23. Senyuman di Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Salah satu tonggak kuat untuk menjadi sosok pengurus pondok yang baik adalah memiliki jiwa pengabdian yang tinggi pada pesantren. Karena pengurus pondok adalah kaki tangan pengasuh pesantren dalam hal memanajemen pesantren.

"Mbak Mus, aku anak baru kemarin sore, yak masa langsung mau dijadiin pengurus pusat, wong jadi pengurus kamar aja aku belum pernah," keluhku setelah mengikuti rapat dadakan tentang pembentukan utuh kepengurusan baru, sekaligus rapat untuk acara pelantikan.

"Jadi pengurus pusat nggak lihat dari seberapa lama kita mondok kok," sahut Mbak Mus, menepuk bahuku.

"Tapi tetep aja, satu faktor ini memengaruhi, Mbak. Salah satunya itu respek mereka nanti." Aku tetap saja menyangkal.

Di sampingku, Sekar yang ikut nimbrung pembicaraan kamipun mengangguk. Sepertinya Sekar merasa senasib juga denganku karena baru masuk pondok 2 tahun. Sekar kebagian departemen kebersihan.

"Tapi jika kita ambil yang udah mondok lama dan SDM-nya nggak bagus buat dijadiin contoh, apa mereka nanti juga bakalan respek?" Seutas senyum singgah di bibir Mbak Mus, menepuk bahuku lagi, atensinya tertuju pada Sekar juga.

Aku dan Sekar menggeleng berbarengan. Jelas tidak menjamin menjadikan repsek juga memang layaknya santriem kemarin. Era santriem, kebanyakan mereka hanya pura-pura respek karena takut, sebagian beneran respek karena memiliki jiwa menghormati orang lain yang tinggi, sisanya mereka respek karena merasa setipe--tukang melanggar peraturan pondok atau sama-sama semena-menanya.

"Nggak jamin 'kan?" Sebelah alis Mbak Mus terangkat.

Aku dan Sekar tinggal mengangguk berjamaah.

"Intinya kita yang legowo aja dapet amanah ini. Jalanin tugas sungguh-sungguh, jangan nyalah gunain wewenang yang kita punya. Sami'naa wa atho'na-lah pokoknya. Insha Allah ilmu kita yang kita timba di sini nanti jadi berkah. Jugaan ini jadi pembelajaran kita buat ikut organisasi dan mengayomi orang lain," nasihat Mbak Mus.

Benar juga nasihat Mbak Mus. Aku dan Sekar memilih mengangguk lagi.

Para pengurus baru sempurna sudah keluar dari ruangan kantor pusat dan segera mengikuti takror, menyisakan aku, Sekar, dan Mbak Mus yang belum melepas duduk nyamannya di karpet.

"Kok Zalfaa nggak dimasukkin sih, Mbak? Kan bisa tuh dia dijadiin pengurus departemen tarbiyyah wat ta'lim?" tanyaku, penasaran.

"Kemarin Mbak Nat usul buat Zalfaa dimasukin ke departemen itu, tapi Ummi nggak kersa karena Zalfaa lagi ngafalin Quran," jelas Mbak Mus. Merapikan lengkungan hijabnya yang meleyot.

"Lah, Mbak Lia juga kan ngafalin Quran tapi bisa jadi lurah pada eranya," komentar Sekar, kedua mata cokelatnya melebar.

"Mbak Lia udah khatam pas itu. Di sini kalo yang masih on going ngafalin Quran-nya, Ummi dan Abah nggak kersa mereka dijadiin pengurus pusat karena ya itu ... konstentrasinya bakalan terbelah-belah. Pasti tahu kan ya ngafalin Quran gimana sulitnya dan tanggung jawabnya juga besar karena selain menambah hafalan supaya khatam, juga harus setiap harinya muroja'ah. Ini juga jadi faktor X kenapa di sini kalo yang lagi ngafalin nggak wajib ikut madrasah diniyah, cukup ikut ngaji fiqih dan akhlak saja di pondok," jelas Mbak Mus sebaik mungkin.

"Tapi Zalfaa juga ngambil madrasah diniyah, pastinya berat banget sih isi kepalanya. Wong aku hafalan jurumiyyah aja udah mau meledak nih kepala," celutuk Sekar, menepuk sebelah kepalanya yang berhajib ungu.

Aku dan Mbak Mus tersenyum geli melihat Sekar dengan muka berubah keruh.

"Ya udah. Tinggal kita bertiga yang masih ngerumpi aja di sini. Yok berangkat takror," ajak Mbak Mus. Beringsut berdiri.

Aku dan Sekar pun mengikuti jejak Mbak Mus. Berangkat takror.

Di tengah perjalanan ke tempat takror, aku berpapasan dengan Sofiya yang sedang berjalan cepat dengan muka kusut.

"Cop, kenapa kamu?" sapaku pada Sofiya. Menghentikan langkah dan membiarkan Mbak Mus dan Sekar meninggalkanku.

"Kebelet boker, Jim."

"Owalah." Aku tersenyum geli melihat ekspresi kebelet bokernya hingga kening Sofiya berpeluh.

"Ayok ah, temenin aku ke KM." Sofiya meraih sebelah lengan tanganku, menariknya begitu saja, memaksaku mengikuti alur berjalan cepatnya.

"Oh, iya, aku lupa. Kemarin pagi jaket yang kamu jemur jatuh, jadi aku ambil dan aku bawa ke KM. Sekarang ada di embernya Khulasoh, tapi masih kotor, nggak sempet aku bilasin," jujur Sofiya saat kami tinggal beberapa langkah lagi tiba ke kamar mandi komplek bawah.

Seketika mukaku langsung berbinar mendengar perkara jaket denim. Lega sekali.

"Makasih, Cop. Nanti abis takror, aku traktir mendoan sama bon cabe-nya sekalian di kantin," seruku di saat Sofiya berlari dan masuk ke toilet.

***

"Mtk, fisika, dan kimiamu nggak serumit ilmu falak dan faroidh-ku, Bang," ucap Mbak Ismi selaku rois kamar baruku yang kutempati kurang lebih setengah tahun ini.

Barusan itu, katanya adalah jawaban Mbak Ismi saat muak kalau saat pulang, abangnya yang bukan pondokan kerap menyombongkan diri karena selalu juara pararel di sekolah SMA, tidak seperti Mbak Ismi yang dulu saat masa sekolah, kalau ikut 15 besar di kelas saja sudah alhamdulillah banget.

Ilmu falak adalah ilmu yang mempelajari lintasan benda-benda langit. Disebut juga sebagai ilmu hisab karena harus menggunakan perhitungan, serta dijuluki juga sebagai ilmu rashd karena ilmu tersebut memerlukan pengamatan. Bahkan ada julukan sebagai ilmu miqat karena mempelajari tentang batas-batas waktu.

Sedangkan kalau faroidh, ini ilmu tentang pembagian waris.

Kedua ilmu barusan, kata para santri senior, memang sangat sulit karena perhitungan matematikanya yang allohu akbar rumitnya minta ampun, pelajaran nahwu-sorof bukan lagi jadi tandingannya.

"Nih. Alat yang harus kamu punya kalo udah kelas 1 Ulya. Dan efeknya kalo bawa alat ini ke madrasah, udah berasa jadi santri senior kece," ujar Mbak Ismi sembari memamerkan sebuah alat yang terbuat dari kayu dengan bentuk seperempat lingkaran, tertawa renyah, "Apalagi kalo bisa pakenya, kece beneran kamu, Azhima."

Di kamar dengan lainnya yang sibuk bersiap-siap sekolah pagi, aku menyempatkan meraih alat yang disodorkan Mbak Ismi.

"Ini namanya rubu' mujayyab, alat astronomi klasik yang digunain buat ngitung fungsi geometris yang berguna banget buat proyeksikan beredarnya para benda langit di lingkaran vertikal. Ini juga bisa buat nentuin arah mata angin, kiblat, waktu," jelas Mbak Ismi dengan semangat.

Aku mengamati benda itu. Bentuknya simpel dengan seperempat lingkaran, tetapi di situ tertulis banyak garis lurus, busur, kotak-kotak, sampai beberapa keterangan menggunakan bahasa dan tulisan arab, juga angka biasa. Ada juga benang kecil dan lubangan kecil tersemat di situ yang entah fungsinya untuk apa.

"Mbak udah bisa pakainya?" tanyaku penasaran.

Mbak Ismi meringis. "Dikit. Dikit banget."

Aku mengangguk. Senang juga dengarnya Mbak Ismi bisa menggunakan rubu' sekalipun sedikit. Omong-omong, pelajaran santri senior di Madrasah Ulya memang keren-keren dan rumit. Bukan hanya keren di letak kitab nahwunya yang sudah tingkat tinggi dengan Ibnu Aqil, melainkan juga masuk ke fase belajar seperti ilmu mantiq dan balagoh, bahkan arudh.

Aku mengembalikan rubu' mujayyab pada pemiliknya, mendapati jam di dinding kamar sudah jam 7 kurang seperempat. Aku yang sudah rapi mengenakan seragam sekolah bergegas menyambar tasku, sedikit berlari untuk keluar kamar. Namun, saat aku melewati rak buku Kusuma, aku mendapati sesuatu yang mencolok di kedua tangan Kusuma.

Sesuatu mencolok itu adalah sebuah buku tebal yang mana saat barusan dibuka Kusuma secara perlahan, mata elangku melihat di dalamnya terdapat sebuah ponsel android.

Aku mendesah dalam senyap. Aku paling sebal ketika terjebak begini, tak sengaja memergoki polah pelanggaran seseorang di pondok. Sekarang aku masih bisa diam karena belum resmi menjadi keamanan dan para santriwati di pondok pun belum tahu bahwa aku mendadak jadi pengurus, tapi setidaknya, hal tadi berhasil menambah daftar target razia keamananku bersama Mbak Mus dengan 3 rekanku yang lain di besok setelah rapat kerja pertama diselenggarakan.

"Jim, mau berangkat bareng?" seru Khulasoh yang mendadak nongol di ambang pintu.

"Iya," jawabku, abai dengan penampakan barusan. Berangkat sekolah bersama Khulasoh. Melangkah lebar-lebar ke MA Manbaul Hikmah yang memakan waktu kisaran 10 menit jika berangkat dengan berjalan cepat.

Aku dan Khulasoh ngos-ngosan di sela perjalanan karena kami memilih berangkat sekolah dengan berlari. Sial sekali, terjadi tragedi kehilangan kaos kaki di dalam sepatu Khulasoh, jadi memperlambat waktu kami karena harus menunggu Khulasoh untuk mengambil kaos kaki baru di kamarnya.

"Waduh! Gerbang lagi ditutup, Jim!" seru Khulasoh dengan mata membelalak melihat dari jarak 10 meter, Pak Satpam mulai menutup gerbang utama sekolah MA. Dia menepuk bahu dengan napas yang belum stabil, kembali berlari secepat kilat setelah lanjut berseru, "Buruan, Jim!"

Aku menghempaskan napas berat. Menyeka peluh di jidat sejenak. Lalu ikut lari mengejar ketinggalan.

"Kalian telat. Langsung lari aja. Mangga ...," ujar Pak Satpam dengan muka menyebalkan di mataku.

Aku dan Khulasoh bersitatap. Sial sekali. Usaha kami lari kilat sia-sia sebab begitu sampai, gerbang sudah tertutup sempurna.

"Pak!" panggilku dengan Khulasoh berbarengan, hendak mencoba merayu, meminta keringanan--mumpung Pak Gun selaku pagarnya kedisiplinan sekolah entah kenapa belum menampakkan batang hidungnya.

"Udah, buruan langsung lari aja kalian. Nanti keburu Pak Gun ke sini, kalian dimarahin karena nggak nurut."

Aku menghempaskan napasku. Khulasoh juga tampak lesu. Memilih patuh sudah untuk disetrap, melangkah memasuki gerbang untuk kemudian lari memutari lapangan.

"Woy! Tungguin gue!" seru seseorang dengan nada bariton yang sudah tak asing di telingaku. Si Raja Telat, alias Gus Fawaz.

Bodoh amat dengan perintah menunggu hukuman lari bareng, aku dan Khulasoh mulai ancang-ancang untuk lari kilat lagi.

Seutas senyum singgah di hatiku melihat wajah tengil Gus Fawaz di sela lari karena jadi mengingatkanku pada jaket denim yang sudah kutemukan jejaknya. Napas ngos-ngosanku entah kenapa menjadi terasa lega.

Hm, senyuman di hati tadi, murni karena jaket denim, bukan karena apa-apa. Kalau Zalfaa tahu, pasti aku langsung diledeki perkara inisial F & akhiran Z. Huf!

__________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro