama adalah wanita terhebat di kehidupanku. Aku berjanji pada hidupku untuk membahagiakan Mama dengan cara apa pun itu.

Oh, Allah, terimakasih telah menitipkanku pada Mama di kehidupan ini ... sekalipun dengan cara yang awalnya sebegini menyakitkan.

***

"Berapa nilai ulangan i'lal-mu, Jim? Pasti 9 yah? Nilai paling gede di angkatan yang di-spoiler Ustadz Hanif itu kamu 'kan?" tanya Sofiya di saat kami berjalan pulang ke pesantren dari madrasah diniyah.

Suasana jalan sudah seperti milik pesantren kami saja, pasalnya kiri jalan yang ada, kini penuh oleh santriwati yang jalan berbaris pulang ke pondok. Jarak berapa meter di depan sana adalah santri putra.

Aku yang sedang fokus ke arah jalan, menoleh ke Sofiya yang berjalan berdampingan denganku.

"Eh? Nggak juga. Aku cuman dapet 8. Kayaknya yang dapet 9 mah itu kelas Kakang deh atau nggak mungkin Saraswati," jelasku meluruskan. Kenyataannya memang seperti itu, aku hanya mendapat 8, tepatnya 8,5. Tapi ini termasuk di atas rata-rata di kelas putri, kebanyakan dapatnya 6, soalnya pelajaran tata bahasa Arab satu ini cukup sulit.

"Kayaknya sih. Palingan Kang Ubay yang selalu ranking pararel diangakatan. Kalau Saraswati nggak percaya aku dan jangan sampe, nanti makin belagu tuh bocah kalo nilainya ngalahin kamu," timpal Sofiya membawa Kang Ubay yang memang selalu ranking pararel di kelas madrasah diniyah angkatan kami. Nada bicara Sofiya ketus saat menyebut Sarawasti yang memang suka belagu dan paling sok penting di pondok.

"Kae bocaeh, dunal-dunil ora nggenah, ora isin mesem-mesem kaya kue meng Kakang," cibir Sofiya yang kini menoleh ke belakang, mendapati Saraswati yang sedang melontarkan senyum ke salah satu santri putra yang melintas dengan motor matic. Itu adalah Kang Alif, santri senior pondok dan juga Kakang Ndalem.

(Itu anaknya, ganjen nggak beres, nggak malu senyum-senyum seperti itu ke Kakang)

"Rumornya, itu sih pacarnya Saraswati," komentarku, lalu menarik pandangan ke arah semula.

"Iya, katanya. Padahal desus-desusnya udah nyebar 'kan, tapi kenapa nggak kena kasus sih dia? Harusnya udah dikasus tuh dia," racau Sofiya dengan kesal.

"Dia kan deket sama pengurus pondok, cuy. Lagian Kang Alif juga santri senior dan salah satu kepercayaan Abah, ya mana ada yang berani ngangkat pacaran mereka ke kasus pondok?" jelasku yang aslinya malas menanggapi obrolan beginian.

Sofiya mengangguk setuju.

Omong-omong, Saraswati memang terkenal dekat dengan pengurus pondok, dia sering terlihat berkunjung ke kamar pengurus dengan membawa jajan, hubungan mereka terlihat akrab. Banyak gosip beredar juga kalau Saraswati menyuap para pengurus dengan jajan ini-itu, makanya status pacarannya yang beredar dianggap angin lalu.

Setelah era Mbak Lia ganti kepengurusan, menjadi era Lurahnya Mbak Chika, karismatik para pengurus merosot, kerja kepengurusannya sekarepe dewek, terkenal jarkoni--alias wis ngajar-ngajar ora dilakoni, alias sudah mengajar-ngajar ini-itu tetapi tidak dilakukan oleh mereka.

Misal jarkoni mereka yang paling mencolok; mereka melarang ber-make up berlebihan tetapi beberapa anggota pengurusnya justru suka dandan menor, di peraturan pondok dilarang memakai baju ketat, salah satu dari mereka doyan pakai baju pres body dengan bahan sedikit menerawang, bahkan Mbak Lulu yang sebagai bendahara pondok pun berpacaran dengan santri putra tapi mereka tak acuh. Dan satu lagi, Mbak Chika sebagai Lurah pondok yang seharusnya open--berarti peduli dalam bahasa
Jawa--malah menjadi Ratu Tukang Suruh, menjadikan para santriwati bawahannya macam rakyat jelatanya dia saja. Saking sebalnya, beberapa dari kami secara diam-diam menjuluki mereka Santriyem.

Santriyem ini yang seharusnya mengayomi santriwati, khidmah lillahi ta'ala kepada pesantren, justru menjadi pengacau, sudah macam beban negara saja dengan gaya parlemen yang sok-sokan mengemban amanah negara, tapi aslinya penjilat di sana-sini, merampas hak rakyat.

Pokoknya kepengurusan pesantren putri tahun sekarang kacau-balau. Hampir semua santriwati di pondok yang kisaran berjumlah 700 kepala hilang respek, sering mengeluh, tapi tidak ada yang berani melaporkannya kepada Abah Dullah atau Ummi Izzati.

Kami di sini yang dianggap sebagai rakyat jelata oleh Santriyem merasa terdholomi. Semoga saja era Santriyem segera berakhir.

Aku mengusap wajah setelah melamunkan hal seperti itu. Tak terasa langkahku sampai juga ke depan gerbang utama pondok putri. Aku menghela napas. Membuang jauh-jauh pikiran enek barusan tentang ulah Santriyem. Lebih baik sekarang berjalan cepat untuk mengantri kamar mandi karena adzan ashar sudah berkumandang, harus gesit berwudhu agar nanti tidak ketinggalan salat jamaah dan tidak terkena ta'zir.

Lupakan sejenak tentang Santriyem, Si Beban Pondok!

_________________



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro